Dunia terasa tidak pernah adil bagi Reanna. Ketika melihat surat undangan Kalandra, lagi-lagi awan mendung menyelimutinya. Pernikahan Kalandra akan dilaksanakan satu minggu lagi, tapi ia rasanya belum siap mental untuk menghadiri.Reanna melipat kedua lengan di atas meja kayu tempat biasanya ia merangkai bunga, menatap kosong sampul undangan hitam itu dengan wajah murung. Pekerjaannya memang belum dimulai, sedang menunggu instruksi dari Si pemilik toko bunga. Sedangkan si imut Kia terlihat sedang fokus mencorat-coret buku gambarnya."Pagi-pagi begini sudah melamun. Kenapa?" tanya Tisha. Ia mendudukkan diri di sisi Reanna. Ada sebuah catatan kecil di tangannya yang berisi daftar pesanan hari ini.Reanna tidak langsung menjawabnya. Ia justru kedapatan menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menoleh pada Tisha. "Kenapa ya, Sha? Semua orang seakan begitu mudah menemukan kebahagiaan mereka, tetapi kenapa aku tidak?""Kenapa kamu bilang begitu? Ada apa?" sebagai seorang sahabat, tentu Ti
Nathan mendudukkan diri di kursinya setelah melepas kacamata baca yang awalnya bertengger di hidung mancungnya. Dokter kandungan yang tergolong masih muda itu menangkap raut tegang sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengannya, bersekatkan meja kayu. Wajah Si istri yang tengah hamil besar menampilkan ekspresi khawatir, sedang sang suami di sisinya dengan setia menggenggam salah satu tangannya. Mereka berdua tampak seperti pasangan harmonis di kedua mata biru Nathan, maka pria blasteran itu mengukir senyuman."Bagaimana hasilnya, Dok?" Si suami yang pertama mengawali sesi konsultasi."Dari hasil USG yang sudah kita lakukan tadi, bisa kita lihat bahwa janin tumbuh dengan sehat dan sempurna. Keadaan tali plasenta masih bagus, air ketuban masih cukup banyak. Hanya saja kepala janin masih juga belum masuk panggul," jelas Nathan apa adanya. Ia menunjuk pada kertas cetak USG di tangannya sambil sesekali menatap wanita hamil itu. Kalimat terakhirnya sukses membuat raut cemas si wanita
Salah satu Mall ternama di pusat kota itu memang selalu ramai pengunjung, tak terkecuali malam ini. Kebanyakan didominasi oleh pasangan muda-mudi yang sedang menikmati waktu berdua, entah sekedar untuk jalan-jalan atau berbelanja bersama.Tisha sudah terlihat menjinjing sebuah paperbag di tangan kiri. Isinya adalah sepasang baju tidur dengan merk cukup terkenal, tentu ia membelinya sebagai kado pernikahan untuk Kalandra dan Olivia. Meskipun ia menaruh benci pada kedua calon mempelai, namun dirinya pun tidak ingin dicap pelit oleh mereka, terlebih calon suami gadis itu merupakan pemilik salah satu stasiun televisi swasta di negara ini.Di sebelahnya ada sosok Reanna, gadis manis itu tampak berjalan santai sambil menggandeng tangan kecil Kia. Dari raut wajahnya, ia tampak sedang kebingungan. Tatapan mata indah itu bergerak ke sana kemari. Menatap pada toko satu, ke toko lainnya, seakan sedang mencari sesuatu yang mungkin saja dapat menarik perhatiannya."Sudah hampir jam 8, kamu sudah m
Sepiring mie goreng pesanannya hanya ia aduk pelan dengan sumpit. Entah kenapa raut wajah mendung Reanna seakan tak mau hilang dari kepala pria itu. Tadi pagi ketika ia mengantarkan putrinya ke Carnation florist, kedua mata gadis manis yang menjadi pengasuh Kia tampak sembab. Jika tebakannya benar, pasti Reanna menangis semalaman.Kafetaria rumah sakit siang itu memang cukup ramai. Banyak staf rumah sakit yang memilih untuk mengisi perutnya di sana, tak terkecuali Nathan dan Arvi. Mereka berdua menikmati makan siang di meja yang sama, makanya Arvi menyadari ada hal yang berbeda di raut wajah teman makannya itu."Earth to Nathan!" Ucapan tiba-tiba dokter anak itu sukses membuat Nathan terkejut."Sialan! Kamu hampir membuatku jantungan, Ar!" umpat si dokter berambut pirang. Ia menatap tajam sahabatnya. "Salah sendiri kamu melamun terus. Lihat, bahkan makan siangku hampir habis, sedangkan punyamu seakan belum tersentuh sama sekali." Arvi menatap bergantian antara isi piringnya kemudian
Nathan menyugar rambut pirangnya ke belakang ketika angin sore berhasil membuat tatanannya berantakan. Setelah menutup pintu mobilnya, langkah kaki panjang itu bergerak menuju pintu kaca Carnation florist. Lonceng yang berada di atas daun pintu itu berdenting."Pak dokter, selamat sore." Tisha yang berada di meja kasir langsung menyapanya dengan senyum seindah bunga. Meskipun gurat lelah terpetak jelas di wajah si pria dewasa, namun ketampanannya tiada luntur di mata gadis itu."Sore, Nona." Nathan balas menyapa, pula membalas senyumannya. "Bagaimana kabarmu?""Seperti yang Anda lihat, kabar saya selalu baik, Pak. Ah, silakan duduk dulu." Tisha menunjuk tempat duduk di sisi kanannya. Namun, pria itu masih tak juga bergeser dari tempatnya berdiri. Ia hanya tersenyum sopan."Terima kasih. Kia mana?" tanyanya."Di sana, Pak." Tisha beralih menunjuk karpet bulu di sudut ruangan, di atasnya terbaring sosok Kia. "Kia baru saja tertidur beberapa menit lalu. Jadi, jangan berbicara terlalu ker
Nathan dan Arvi melangkah bersama melintasi lorong rumah sakit ketika senja telah menampakkan kemilau jingga. Atribut dokter milik keduanya sudah tertanggal, menyisakan kemeja yang tergulung sebatas siku. Pekerjaan telah usai, dan kini mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk melepas lelah.Setelah melewati pintu kaca besar di bagian depan gedung rumah sakit, Nathan merogoh kunci mobilnya dari saku celana sebelah kanan. Ia melirik Arvi lewat sudut mata, dan kening dokter obgyn itu mngernyit. Pasalnya raut muka Sang sahabat tampak tak secerah biasanya."Apa yang terjadi dengan wajahmu, Ar?" tanyanya seraya turun dari undakan menuju parkiran di sisi kiri."Memangnya wajahku kenapa?" namun Arvi justru menjawab pertanyaan Nathan dengan pertanyaan lain."Kamu tampak kesal." Nathan berucap ringan. Ia membalikkan badan, berdiri bersandar pada bagian belakang mobilnya sambil bersedekap. "Jangan suka menekuk muka, nanti kamu bisa cepat tua. Tidak lucu kan kalau kamu sudah terlihat seper
Suara cempreng Kia menggema di dalam ruang keluarga bernuansa putih itu. Televisi layar datar berukuran empat puluh dua inchi itu menyala dengan Elsa dan Anna, si tokoh dalam film animasi favorit gadis kecil itu menghiasi layar kacanya. Bibir mungilnya sesekali mengalunkan lirik lagu Let it go yang menjadi soundtrack film laris itu, tentu saja dengan berlompat-lompatan mengikuti gerakan tokoh di depannya, tanpa memperdulikan keberadaan sang ayah yang duduk di sofa tepat di belakang tubuhnya. Ah, balita itu memang super aktif.Pria dengan rambut pirang itu terlihat duduk dengan gusar di tempatnya. Sesekali mata biru itu melirik pada arloji hitam di pergelangan tangannya kemudian mengambil napas panjang. Benar apa kata orang, menunggu merupakan hal yang sangat menyebalkan, dan Nathan mengalaminya kali ini.Malam ini ia akan menemani Reanna untuk menghadiri pesta pernikahan mantan kekasih gadis itu, sesuai janjinya.Dokter tampan itu sudah terlihat begitu rapi malam ini. Blazer hitam yan
Pesta pernikahan itu mengusung konsep outdoor garden party, kursi kayu dan meja yang berbalut kain putih tersebar ke berbagai penjuru taman sejauh mata Reanna memandang, dengan lampu-lampu kecil berwarna putih menghiasi setiap sisi atap yang ditumbuhi tanaman merambat. Suasana romantis menguar dari setiap sudut tempat itu, meskipun dengan cahaya yang sedikit redup. Dan di ujung sana, tepat di pelaminan yang terdapat bunga putih di sekelilingnya terlihat sepasang mempelai yang tersenyum dengan bahagia.Setelah menyerahkan kadonya pada seorang penerima tamu, Reanna menghentikan langkahnya tanpa sadar. Rasa ragu itu kembali menyeruak, diiringi jantungnya yang kembali bertalu hebat dalam rongga dadanya ketika melihat pria itu menatapnya dari kejauhan sana. Senyuman pria bertuxedo putih itu perlahan menghilang ketika mereka bertemu pandang. Sedangkan mempelai wanita dengan gaun putih berekor itu terlihat tidak menyadari kehadirannya."Tersenyumlah, Rea. Angkat kepalamu dan perlihatkan pada
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r