Kafe yang biasa Reanna dan Tisha kunjungi siang ini memang cukup lengang. Hanya ada beberapa meja yang terisi, sedangkan mereka memilih duduk di kursi yang berada di teras, sehingga mereka dapat sekaligus melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan."Tidak ada Kia, sepi ya?" Ucapan tiba-tiba Tisha membuat Reanna menoleh padanya, sejenak menghentikan suapan nasi daun jeruk ke dalam mulutnya. "Iya, Kia sedang di rumah neneknya," ungkapnya membenarkan. Tanpa balita cantik itu di sekitarnya, memang rasanya seperti ada yang kurang bagi Reanna. Setelahnya, ia meneguk segelas jus jeruk untuk melepas dahaga.Kepala Tisha mengangguk-angguk. Namun, secara spontan ingatannya kembali pada hari kemarin, seiring rasa ingin tahu yang datang. Sebelum mengatakan apa yang ada di kepalanya, Tisha lebih dulu membasahi tenggorokannya dengan segelas es teh pesanannya. "Serius, kamu benar-benar membuatku penasaran. Kemarin Pak dokter mengajakmu ke mana?" tanyanya."Dia mengajakku ke rumah orang tuaku
Tidak biasanya Bastian bangun sesiang ini, ketika mentari pagi sudah hampir naik sepenggalah. Ia semalaman susah tidur, dan baru bisa terlelap ketika pukul empat pagi. Entah kenapa setiap kali ia mengingat bahwa adik tersayangnya akan segera menikah, ia merasa tidak rela.Sambil mengucek sebelah mana, Bastian membuka pintu kamarnya. Langkah kaki panjang itu lalu bergerak menuju dapur, hendak memasak seperti tugas biasanya. Namun, ketika ia sampai di ambang pintu, atensinya mendapati bahwa di atas meja makan sudah tersaji beberapa masakan yang sepertinya masih panas, terlihat dari asap yang mengepul di atasnya. Dari aroma menggugah selera yang masuk ke dalam hidung mancung pria itu, Bastian yakin bahwa masakan yang telah siap santap di sana memiliki cita rasa yang luar biasa. Tanpa sadar kedua kaki pria itu menjejak mendekat untuk melihat lebih jelas masakan jenis apa yang terhidang di sana.Dan ... kedua mata sehitam jelaga Bastian berbinar seketika. Ia segera duduk di salah satu kur
"Sebentar, Kak. Rea akan angkat telepon dulu."Bastian hanya menganggukkan kepala untuk merespons izin adiknya. Sedangkan Reanna segera berjalan sedikit menjauh untuk mengangkat telepon yang ternyata dari calon suaminya, Nathan."Ya, Mas?" tanyanya pada seseorang di seberang telepon sana. Sejenak terdengar suara gemersik sebelum suara maskulin Nathan memasuki indera pendengaran Reanna."Kenapa kamu pulang ke rumah tidak memberitahuku, Rea?"Reanna terdiam selama beberapa detik mendengar pertanyaan Nathan. Meskipun ia sudah menduga jika Sang calon suami akan bertanya demikian, namun ia tetap merasa setitik rasa tak enak hati mengingat dirinya yang pergi tanpa izin. "Maaf, Mas. Aku tahu kalau Mas Nathan sedang sangat sibuk, jadi aku tidak mau mengganggu." Pada akhirnya hanya itu yang mampu Reanna ucapkan sebagai alasan."Pesan darimu tidak akan pernah menggangguku. Jangan diulangi, aku tidak suka." Nathan menjawab dengan sedikit nada ketus di seberang telepon sana. Meski begitu, Reanna
"Pagi, Kak Tian."Bastian segera menoleh saat suara feminin Reanna memasuki gendang telinganya, sejenak mengalihkan atensi pria gondrong itu dari televisi yang menampilkan game GTA. Ya, Bastian memang suka bermain playstation. Apalagi ketika hari minggu begini, tanpa ada kegiatan. Kening pria itu mengerut saat melihat penampilan Reanna dan Kia yang tampak rapi dengan pakaian yang biasa digunakan untuk berolah raga; celana training dan kaos oblong, tak lupa sepatu joging melekat di kedua kaki mereka."Kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya, namun tidak melepas cekalan joystick dari kedua tangannya."Reanna dan Kia mau jalan-jalan pagi, keliling perkebunan." Reanna menjawab riang, lalu mengalihkan atensinya pada gadis kecil yang sedari bergandengan tangan dengannya. "Ya kan, Sayang?""Iya! Cama Papa juga." Gadis cilik nan imut yang kini berkuncir dua itu menimpali dengan penuh semangat, sebab ini merupakan pertama kalinya bagi Kia yang akan joging bersama kakak kesayangannya. Dia
Raut ceria menghiasi kedua wajah mereka. Setelah merasa cukup memeras keringat dengan berlari pagi, Reanna dan Kia segera pulang ke rumah. Cacing-cacing di dalam perut keduanya seakan telah berdemo meminta makan."Kami pulang ...." sembari menggendong Kia yang tampak kelelahan, Reanna membuka pintu rumahnya seraya mengucapkan salam."Keluyuran terus, ayo sarapan!" ketika langkah kaki Reanna sudah menjejak area ruang makan, Sang ayah menegur. Pria baya itu sudah duduk manis di salah satu kursi. Di atas meja makan sudah tertata rapi beberapa masakan sederhana; ada nasi yang masih mengepulkan asap, pula semangkuk besar sup ayam. Ah, tak lupa pula dengan sepiring tempe goreng yang tampak gurih dan renyah telah terhidang. Reanna menatap semua itu dengan kening mengernyit."Sarapan sudah siap? Siapa yang memasak, Ayah?" tanyanya setelah mendudukkan Kia di salah satu kursi."Kakakmu dan calon suamimu yang memasak bersama tadi.""Benarkah?" atas jawaban Sang ayah, kernyitan di kening Reanna
"Besok Rea akan kembali ke Jakarta, Kak." Reanna tiba-tiba berucap begitu ketika acara televisi yang mereka tonton malam itu sedang jeda iklan, membuat Bastian menoleh ke arahnya dengan sedikit kernyitan di dahi."Iya, Kakak tahu. Kenapa? Ada yang ingin kamu katakan?" tanya pria gondrong itu."Mas Nathan dan Kia sudah tidur.""Lalu?" mendengar jawaban adiknya, kerutan di dahi Bastian semakin dalam saja. Nathan dan Kia memang sudah masuk ke kamar Danudirja sejak beberapa menit lalu, lalu apa masalahnya?Sejenak Reanna tampak ragu untuk berucap, terlihat dari beberapa kali dirinya sempat meremas kedua tangannya di atas pangkuan. Namun, selang semenit kemudian perempuan itu memilih untuk mengatakan apa yang sedang ia pikirkan. "Reanna ingin jujur pada Kakak.""Katakan saja, Re. Kakak tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini." Bastian menegakkan posisi duduknya, menatap intens raut wajah adiknya seiring pikiran negatif menghampiri kepalanya."Sebenarnya ... Mas Nathan dan Kalandr
Refleksi di depannya terlihat begitu sempurna. Namun, entah kenapa tak sedikit pun terlihat senyuman terulas dari bibir merah kecokelatannya. Pria itu terdiam begitu lama di depan standing mirror itu, pandangan mata birunya menatap kosong pada pantulan dirinya. Tuxedo pengantinnya yang berwarna hitam telah melekat sempurna membungkus tubuh tegap nan gagahnya, sedangkan rambut pirangnya tertata rapi dengan sedikit pomade yang dibubuhkan. Penampilan dirinya seakan sudah siap untuk menuju altar, namun tidak dengan hatinya. Sejujurnya ia merasa sedikit gamang.Pria itu menghela napas panjang, dengan netra birunya ikut terpejam. Ia akan menikah, dan itu untuk yang kedua kalinya, di Gereja yang sama, hari ini, beberapa saat lagi. Hanya saja calon istrinya yang berbeda. Status duda yang selama ini ia sandang akan hilang, dan berganti menjadi suami orang.Apakah dirinya tidak senang?Tidak, bukan begitu. Tentu saja ada setitik kebahagiaan yang membuncah dalam dada pria itu. Reanna, calon ist
Sepasang pengantin itu memusatkan perhatian ke depan dengan tangan saling menggenggam, menatap pada seorang Pendeta yang menanyakan beberapa hal sebagai peneguhan pernikahan. Dan mereka menjawabnya dengan penuh keyakinan. Pemberkatan pun di mulai. Usai menjawab pertanyaan peneguhan dari Pendeta, kedua mempelai berdiri dan saling berhadapan, lantas mereka mengucapkan janji nikah secara bergantian, dipandu oleh Pendeta dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di Gereja.Pria itu menatap dalam kedua iris indah di hadapannya, menyelami setiap ekspresi wanita yang akan segera menjadi istrinya. "Reanna Anggoro, aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."Rafalan kata-kata yang kel
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r