Abigail sudah duduk di teras depan rumah, ketika paman dan bibinya mencari keberadaannya. Ia menikmati embusan angin yang lembab serta cahaya mentari pagi yang hangat. Perlahan Alex dan Alona duduk di dekat gadis yang sedang duduk di atas kursi ayunan yang bergoyang perlahan.
Alona menyentuh jemari Abigail, membuat gadis itu tersadar akan kedatangan dua orang terkasihnya. Perlahan ia membuka mata demi manatap kedua orang tua barunya itu.
"Abby sayang, Hari ini Paman akan menemui seorang pengacara yang telah ditunjuk oleh ayahmu untuk mengurus segala aset yang ia tinggalkan untukmu. Apakah kau siap untuk menemuinya hari ini? JIka kau ingin menggulur waktu, Paman akan sampaikan padanya," tutur Alex, dengan sangat hati-hati, khawatir jika sampai mengusik ketenangan gadis remaja itu.
Bisa saja Abigail merasa terusik karena ingin hidup tenang tanpa gangguan apapun yang berhubungan dengan ayahnya. Namun, dengan tujuannya untuk membalaskan dendam ayahnya, ia mungkin ingin tahu seberapa banyak aset yang dtinggalkan James untuknya.
Abigail menoleh pada pamannya, "Jam berapa kita berangkat? Apa yang harus kupersiapkan?" tanya gadis itu.
"Uhm, Abby, jika kau belum siap untuk membahas ini, paman dan bibi akan-"
"Tak apa, Bi. Aku akan hadapi. Aku tidak takut karena aku memiliki kalian sekarang. Benar, 'kan?!" ujar Abigail memotong perkataan bibinya, kemudian mengulas senyum tulus pada dua orang yang menatapnya dengan penuh haru.
Paman dan bibinya mengangguk kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan mereka.
"Tentu, sayang. Kau akan selalu memiliki kami," isak Alona, haru, kemudian membiarkan Abigail meringkuk dalam pelukan mereka untuk beberapa saat.
***
Seorang pria bertubuh dempal mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas meja kerjanya. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Ia mencari setumpuk berkas yang sangat ia butuhkan. Benda yang seharusnya dibawa oleh anak buah dan istrinya saat itu.
Tak menemukan apa pun dari atas meja, ia beralih pada laci dan bahkan brankasnya.
"Sial! Di mana berkas-berkas itu?" ucap pria itu sembari menggebrak meja kerjanya. Ia merasa gusar karena tak menemukan benda penting itu.
Apakah ia meletakkan di sebarang tempat? Ataukah memang berkas itu sebenarnya tak pernah ada? Ia bergegas memanggil istrinya untuk segera menuju ke ruang kerjanya.
"AMANDA!" Beberapa kali memanggil, pada akhirnya terdengar suara ketukan hak sepatu yang beradu dengan lantai berbahan tatami.
Terdengar semakin mendekat disusul dengan pintu yang terbuka. Wajah cantik anggun dengan rambut coklat ikal yang digerai, lipstik merah merona serta dress berwarna selaras dengan warna pemerah bibirnya yang melekat sempurna di tubuhnya, menampakkan kesan anggun dan dominan.
Ia mendekat pada pria yang sejak tadi kesal karena kehilangan sesuatu.
"Ada apa, sayang? Mengapa kau berteriak seperti itu, nanti Monica akan terbangun mendengar suaramu yang menggelegar itu." Wanita itu mendekat pada suaminya kemudian memerhatikan pria yang sedari tadi sibuk membongkar benda dalam lacinya.
"Apakah kau melihat berkas yang kita dapatkan dari James Anderson?" tanya pria itu, tanpa menghentikan gerak tangan serta mata yang memindai tiap file satu per satu.
"Berkas? Berkas yang mana? Saat di sana sepertinya aku hanya membawa satu koper kecil yang aku sendiri tak tahu apa isinya. Sesuai apa yang kau perintahkan."
"APA? bagaimana mungkin kau tidak memerhatikan dan memeriksa apa yang kau bawa?" amuk pria itu. Wanitanya justru terlihat masa bodoh. "Tidak becus!"
"Jika kau tahu aku dan anak buahmu itu tidak becus, mengapa tidak kau lakukan saja sendiri. Sekarang carilah di mana pun. Mungkin saja di dalam koper itu masih ada barang berharga lain. Meski tidak seberharga apa yang kau inginkan." Wanita itu berbalik kemudian suara stiletto-nya terdengar menjauh meninggalkan suaminya yang masih bergelut dengan kegusaran.
***
Abigail duduk di hadapan seorang pria berkumis dengan kacamata menggantung di pangkal hidungnya. Alex duduk mendampingi disamping Abigail, sementara Alona duduk nyaman di sofa jauh dari keduanya.
Pria yang usianya kira-kira setengah abad itu mengeluarkan berkas-berkas dari dalam brankas kabinetnya. Kemudian menyerahkan pada Abigail. Gadis itu melempar pandangan pada Alex yang dibalas dengan anggukan. Remaja itu kemudian perlahan membuka amplop berwarna coklat di hadapannya.
Beberapa lembar kertas ada di dalamnya. Salah satunya jelas bertuliskan 'Surat Wasiat'. Meski ia tidak mengerti isi dari semua itu, dengan bantuan pamannya ia akan bisa memahami isi surat itu. Namun, tetap saja ia membalik tiap kertas dan membaca sedikit demi sedikit apa yang tertulis di sana.
'Menyerahkan seluruhnya dari aset yang kumiliki kepada putri satu-satunya Abigail Anderson ....'
Gadis itu tidak melanjutkan kalimat lain yang tertulis di sana. Ia rasa sudah cukup, matanya mulai memanas dan sebentar lagi bulir halus pasti akan jatuh dari sana. Ia mengusapnya dengan punggung tangan agar tak sampai menetes. Ia tak ingin paman atau bibinya melihat kesedihan.
Pria yang merupakan pengacara ayahnya itu, ia lupa menanyakan namanya, tetapi Abigail tak akan lupa jasa pria itu pada ayahnya dengan menjaga aset yang telah ditinggalkan James padanya. Dari penjelasan pria itu, seluruh aset akan diserahkan padanya saat nanti usianya menginjak 18 tahun, dan untuk sementara James menunjuk Alex untuk menjadi wali.
Cukup jelas dan bisa dipahami oleh gadis remaja seusia Abigail saat ini. Apa pun yang tertulis di sana pun sudah jelas, ia hanya tinggal mempersiapkan diri menjadi dewasa seperti yang diinginkan ayahnya. Juga, agar ia bisa membalas dendam dengan cara elegan seperti permintaan pamannya.
***
Abigail membanting tubuh ke atas ranjang. Memejamkan mata berusaha melupakan segala kejadian yang satu per satu muncul dalam ingatannya. Semua ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Harus menjalani kehidupan tanpa kedua orang tua kandung. Meski Alex dan Alona mencintainya seperti anak sendiri, tetapi sangat berbeda dibanding apabila ia dibesarkan dan diasuh oleh orang tua kandung.
Alona dan Alex masuk bersamaan ke dalam kamar Abigail. Membuat gadis itu terpaksa menyingkirkan kembali ingatan tentang kenangan pahit hidupnya. Ia bangkit dan duduk di atas ranjang, menanti paman dan bibinya duduk di sisi ranjang. Alona naik ke atas ranjang empuk Abigail, duduk di sisi gadis itu kemudian memeluk dan mengecup keningnya.
"Sayang, Paman dan Bibi sudah mendaftarkan sekolah untukmu ...," ucap Alona ragu.
Ia cemas jika Abigail tidak ingin melakukan apa pun karena jiwanya masih terluka. Namun sebaliknya yang dipikirkan Alex. Baginya Abigail adalah gadis yang kuat dan tangguh. Dengan memulai kehidupan yang normal, akan lebih cepat menyembuhkan luka batinnya.
Alex menyodorkan sebuah amplop coklat pada gadis berambut blonde itu. Iris mata sebiru langit itu menatap paman dan bibinya bergantian. Ingin mendapat jawaban dan penjelasan atas semua ini.
"Bukalah," titah Alex, yang langsung dipatuhi oleh gadis remaja itu.
Ia membuka dan mengeluarkan berkas yang ada di dalam amplop coklat itu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang, menyerupai buku hanya lebih tipis. Sebuah pasport. Ia membuka halaman benda itu dan membaca sebaris nama yang tertulis di sana.
"Abigail Genovhia?" tanya Abigail, bingung.
Ia tidak pernah mengetahui hal semacam ini sebelumnya. Mengapa bukan Abigail Anderson? Bukankah itu nama aslinya? Kemudian berkas lain membuatnya mengerti dan paham apa yang telah dilakukan paman dan bibinya. Selembar akta kelahiran yang menyebutkan Abigail Genovhia terlahir dari Alona Genovhia.
Ia menoleh pada paman dan bibinya dengan mata yang berkaca.
Alex dan Alona memandang gadis itu penuh cinta dan haru. Mereka berdua membenamkan Abigail dalam pelukan penuh kasih.
"Bersiaplah untuk mulai masuk sekolah, dan menjalani kehidupan yang baru. Kau akan baik-baik saja, Abby, kami berjanji padamu. Kita akan lalui ini bersama," ucap Alex, dengan suara bergetar.
Tangis Abigail pecah karena haru. Ia mungkin tidak beruntung karena harus kehilangan kasih sayang orang tuanya di usia muda, tetapi ia mendapat ganti orang tua angkat yang sangat mencintainya melebihi siapa pun. Ia bahagia, dan akan baik-baik saja mulai saat ini.
***
Abigail tersadar dari lamunannya sesaat. Ingatannya sempat kembali pada masa dimana ia akhirnya menyandang namanya yang sekarang. Pada mulanya ia tidak terima melepaskan nama keluarganya, tetapi ia kemudian sadar bahwa itulah cara Alex untuk menjauhkan dirinya dari bahaya. Abigail meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan Mr.Thompson untuk membicarakan tentang misinya. Tidak, ia tidak mengatakan pada dektektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis James, ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis. Saat mobilnya tiba di halaman parkir L'Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok Mr.Thompson yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Mungkin agar mempermudah dirinya mengawasi sekitar. Tak mas
Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial. Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan ak
Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.
Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary. Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. "Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary. Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang. "Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...." Abigaail mengulurkan tangan hendak
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg