Zachary kembali ke kamarnya dengan mengendap. Beruntung baginya karena Sidney masih terlelap. Masih dengan langkah hati-hati ia masuk ke dalam selimut dan kembali menenggelamkan diri di alam mimpi. Kali ini ia ingin benar-benar tidur karena tubuhnya sungguh letih. namun, sayang harapannya tak terwujud, karena bayang-bayang Abigail justru mampir dan mengganggu setiap kali ia mencoba memejamkan mata. Ia membalik tubuh ke kanan dan kiri, berusaha mengusir ingatan malam yang baru saja mereka lewati berdua. "Biarkan aku tidur, Abby!" erangnya, lirih, tak ingin membangunkan Sidney. Akan tetapi, tak seperti dugaan Zachary, gadis itu justru sejak tadi sudah terjaga. Ia hanya ingin memastikan keberadaan Zachary. Dan kini ia tak perlu lagi bertanya, karena ia sudah mengetahui jawabannya. ***
Abigail mengemasi barang, sudah cukup waktu yang ia habiskan bersama keluarganya. Meski sedikit runyam karena kehadiran Sidney dan Zachary, tapi setidaknya dua sejoli itu juga merasakan hal yang sama. Kegembiraan. Abigail memutuskan untuk menemui Alice, juga Ashton. Kepada Ashton, ia tak akan mengatakan rencana dan tujuan mencari Gin, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama pria itu. Seperti apa yang ia rencanakan sejak awal, ia akan memanfaatkan sisa waktu yang ia miliki. Terdengar miris dan mengerikan memang. Mengingat banyak hal yang belum bisa ia wujudkan-lalu ia justru membicarakan tentang kematian. Rasanya ingin membeli satu slot kehidupan abadi untuk ia gunakan, sampai dendamnya terbayar lunas. Akan tetapi, mana mungkin hal seperti itu bisa terjadi? Abigail tak ingin terlalu fokus pada bahaya yang mengi
Kali ini giliran Abigail yang terkejut. Tidak. Bukan seperti ini yang ia mau. Selain tak ingin melibatkan Ashton, tetapi juga ia tak bisa mengatakan yang sejujurnya pada pria itu. Ia sedang tak ingin melakukan tawar-menawar dengan siapa pun. "Jangan, Ash. Aku harus melakukannya sendiri, tidak dengan kehadiranmu." "Mengapa? Siapa tahu justru aku bisa membantu urusanmu agar lebih cepat terselesaikan." Abigail menggeleng, keras. Menolak apa pun yang ditawarkan Ashton agar ia diperbolehkan untuk ikut serta. Namun, baik Abigail maupun Ashton tak ingin mengalah dan menyerah dengan keinginan mereka. "Ash, please ... jangan membuatku kesal." "Kalau begitu, katakan apa yang akan kau lakukan. Jika kau menceritakan segalanya, aku berjanji tak akan mengga
Satu tembakan tepat mengenai sasaran, tetapi bukan sasaran yang dituju melainkan Abigail, yang dengan nekat menerjang peluru itu agar tidak mengenai Gin. Di saat yang sama, Alice mengeluarkan pistol yang sejak tadi berdiam aman di balik punggungnya, segera ia melepaskan beberapa peluru yang telak mengenai dada pria berandalan itu. "ABBY!" pekik Alice, yang langsung menghambur ke arah Abigail yang ambruk. Beruntung, Gin dengan sigap menangkap tubuh itu. Perlahan Alice memeriksa letak luka Abigail, lalu menoleh pada pemuda yang sejak tadi layaknya orang bisu, tak berucap satu kata pun. "Peluru mengenai pinggangnya, jika kita cepat dan ia segera ditangani maka semua akan baik-baik saja. Kau bantu angkat kakakmu dan ikuti aku menuju ke mobil. Kau dengar?" Laki-laki itu mengangguk. Namun, Alice dapat menangkap ada sorot pa
Ashton bergegas mengambil penerbangan awal menuju ke Saint Orleans, sesaat setelah mendapat kabar mengenai kondisi Abigail. Alice memutuskan untuk menghubungi Ashton terlebih dahulu sebelum menghubungi Alex dan Alona. Ia masih mempertimbangkan keberadaan Gin di sana. Bisa saja pemuda itu tak inginkan bertemu keluarga lain selain Abigail. Maka, itulah yang ia lakukan. Tak perlu ditanya bagaimana perasaan Ashton mendengar kabar tersebut. Tubuhnya mendadak lunglai bagai tak bertulang. Yang ada dalam pikirannya hanyalah keadaan Abigail. Berharap gadis itu mampu bertahan meski dalam kondisi apa pun. Meski Ashton sangat mengenal Abigail sebagai gadis yang tangguh, tetapi tetap saja rasa takut dan cemas tak dapat ia usir begitu saja. Ia tak dapat membayangkan bagaimana jika tak ada lagi Abigail, bagaimana kehidupannya tanpa
Gin masuk ke kamar Abigail dengan langkah ragu. Bagaimana pun ia sadari kekeliruannya mengambil sikap yang justru jadi terkesan manja dan menyusahkan kakaknya. Namun, semua telah terjadi. Ia hanya berharap dapat mengambil pelajaran dari semua itu. Meski apa yang ia alami ini justru menyakitinya. Tentu saja, melihat kakaknya harus menderita, tak mungkin ia bisa memaafkan dirinya sendiri. Abigail yang masih berbincang dengan Ashton aakhirnya menyadari kedatangan Gin. Alice sengaja membiarkan pemuda itu masuk seorang diri sementara ia berjaga di luar. Abigail mengulas senyum hangat menyambut kedatangan adiknya, meski wajahnya masih tampak pucat. Sementara Gin, tak tahu harus berbuat apa, karena akibat kesalahannya kini Abigail harus terbarin di rumah sakir dengan luka tembak yang bisa saja menghilangkan nyawanya. Abigail memberi isyarat pada ashton agar memberi kesempatan dirinya melepas kerinduan bersama adik satu-satunya yang belasan tahun tak pernah ia temui. Ashton mengangguk,
Gin tersuruk akibat jotosan yang cukup bertenaga dari pria itu. Sementara Abigail yang tak mampu berkutik hanya bisa memekik, memohon pria itu hentikan kegilaannya dan melepaskan Gin yang kini nyaris babak belur. "Zac! Apakah kau sudah gila?! Lepaskan adikku, kau tak boleh menyentuhnya sedikit pun!" Tak ada satu kalimat pun yang mampu menghentikan amukan Zachary saat ini. Amukan yang bagi abigail sungguh samgat tidak beralasan. "Zac!!! I swear you, kalau kau tidak berhenti, aku akan memanggil security atau bahkan polisi!" Kalimat itu masih juga tidak mempan bagi Zachary. Bukan itu yang membuatnya, melainkan satu hal. Dan Abigail tahu sekali apa yang bisa membuat Zachary menghentikan segala tindakannya dan mendengarkan perkataan Abigail. "Jika kau masih tak pedulikan perkataanku, aku bersumpah tak akan pernah muncul lagi di hadapanmu selamanya!" Secara ajaib kalimat itu berhasil membuat Zachary mematung dan otomatis menghentikan ayunan ta
Abigail memaksa untuk pulang dengan segera. Ia tak sabar untuk banyak hal setelah Gin kembali. Tur rumah, pesta penyambutan, bahkan mengantarkan Gin bersekolah. Membayangkan itu semua, Abigail merasa kesehatannya secara ajaib pulih dengan cepat. Meski pada akhirnya ia harus beradu mulut dengan tiga orang—Gin, Ashton, dan Alice—yang memaksa ia tetap di rumah sakit sampai benar-benar pulih. Abigail tidak pernah tidak memenangkan apa pun, bahkan untuk sebuah perdebatan. Ketika pada akhirnya mereka berada di atas helikopter pribadinya, ia hanya mengulum senyum penuh kemenangan, sementara lainnya terdiam dengan kemelut dalam batin masing-masing, keheranan dengan karakter gadis satu ini yang sangat keras kepala. Mereka tiba di rumah, yang langsung disambut oleh Alex dan Alona, yang sebelumnya telah dikabari oleh Alice. Mereka telah menyiapkan segalanya untuk Abigail, juga Gin. "Paman, Bibi, ini Gin, adikku. Keponakan kalian yang lain," ucap abigail dengan manik yang berembun karena m
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg