"Ayo makan dulu nanti kamu sakit." Liona yang murung membuat Arka malah tambah khawatir jauh dari sebelumnya."Aku suapin ya, dikit aja nanti langsung tidur." Bujukan itu tak berhasil, Liona menggeleng kecil dan mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. "Yaudah sekarang kamu tidur, aku temenin di sini sampai kamu benar- benar terlelap." Tangannya menepuk bantal dan menuntun Liona untuk merebahkan tubuhnya disana. Untuk kali ini Liona menurut, ia tidur di samping Arka yang duduk di pinggiran ranjang."Jangan pikirkan hal lain, kamu bisa tinggal di sini sampai kapanpun, aku akan selalu memastikan kamu baik- baik saja." Di elus kepala Liona dengan tangan lembut Arka, sampai perlahan mata yang khawatir itu terpejam dengan kehangatan yang menghipnotisnya."Bagaimana? Semuanya selesai?" Kursinya di putar saat seseorang datang ke ruangannya."Sudah pak, saya sudah memastikan bahwa tidak ada satupun yang tersisa di dalamnya. Semua hangus terbakar." Pria dengan masker hitam itupun pulang saa
"Orang kaya memang selalu menyebalkan, mentang- mentang dia anak pemilik perusahaan kita harus nunggu dia selama ini. Nyebelin." Desi mengomel di samping Liona yang sebenarnya juga sudah bosan duduk lama di kursinya.Rapat kali ini dihadiri oleh Wijaya sendiri sebagai pemilik perusahaan. Meski kabar sudah tercium sejak lama namun kedatangan anak tunggal yang secara resmi bergabung ke perusahaan membuat banyak karyawan kebingungan, karena kabar bahwa anak wijaya tersebut memang tidak tertarik dengan perusahaan pada awalnya. Posisi yang diberikan juga sangat jauh dari perkiraan para karyawan, karena wijaya justru malah memberi Marko posisi lebih baik dari pada putranya tersebut.Menghindari banyaknya kesalahpahaman yang terjadi seiring gosip yang berhembus, pimpinan meluangkan waktu untuk memimpin berlangsungnya rapat dan secara khusus mengundang karyawannya untuk datang ke acara penyambutan bergabungnya putra Wijaya.“Maaf untuk kesan pertama yang kurang sopan, saya mengalami keterlamb
“Aku harap kamu hadir malam ini.”Pesan yang dikirim Bily membuat dilema untuk Liona, sebenarnya banyak hal yang ingin Liona tanyakan pada Bily tapi mengingat bahwa Arka yang masih marah padanya, datang ke sana bukanlah pilihan yang tepat."Arka,.. Arka buka pintunya." ketukan di pintu kamar Arka berulang kali terdengar, namun Arka tak peduli dan masih tetap duduk diam di sofa yang berada di kamarnya."Aku udah masak buat makan malam, kamu belum makan dari tadi siang." Liona tidak mudah menyerah, ia mengetuk lagi."Aku minta maaf" masih di balik pintu, suara itu samar terdengar di pendengaran Arka yang menjadi kalimat terakhir karena ketukan di pintunya tak lagi terdengar.Liona memutuskan untuk makan sendiri di meja makan, ia berharap Arka akan datang dan makan bersamanya tapi sampai suapan terakhirnya pun Liona tetap masih sendirian di sana.Prangg...."Awww.. shhh perih." Pintu kamar Arka segera terbuka mendengar pekikan dari arah dapur."Kenapa? Astaga." Arka meraih jari yang sed
"kalian sangat serasi." Desi yang baru saja kembali dari toilet tiba- tiba nyeletuk."Des,.." Liona memelototi temannya sambil mencubit pelan. "Arka, kamu dengar semua yang aku bicarakan?" Wijaya kembali memfokuskan pandangannya ke meja depan. Tempatnya duduk hanya terhalang satu kursi dengan tempat Liona makan sehingga ia bisa mendengar semua yang di bicarakan disana."Apa yang mencuri perhatianmu dari tadi." Wijaya celingukan."Tidak, tidak ada pak aku hanya tidak bisa fokus siang ini. Mari kita lanjutkan yang kita bicarakan." tegas Arka, meski hatinya jujur saja tidak karuan. Jika saja tidak ada Wijaya di sana, mungkin sekarang ia sudah mendatangi meja Liona dan menariknya dari meja."Apakah aku terlalu sejelas itu? Padahal aku sudah berusaha untuk tidak terlalu jelas memperlihatkannya." Bily mengusap dagunya malu. "Jadi kalian benar- benar pacaran?" Desi memastikan."Des kamu bicara apa sih, aku dan Bily- maksudku aku dan pak Bily tidak punya hubungan seperti itu." Liona segera
"Kenapa sangat buru- buru Arka, ada seseorang yang menunggumu di rumah? Kalau aku tidak lupa kamu masih seorang pria lajang kan." Wijaya meledek Arka yang beringsut membereskan laptopnya setelah pertemuan."Bukan begitu, ini sudah malam. Aku hanya ingin istirahat lebih awal." Mengulas senyumnya setelah berpamitan untuk pulang.Arka mengetik beberapa kata yang ia kirim untuk Liona."Kenapa gak langsung di balas, dia udah tidur? Apa dia udah makan?" Tak mau banyak menghabiskan waktu Arka segera melajukan mobilnya.Langkahnya mengalun sampai ke kamar yang ia tuju. Sambil mendayung langkah ia melepas satu persatu lapisan dari pakaiannya seperti dasi dan jas yang ia lempar sembarang ke sofa."Sayang.." ia mengetuk pintu kamar tempat Liona tinggal.Tak ada jawaban, Arka memaku sekejap dan membuka handle pintu untuk masuk ke dalam.Ranjangnya kosong, tak terlihat sosok cantiknya di sana."Sayang.." memanggilnya lagi, kini langkahnya sudah tidak bisa santai lagi. "Liona, dimana kamu sayang?"
"Kenapa kamu selalu mengatakan dia berbahaya, dia pacar aku sekarang Bil, dia melindungiku sejauh ini. Kenapa kamu begitu bersikuku." Kenapa semua orang ingin ia menjauh dari Arka."Melindungi? Kamu berakhir di sini karena dia, bahkan sekarang dia tidak ada di sini, lihat. Manusia itu bahkan menghilang sekarang kan. Dia tidak peduli padamu." "Dia hanya pergi untuk urusannya di kantor, dia pasti kembali ke sini sebentar lagi. Bily kamu harus berhenti sampai di sini, kumohon biarkan aku hidup dengan tenang." Mohon Liona menatap mata Bily. "Sayangnya aku gak rela jika kamu dengannya Liona, tidak akan pernah." binar itu saling bertemu, menyelami perasaannya masing- masing. Liona rindu saat pertama kali mendapatkan Bily sebagai temannya, dan sekarang semua tak sama lagi."Kenapa kamu berubah Bil, kamu membuat posisiku semakin sulit." "Lalu kamu pikir aku baik- baik saja sekarang? Aku bisa gila memikirkan semua ini terus menerus. Aku butuh kamu untuk menghentikan semua ini, dengan jadi m
"kamu masih menangis meski sudah kedua kalinya." Arka mengecup samar setelah sesi terakhirnya."Masih sakit, laki- laki gak akan ngerti. Apalagi saat kamu bergerak lebih cepat." Ia bicara sambil memunggungi Arka. "Tapi perlahan sakit itu samar dengan rasa nikmat, apa aku benar? Kamu mendesahkan namaku lebih banyak malam ini, dan itu membuatku semakin bersemangat." "Arka, aku malu. Berhenti membahas itu." Liona menarik selimut menutupi dirinya kemudian Arka memeluknya dari belakang."Aku semakin gila setiap hari karenamu, aku rindu setiap kali tidak melihatmu, frustasi saat tak bisa menyentuhmu. Kamu harus bertanggung jawab atas aku yang seperti ini karnamu." bisik Arka di telinga Liona."Kamu berlebihan." "Aku serius, jangan pernah mencoba pergi dariku." pelukannya semakin melekat, Arka menarik tubuh Liona lebih dekat padanya."Sayang." suara husky nya menusuk pendengaran Liona sampai ke perutnya."Hmmm?" "Bolehkan kita bermain sekali lagi?" ***"Bily, tunggu." Tasya mengejar la
"Kamu di larang untuk datang ke kantorku, kamu lupa point itu?" "Lalu kapan kita bisa menghabiskan waktu bersama? Kamu bahkan tidak menjawab pesan- pesanku." wanita itu kemudian duduk di meja tamu dalam ruangan Arka."Aku sedang sibuk." "Aku bisa menunggu, ruanganmu sangat nyaman. Aku tidak masalah berada di sini." Tania menyamankan diri dengan setengah menyenderkan punggungnya."Kamu harus pergi Tania." Arka bangun dari kursi kebesarannya."Dan kenapa aku harus? Apa aku salah dengan mendatangi tempat kerja tunanganku sendiri? Kenapa kamu melarangku datang ke sini?" "Ckk.." Arka kehilangan kata- kata."Kenapa? Benar kan? Apa aku salah? Tunggu, kamu gak pake cincin pertunangan kita?" Tania memperhatikan jari Arka yang polos."Aku lupa memakainya. Apa mau mu sekarang?" "Kamu tidak boleh lupa memakainya lain kali, Aku ingin kita makan siang bersama." Wanita itu memutari meja Arka dan berakhir dengan berdiri di sampingnya."Tidak bisa, makan malam saja." ucapnya mengubah cerita."Oke,
"Cerai?" Kosa kata itu sangat berat ke luar dari mulut Liona."T-tapi kenapa Arka? A-aku melakukan kesalahan?" Liona seperti pengemis ulung yang memohon agar Arka menatap matanya untuk setidaknya bersuara. Tapi tidak, suaminya itu bahkan memalingkan wajahnya menghadap tembok."Apa kamu bosan denganku? A-apa--""Cukup" satu kata tidak membuat Liona berhenti mempertanyakan arti secarik kertas dalam genggamannya."Apa ada wanita lain? Apa kamu menyesal kita bersama? Kita--"Kalimat selanjutnya hanya menggantung di tenggorokan Liona setelah Arka menyumpal mulut itu dengan lidahnya. Ciuman itu membuat Liona pusing dan kewalahan, seakan isi mulutnya di jelajah dengan semua kehangatan. Ia perlu bicara lebih banyak tapi bibir Arka di bibirnya terasa begitu menggairahkan. Liona lumpuh oleh cumbuan suaminya. "Huhh hnggh" suara itu lolos dari celah bibirnya.Tapi, ada sesuatu yang salah dalam ciuman ini. Liona merasa pipinya mulai basah, tapi ia tidak menangis. Saat ia membuka matanya, ia me
"Arka, apa kamu serius?" Ini pertanyaan ke tiga kalinya dari Adit semenjak Arka menelponnya beberapa menit yang lalu."Kerjakan saja dan berikan padaku kalau sudah selesai" cengkraman di ponselnya kini semakin erat."Tapi--"Arka menutup sepihak panggilan telpon tanpa repot- repot mendengar kelanjutan dari suara asistennya.Ia mengusap wajahnya yang berkeringat, lalu berbalik menuju kamarnya dan Liona."Ar--""Vio sudah tidur?" Arka mendahului kalimat Liona yang menggantung di udara."Ya." Liona mengangguk meski Arka tak sedang melihatnya.Liona mengunyah bibir bawahnya saat merasa Arka tak akan melanjutkan kalimat apapun."Sayang, Adit bilang kamu belum sempat makan malam. Mau aku masak sesuatu sebelum tidur?" Liona bergerak selangkah lebih maju dan duduk di ujung kasur miliknya berdua."Aku lelah sekali, aku akan langsung tidur" Liona menatap jarinya yang tertaut di pangkuannya, ini lebih menakutkan melihat Arka menjadi pendiam seperti sekarang. Bahkan Arka tak bereaksi seperti bi
"DI MANA KALIAN SEMUA?! CEPAT DATANG!"Arka berteriak di seluruh ruangan, tanpa sadar bahwa tak ada orang lain selain pembantu rumah tangga yang baru saja datang baru- baru ini. Dirinya lupa bahwa itu adalah rumahnya dan Liona yang terisolasi, bukan di rumah Mamanya yang penuh dengan security."I-iya tuan." Melihat wanita paruh baya itu hanya membuat kemarahannya semakin meledak."SIALAN, CEPAT PANGGIL AMBULANCE!!"Dengan nafas yang sepuluh kali lebih cepat, wanita itu mengangkat gagang telpon dengan suara bergetar. Ia melakukan apa yang di minta tuannya."Akhh.. A- Arka.. S-sakit" Mata khawatir Arka jatuh kembali ke pangkuannya dimana sang istri yang tengah meringis memegangi perutnya membuat pria berbadan tegap itu kelimpungan."Sayang, bertahan sedikit lagi. Ambulance akan segera datang. Tolong sayang, bernafas dengan baik. Jangan panik, pegang tanganku. Aku akan ada di sampingmu. H-hanya tolong bertahan.." Arka menyuarakan kalimat terakhirnya dengan sedikit bergetar melihat kon
"A-apa yang terjadi Dokter, kenapa- k-kenapa dia menutup matanya?" Liona lolos masuk di antara celah tubuh yang berbaring dan Dokter di sampingnya. Gavin, sang mantan kekasih sekaligus jiwa penolongnya kemarin tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan kepala di perban, mata halusnya tertutup membuat Liona benar- benar ketakutan dengan pikirannya."Tenang nyonya, dia hanya tidur setelah lukanya di jahit. Semuanya baik- baik saja" Terdengar helaan nafas lega dari mulut Liona, ia mengelus dadanya sedikit merasa tenang. Dia tidak yakin lagi apa yang akan dia lakukan jika sesuatu terjadi dengan orang lain demi menyelamatkan dirinya."Terima kasih Dokter" kepalanya menunduk sopan, berterima kasih terhadap kerja keras Dokter yang menangani Gavin.Hatinya terus merasa bersalah, karena beberapa jam yang lalu dirinya bahkan hampir melupakan Gavin karena sibuk menangis di kamar suaminya yang juga sama- sama terluka."Aku selalu membuat orang- orang di sekitarku terluka, kenapa aku
Cekitttt... Pedal rem bergesekan dengan aspal di parkiran basement apartment."CASIE.. TUNGGU.." Gavin melakukan hal yang sama dengan mobilnya, ia memarkir dengan sembarang dan langsung mengejar wanita setengah mabuk itu yang tengah masuk ke dalam lift apartment."Dia gila, astaga" dia terus mengutuk sepanjang kakinya berlari. Setelah memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mengurusi beberapa hal mengenai pekerjaannya, Gavin di datangi Casie yang menuntut padanya tentang dirinya yang di nilai tidak kompeten terhadap kesepakatan mereka. "Bagaimana kamu bisa membiarkan Arka membawa Liona? Kamu tahu aku sedang mencoba mendapat Arka kembali. Apa kamu lupa?" Kalimat itu yang terlempar dari bibir setengah mabuk wanita itu. Setidaknya sebelum dirinya hilang kendali saat Gavin menjelaskan tentang kehamilan Liona yang baru di ketahui oleh Casie."D-dia hamil? dia hamil anak Arka? Tidak. Tidak.. aku tidak akan membiarkan mereka bersama apapun yang terjadi, aku tidak rela. Liona mengamb
Lenguhan samar tak tertahankan saat sarafnya di ambil alih. Lidah Arka menjelajah ke area yang sudah di kenali, melesak mencari celah untuk menggedor kewarasan Liona yang sedang berperang dengan egonya."Aku.. rindu.. mendengar suaramu, jangan menahannya sayang.."Liona terus menggeliat sambil membungkam bibirnya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya berusaha memberikan dorongan yang sama sekali tak berarti pada tubuh Arka yang menempel begitu mengikat."Keluarkan.. aku ingin mendengarnya.." Arka menggusur lidahnya semakin dalam, jarinya dengan tanpa di instruksi membantunya membuka jalan untuk membuka dua kancing baju Liona untuk memudahkan aksesnya sampai lidahnya bertemu dengan kedua puting yang merekah seakan siap menjadi hidangan."Hhnggghhh.. akhh..mmff" suara lenguhan dari bibir istrinya membuat Arka tersenyum di sela- sela aktifitas sedangkan Liona justru mengutuk diri karena jebol dari pertahanannya. Tubuhnya rindu dengan sentuhan hangat Arka yang memabukan. Gelen
Kepalanya menoleh ke jendela pesawat, ia tak peduli bahwa lehernya mungkin akan patah karena saking lamanya. Dirinya hanya tidak ingin melihat sosok yang duduk di sampingnya, kesal dan benci saling mendominasi di hatinya saat ini."Sayang.." Pria yang terduduk itu dengan leluasa menyentuh tangan yang mengepal di pangkuan istrinya, namun semua itu tak lain hanya mendapat penolakan dan menjatuhkan tangannya ke sisi lain.[Beberapa jam lalu di rumah Gavin]"Kalau kamu tidak ikut aku pulang sekarang maka aku akan membawa hal ini ke ranah hukum, kamu masti istriku secara sah" Liona mengunyah kulit pipi bagian dalam, menahan semua tekanan yang sedikit membuat nyalinya ciut. Gavin juga tidak menyalak seperti sebelumnya, kalimat Arka barusan cukup membuatnya berpikir ulang untuk menahan Liona untuk tinggal bersamanya."Tapi aku.. tapi aku tidak mau hidup denganmu lagi" cicit Liona meredam semua keinginannya untuk marah.Liona bersikeras untuk cerai, tapi jangan lupakan Arka yang akan jauh l
"Kamu mantan Liona kan?" Gavin menghentikan langkahnya, membalik tubuh tegapnya penuh ke arah wanita berambut coklat terang di belakangnya."Kamu lagi, selain arogan dan pemarah kamu juga ternyata suka mengusik kehidupan orang rupanya." balas Gavin masih di tempat."Apa itu adalah jawaban YA untuk pertanyaanku? Aku gak mungkin salah, kamu mantan Liona." senyum mencurigakan dengan alisnya yang tidak lagi presisi setelah yang satunya terangkat dengan sengaja."Aku punya penawaran yang bagus dan saling menguntungkan" Gavin tak tertarik dengan kalimat wanita yang sekarang menangkap langkahnya dengan berdiri di depan dirinya itu."Apa yang kamu mau? anakku menungguku di mobil." Sekali lagi Casie menghentikan langkah Gavin."Percaya padaku bahwa dalam hitungan hari mantanmu itu akan tersakiti, dan itulah saatnya kamu mengambil posisi untuk mendapatkan kembali hatinya. Lebih tepatnya, bawa dia jauh dari Arka, selamanya" kalimat terakhirnya sengaja ditekankan ke telinga Gavin yang merasa ke
"Mama bilang apa Sya?" Bily memecah keheningan di antara tarikan nafas berat di sampingnya."Kenapa dengan Arka?" Kini Liona angkat suara, tapi Tasya terlihat kesulitan menyusun kalimat yang tepat.Memangnya kenapa dengan suaminya, jelas dia pasti bahagia kembali bersama dengan mantan kekasihnya kan. Apalagi saat dirinya pergi, Arka bisa lebih leluasa kembali bersama tanpa ada penghalang, itulah yang coba Liona pikirkan untuk mengusir ke khawatirannya."Kakak di bawa ke rumah sakit lagi" terang Tasya yang bagai kilatan petir untuk Liona di sampingnya."Lagi? Apa maksudnya? A- arka sakit?" Liona tidak tahu kalimat itu ke luar begitu saja dari bibirnya, seperti semua serat di tubuhnya bekerja keras untuk melawan pikirannya sendiri, dia mulai khawatir saat ini."Itu yang mau aku bilang sama kamu Na, Kakak gak baik- baik aja selama kamu pergi. Dia sakit bahkan sampai kecelakaan-""Sya.." itu suara Bily yang menghentikan kalimat Tasya, lalu melihat Liona yang perlahan menekan jantungnya de