“Apa aku salah lihat? Apa aku salah orang? Ya ampun Salma, kamu merindukan Li sampai begini amat,” gumamku.Namun, tetap saja lelaki yang ada di hadapanku tersebut tampak seperti Li Chen. Hanya saja penampilannya sangat berbeda. Tentu lelaki ini memakai setelan koko dan berpeci.“Kamu tidak salah lihat, Sal,” ucap lelaki itu. Rupanya ia mendengar gumamanku.“Maksudnya?”“Ya Allah, Mbak Salma. Ternyata di sini. Qia sudah ketemu, ya?” sela Lidia menghampiri setelah setengah berjalan tergesa. “Oh ada Pak Irsyad juga?” sambungnya.“Oh ini Pak Irsyad?” tanyaku kepada Lidia.“Ia, Mbak. Kenapa? Pak Irsyad bukan yang menemukan Qia?”“Pak Irsyad?” Aku menatap kembali lelaki itu.“Mbak, jaga pandangan!” tegur Lidia.Lelaki itu tersenyum lebar dan tidak berani membalas tatapanku.“Teh, Pak Irsyad mirip sekali dengan seseorang,” jelasku.“Apa mirip Li Chen?” tanya lelaki itu.“Iya, Kok bisa tahu?”“Sal, aku ‘kan Li Chen temanmu. Irsyad itu nama mualafku. Masa kamu tidak mengenaliku, sih?”“Jadi …
Senin pagi, mentang-mentang Qia ada yang ngasuh, aku jadi mager. Jam tujuh masih saja berselimut di atas kasur. Hawa Sukabumi pagi ini masih dingin. Sehingga di dalam selimut membuatku tetap hangat.Semalam gara-gara memikirkan Li terus, aku jadi tidak bisa tidur. Efeknya sekarang masih mengantuk. “Bobo lagi ah,” gumamku.Sedangkan Qia pasti sudah jalan-jalan dengan Datuk-neneknya. Semoga saja Mama-papa masih betah di Indonesia, jadi aku bisa bersantai-santai dalam mengurus Qia. He ….**“Hoam ….”Aku menggeliat. Sinar matahari pagi sudah berhenti menerobos jendela kaca kamarku. Itu artinya ini sudah siang karena sinarnya meninggi.Lamat-lamat terdengar suara ramai dari luar kamar. Mama papa ngobrol sama siapa, sih? Tanpa memikirkan penampilan aku tarik saja handle pintu kamar. Niat hanya akan menengok sedikit, eh malah ketahuan.“Tuh, Momi baru bangun,” seru Mama kepada Qia.Sontak aku malu sendiri. Lebih malu lagi ternyata orang yang tengah ngobrol dengan Mama papa adalah Pak Irsya
Li tidak peka dengan maksudku mengabarkan bahwa telah janda. Sebaiknya jangan berharap berlebihan. “Apa Sal? Yang awak cakap barusan. Jadi awak beli Resto café, tapi si Hans ambil alih demi awak bisa cerai?” Mama terkejut dengan yang aku ucapkan sebelumnya.Aduh kenapa aku sampai bisa lupa? Kalau Mama papa memang belum aku kasih tahu perihal Resto café itu.“Apa Resto café yang tempo hari awak tengok?” timpal Papa.“Iya, Pah.”“Ekhm, katanya punya teman,” sindir papa.“Maaf, Pah.”“Sudahlah, toh semua itu sudah lewat.”Mama hanya memutar bola mata malas. Kalau tidak ada Li, pasti sudah ngomel kayak kereta, panjang.“Iya. Teriam kasih Pah. Oya Li, ngomong-ngomong, kamu bisa jadi mualaf, bagaimana ceritanya?” tanyaku sangat penasaran.Li pun bercerita tentang pengalaman religinya tersebut. Sewaktu menuju bandara, untuk terbang ke Beijing dan menikah serta menetap di sana. Li mengalami kecelakaan hebat. Nyawa sudah sangat terasa diujung kuku.Dalam sekaratnya tiba-tiba ia mendengar seru
Usai melaksanakan solat empat rakaat, kami makan siang bersama di rumah dengan menu ikan goreng dan tumis-tumis. Kebetulan Mama dari dulu memang pandai masak dan rasanya selalu enak.“Sal, awak harus sering-sering belajar masak. Biar Li nanti tambah betah di rumah,” cetus Mama.“Aku akan tetap betah Mah, mau Salma pintar masak atau tidak. Dimana pun dan siapa pun yang masak, asal makannya bareng dia, pasti akan enak,” jawab Li.“Ekhm, mulai keluar nih, gombalnya,” goda mama.“Yuk, kita makan dulu. Gombalnya kita lanjutkan nanti selesai makan,” usul papa.“Iya, pah.”Padahal dari dulu sudah sering sekali makan bareng Li, tetapi sekarang kok rasanya ada yang beda. Aku jadi tidak bisa bebas ngunyah dan nambah. Memang ribet ya, kalau hati sudah terlibat. Hehe ….Akhirnya proses makan pun selesai.“Jadi kalian mau menikah kapan?” tanya papa.“Secepatnya, Pah,” jawab Li.“Bagus. Lebih cepat lebih baik. Papa mama juga ‘kan harus pulang, soalnya kemarin memakai visa liburan ke sini. Jadi tida
Diketusin, Hans malah terkekeh. Disindir atau dimaki sekalipun, sekarang dia benar-benar tebal muka.“Ya iyalah. Udah diselingkuhin dua kali. Terus asset kamu juga hilang, tabungan habis gara-gara aku. Gimana kamu enggak sebal sama aku?” Hans cukup sadar diri, tapi nyebelin.“Tapi serius bukan karena aku sebal doang, emang beneran enggak enak. Soalnya kita bukan mahram. Meski ada Qia diantara kita, tetap saja jadi kurang nyaman kalau lama-lama.”“Ya, Bu Haji, aku ngerti.”“Ih enggak usah panggil Bu Haji segala!”“Tapi kamu cantik lho, dikerudung. Tampak anggun sekali. Doakan ya, agar mantan suamimu ini bisa tobat juga.”Sebenarnya aku sendiri masih kadang-kadang dijilbabnya. Semoga bisa Istiqomah untuk kedepannya.“Iya. Aku doakan. Asal kamu sungguh-sungguh. Insya allah jalan taubat selalu terbuka.”“Iya, aku pikir-pikir dulu lah.”“Dasar!”Tobat dipikir-pikir dulu, kalau keduluan ajal baru tahu rasa kamu. Eh, kenapa aku malah merasa tersindir oleh pikiranku sendiri? Bukankah aku juga
Sore hari aku sudah memandikan Qia. Sekarang putriku yang menggemaskan ini sudah wangi dan sangat lucu dengan baju terusan pita-pitanya.“Mom, mom, momm …,” celoteh Qia seraya belajar jalan selangkah dua langkah.Lusa adalah hari kelahirannya tepat satu tahun.“Anak Momi pinter.” Aku pun membawa Qia ke teras untuk bermain.“Ya, ya, ya ….” Ia menepuk-nepuk tangan.“Apa Sayang Momi? Oya, Qia mau kado ulang tahun apa?” “Mau papa balu, Momi,” sahut Lidia tiba-tiba muncul.“Eh, Ate Lidia. Selamat sore,” sapaku.“Sore anak gemoy.”Lidia langsung menggendong dan menciumi Qia. Ia meronta tak suka karena ciuman bertubi-tubi itu membuat tak nyaman.“Uh, uh, uh,” protes Qia.“Dia engak mau diciumin terus, Teh.”“Habisnya gemes banget, sih. Buat Teteh sajalah,” pintanya enteng.“Buat Teteh? Emang Qia barang apa?”“Ya, nanti ‘kan Mbak bisa bikin lagi sama Pak Irsyad,” candanya.“Huss! Bikin apanya? Orang kita terpentok restu.”“Jadi masalah ini masih belum kelar?”“Belom.”“Yah ….”“Mau bagaimana
Maaf sebelumnya salah copas. Sudah diperbaiki. Menunggu ACC.**Tidak disangka-sangka Qia berekpresi senang sampai tubuh mungilnya melonjak kegirangan.“Wah, Qia suka sama Omah!” seru Lidia.Tante Ratna bangkit dari sandaran bad. Ia duduk perlahan. “Sini Sayang!” Ia merentangkan tangan meraih Qia. Putriku itu tentu menyambut gembira.Li pun melepaskan Qia ke pangkuan maminya. Rupanya tante Ratna tidak tahan dengan godaan anakku. Ia terlampau senang dan sangat memang mendambakan anak kecil. Apa lagi Qia itu menggemaskan. Siapa pun mudah jatuh hati kepadanya. Gemoy, pipi bapau, kulitnya putih bersih, iris mata yang hitam pekat, hidung kecil tetapi mancung, serta dua bola matanya yang belo nan jernih.Setelah kami semua ngobrol kesana kemari, akhirnya lima belas menit kemudian hendak berpamitan.Namun ponsel Li tidak berhenti berbunyi. Ternyata ia diminta datang ke Yayasannya untuk mendatangani sebuah berkas penting dan ada beberapa urusan mendesak.“Aduh, Mih. Apa tidak mengapa kalau L
Hari ini adalah hari ulang tahun Qia. Aku belum ada rencana apa-apa. Bahkan aku bingung mau belikan kado apa? Mungkin aku hanya akan membelikannya cake ulang tahun bertema Kuda poni kesukaannya. Habisnya kami hanya berdua, mungkin tambah Lidia saja. Coba kalau datuk-nenek ada di sini, akan lain cerita.Bunyi dering ponsel membuyarkan lamunan. Ternyata datuk-nenek Qia melakukan panggilan video call. Gegas kuangkat.“Assalamualaikum, mana cucu nenek?” sapa mama setelah panggilan terhubung.“Waalaikum salam Nenek. Nenek apa kabar?” balasku sambil memperlihatkan kepada Qia layar ponsel dimana datuk-nenek berada.“Kabar kita baik. Wah comelnya cucu Nenek. Hari ini hari jadi, ya?”“Iya, Nenek.”Mama pun menyanyikan lagu selamat ulang tahun, “happy birthday to you ….”Dengar neneknya menyanyi, Qia langsung joget-joget sambil melambaikan tangan.“Lihat tuh, Mah!”“Iya. Aduh lucu! Jadi mahu cepat-cepat ke sana lagi.”“Secepatnya datuk dan nenek mahu ke sana. Tunggu, ya!” papa ikut nimbrung.“
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip