Siapa yang menelepon Raka?
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak
🏵️🏵️🏵️ Clara yang kini berdiri di depanku tidak mungkin sama dengan Clara yang Raka maksud. Mungkin saja namanya kebetulan sama. Aku harus menepiskan pemikiran yang membuatku bertanya-tanya. Lebih baik aku mengajaknya duduk dan berbincang untuk melepas rasa rindu. Pertemuan dengannya benar-benar kejutan menurutku. Setelah memikirkan dirinya kemarin, aku akhirnya melihat wajahnya sekarang. Seandainya Bunda di sini, beliau pasti akan senang melihat keberadaan Clara. Dulu, Bunda sering memintaku mengajak Clara bermain dan bahkan makan di rumah karena orang tuanya sangat sibuk dengan karir. Papi dan maminya lebih fokus mengurus perusahaan mereka. Namun sayang, usaha itu akhirnya pailit hingga mereka memilih pindah ke luar kota untuk mecari peruntungan dan mengubah nasib. Jika dilihat dari penampilan Clara saat ini, sepertinya keuangan mereka telah kembali di puncak. Aku turut bahagia melihat keadaannya yang sekarang karena aku sangat sedih ketika dirinya dulu pernah berada di posisi
🏵️🏵️🏵️ Sebulan berlalu, aku dan Mas Raka akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Aku sangat terharu saat acara ijab kabul tadi. Ia sangat lantang melafalkannya tanpa ada keraguan ataupun gugup. Kini, kami sedang menikmati jadi raja dan ratu sehari di pelaminan. Aku tidak menyangka kalau tamu undangannya sangat ramai. Mungkin saja karena keluarga Mas Raka memiliki usaha hingga rekan-rekan kerjanya turut menghadiri acara resepsi pernikahan kami. Teman-teman Mas Raka saat masih kuliah, juga turut hadir. Sementara aku hanya mengundang beberapa teman sekolah dan kuliah saja. Untuk teman kerja, Om Wawan yang memberikan undangan. Aku juga tidak lupa mengundang Mas Arga dan Shanti. Namun, sangat disayangkan karena hingga sore ini, pasangan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Selamat, ya, Nay.” Bunga—sahabat terdekatku di kampus, menyalamiku lalu kami berpelukan. Ia datang bersama Pak Ezza—suaminya yang juga merupakan dosen di kampus kami. Jadi, Bunga menikah dengan dosenn
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau wanita yang terobsesi terhadap Mas Raka berani mengirim pesan yang terkesan mengancam. Kenapa ia harus memaksakan kehendak jika memang Mas Raka tidak pernah memiliki perasaan cinta untuknya? Apa ia tidak tahu kalau cinta itu tidak dapat dipaksakan. Menurutku, sikap yang ia tunjukkan bukan cinta, tetapi ambisi. Jika ia benar-benar mencintai Mas Raka, ia pasti akan bahagia milihat lelaki yang ia cintai bersatu dengan wanita pilihannya. Entah kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Saat aku telah menemukan laki-laki yang jauh lebih segalanya dari Mas Arga, kini aku kembali dihampiri wanita yang terobsesi terhadap suamiku. Walaupun ia tidak menemuiku secara langsung, tetapi semua isi pesannya selalu menuduhku merebut hak miliknya. “Kenapa, Sayang?” Mas Raka memegang lenganku. “Mas baca sendiri aja pesannya.” Aku pun menyerahkan ponselku kepadanya supaya ia melihat pesan masuk tersebut. “Ternyata dia masih nekat ganggu kamu, padahal s
🏵️🏵️🏵️ Sore ini, aku berbincang dengan Anisa di taman belakang. Ternyata ia tidak kalah kepo dari Novia. Rasa ingin tahunya benar-benar tingkat tinggi. Namun, aku tetap suka karena rasanya tidak ada jarak di antara kami. Kami seperti kakak dan adik kandung, bukan ipar. Anisa bercerita panjang lebar tentang Mas Raka yang super cuek dan belum pernah dekat dengan wanita. Ia selalu menyebut kakaknya seperti kulkas. Aku pun tertawa setiap ia melontarkan julukan itu. Namun, ia mengaku heran karena melihat fotoku di ponsel Mas Raka. Aku jadi penasaran, sejak kapan Mas Raka menyimpan fotoku? Ia memang unik dan lucu. Bisa-bisanya mencintai wanita yang telah memiliki kekasih kala itu. Aku kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu saat ia ingin menciumku. Ternyata dugaanku benar kalau dirinya tidak sekadar mencium kening. Akhirnya, aku berhasil memberikan ciuman pertamaku kepadanya. Kejadian itu selalu berhasil membuatku tersenyum. Namun, aku masih merasa bersalah karena hingga saat in
🏵️🏵️🏵️ Hari ini Minggu, cuaca sangat dingin karena sejak tadi subuh, hujan seolah-olah enggan untuk tidak terjun dari tempatnya. Aku dan Mas Raka memilih melanjutkan tidur setelah menunaikan kewajiban sebagai umat muslim tadi. Sekarang, waktu telah menunjukkan jam tujuh pagi, tetapi Mas Raka masih menikmati istirahatnya. Aku memandangi wajahnya yang tampan sambil sesekali mengusapnya. Aku sangat bersyukur memiliki suami seperti dirinya. Ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Namun, jika mengingat ancaman wanita yang bernama Clara, kadang aku meragukan hubungan kami. Apakah kami akan menua bersama? Sungguh, Clara berhasil membuatku menjadi seseorang yang sangat takut kehilangan Mas Raka. Apalagi Nayla kembali menyampaikan mimpi yang sama tadi malam. Papa dan mama mertua akhirnya meminta anak itu tidur bersama mereka. Sepertinya kedua orang tua itu mengerti dengan posisiku dan Mas Raka. Akan tetapi, hingga detik ini, kami belum menunaikan tugas suami istri yang telah beberapa k
🏵️🏵️🏵️ Malam ini seperti biasa, kami melakukan rutinitas makan bersama. Terus terang, aku tidak menikmati menu yang ada di meja. Bukan karena tidak menggugah selera, tetapi karena masih ingat pertemuan dengan Clara tadi. Aku masih saja memikirkan sikap yang Mas Raka tunjukkan terhadap wanita itu. Aku pikir, setelah mengetahui orang yang mengirimiku pesan selama ini, hati akan lebih tenang dan puas. Namun, kenyataannya saat ini, aku justru makin memikirkan di luar dugaan. Bagaimana bisa aku menganggap Mas Raka pernah memiliki ikatan dengan Clara? Aku harus menepiskan pemikiran itu karena selama ini, aku merasa kalau Mas Raka adalah suami terbaik yang mampu membawaku keluar dari penderitaan. Di samping itu, ia juga selalu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Jadi, tidak mungkin dirinya memiliki hubungan dengan Clara. Mas Raka juga berani mengaku di depan Clara kalau ia tidak memiliki perasaan lebih kepada wanita itu. Aku tidak seharusnya berpikiran buruk terhadap Mas Raka. M
🏵️🏵️🏵️ Sebelum benar-benar menuju alam mimpi, aku memilih bangun lalu menuju kamar mandi untuk membuang air kecil dan mencuci muka. Sementara Mas Raka tersenyum melihatku setelah kembali ke tempat tidur. Ia meminta maaf karena baru masuk kamar. Walaupun ia pernah mengatakan kalau tujuan kami menikah tidak hanya sekadar untuk melaksanakan tugas suami istri, aku tahu kalau dirinya pasti ingin merasakan bercinta dengan pasangannya. Oleh karena itu, aku sebagai istri harus mampu mewujudkan harapannya. Aku sudah yakin akan memadu kasih dengannya malam ini. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi. Kecurigaanku tentang dirinya memiliki hubungan dengan Clara, tidak beralasan. Jika ia memang memiliki cinta terhadap wanita itu, bukan aku yang berada di sini sekarang. “Terima kasih karena bersedia bangun untuk saya. Maaf, karena saya mengganggu tidur kamu.” Ia mengusap pipiku. Kini, posisi kami sedang duduk berhadapan. “Iya, Mas, nggak apa-apa. Sudah sewajarnya saya memenuhi keinginan suami.”
🏵️🏵️🏵️ Aku terkejut merasakan gerakan anak dalam perutku. Ini untuk pertama kalinya terasa sangat kuat. Aku terharu dengan anugerah Yang Kuasa. Ternyata seperti ini rasanya menjadi calon ibu. Tanpa diminta, air mataku jatuh membasahi pipi. Jika mengingat perjalanan hidupku sejak mengenal yang namanya cinta, aku tidak menyangka akhirnya berada di titik ini sekarang. Aku mengandung anak dari laki-laki yang perkenalan kami sangat singkat hingga berhasil duduk di pelaminan. Anugerah datang bertubi-tubi menghampiriku. Mulai dari memiliki keluarga baru yang menerima kehadiranku dengan ikhlas. Terus, sebelum mengandung, keponakan Raka menganggapku sebagai mamanya. Di samping itu, papa dan mama mertua sangat menyayangiku. Aku juga sangat bersyukur karena wanita yang dulu mengharapkan cinta Mas Raka, kini tidak mengusik kehidupan rumah tangga kami lagi. Ia telah menemukan kehidupan barunya bersama Bimo, laki-laki yang pernah menaruh hati kepadaku. “Sayang, kenapa nangis?” Wajah Mas Raka
🏵️🏵️🏵️ Aku sangat bersyukur karena Mas Raka berhasil menyelamatkan diriku dari keegoisan Clara, tetapi wanita itu sepertinya belum ada niat untuk berhenti mengusikku. Setelah tiba di rumah, ia kembali mengirimkan pesan berupa ancaman. Terus terang, aku masih terpukul dengan apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia tidak hanya ingin menjauhkan aku dengan Mas Raka, tetapi juga melakukan kekerasan fisik terhadapku. Beberapa kali, ia mendaratkan tamparan di pipiku, bahkan ia juga menjambak rambutku. Aku tidak mengerti kenapa rasa kemanusiaan dalam dirinya seolah-olah telah sirna hanya karena tidak mampu bersatu dengan Mas Raka. Ia selalu menganggapku sebagai penyebab dirinya tidak mendapatkan balasan cinta dari Mas Raka. Aku tidak tahu harus bagaimana memberikan penjelasan kepadanya kalau aku tidak pernah merebut miliknya. Mas Raka beberapa kali mengaku kepadanya kalau ia tidak memiliki perasaan lebih terhadap Clara. Ia hanya mencintaiku. “Kamu kenapa, Sayang?” Aku menghampiri Mas Raka y
POV RAKA 🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau Clara berani berbuatsenekat itu. Aku pikir selama ini, ia hanya sekadar menggertak Kanaya hinggabeberapa kali mengirimkan pesan ancaman kepadanya. Ia seolah-olah lupa kalaudirinya dan Kanaya pernah menjadi sahabat, bahkan tetangga. Aku tidak tahu bagaimana caranya memberikan pengertiankepada Clara tentang ambisinya yang ingin memilikiku. Sejak awal kami kenal,aku tidak pernah memiliki rasa yang berbeda terhadap dirinya. Bagiku, ia tetapteman biasa. Aku akui kalau orang tuanya salah satu pemilik sahamdi perusahaan kami, tetapi bukan berarti aku dan dirinya harus memiliki ikatanistimewa. Aku hanya mencintai Kanaya hingga aku rela menunggunya kurang lebihdua tahun agar ia mengakhiri hubungan dengan mantan kekasihnya. Mungkin Kanaya pasti pernah kecewa ketika aku tidakbersikap tegas terhadap Clara. Aku belum mengatakan kebenaran kalau Papaberutang budi kepada orang tua Clara. Usaha Papa pernah dalam masalah beberapatahun yang lalu. B
POV RAKA 🏵️🏵️🏵️ Aku sangat bahagia karena akhirnya berhasil menikahi gadis yang telah lama aku cintai. Aku mengenalnya dari Om Wawan, tetapi tidak secara langsung. Kala itu, aku mengikuti saudara dari papaku itu. Beliau akan berkunjung ke rumah sahabatnya. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis cantik menyalami Om Wawan yang ternyata merupakan anak dari sahabatnya. Keesokan harinya, aku pun bertanya tentang gadis itu kepada Om Wawan. Aku ingin mengenalnya. Namun sayang, ia telah memiliki kekasih. Aku hanya mampu memandangnya dari kejauhan. Terus terang, aku sangat cemburu setiap laki-laki yang menjadi pasangannya kala itu menghampirinya. Aku hanya berharap keajaiban agar keberuntungan berpihak kepadaku. Doa dan harapanku akhirnya terkabul karena dua tahun kemudian, gadis yang aku cintai itu memutuskan hubungan dengan kekasihnya karena ditinggal nikah. Di satu sisi, aku sangat bahagia karena memiliki kesempatan besar untuk mendekatinya. Namun di sisi lain, aku tidak kuasa meli
🏵️🏵️🏵️ Ada apa dengan Tania? Walaupun tadi obrolan kami telah terputus karena aku tidak sanggup untuk meneruskannya, ia masih tetap berusaha menghubungiku sekarang. Sepenting apa informasi yang ingin ia sampaikan? Biasanya, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, aku benar-benar tidak sanggup menerima telepon darinya saat ini. Mual yang kurasakan makin sering muncul. Kepalaku juga sangat sakit. Aku ingin memejamkan mata setelah minum air hangat nanti. Akhirnya, Mas Raka pun kembali masuk kamar sambil membawa gelas berisi air yang aku inginkan. Aku segera meneguknya hingga habis. Sebelum kembali merebahkan tubuh, aku mengirimkan pesan kepada Tania sebagai permintaan maaf. [Maaf, Tan, aku nggak bisa angkat telepon kamu karena aku sakit. Ini aku mau tidur. Besok aku telepon, ya.] Aku segera meminta Mas Raka menyimpan ponselku ke nakas, sedangkan aku memilih berbaring. Aku berharap setelah istirahat malam ini, rasa mual dan lemas itu tidak muncul lagi. Aku ingin bersik
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, tiga bulan usia pernikahanku dengan Mas Raka. Ia makin menunjukkan kasih sayangnya kepadaku. Ia juga tidak mempermasalahkan diriku yang tidak mengajar lagi di sekolah Nayla karena wali kelas yang dulu cuti melahirkan, kini telah kembali beraktivitas. Mas Raka meminta agar aku fokus di rumah saja supaya tidak kelelahan mengingat kami yang ingin punya momongan. Namun, aku merasa jenuh karena tidak ada kegiatan, aku pun meminta bekerja di kantornya untuk menggantikan posisi sekretarisnya yang memilih resign karena ikut suaminya dinas ke luar kota. Awalnya, Mas Raka menolak, tetapi setelah aku memberikan penjelasan, ia pun setuju. Aku berjanji tidak akan memaksakan diri dalam pekerjaan hingga kelelahan. Aku juga akan tetap fokus agar segera hamil dan melahirkan anaknya. “Harus janji, nggak boleh capek-capek. Kapan pun, saya selalu siap bantu kamu. Saya kasih kamu ngantor karena saya nggak mau kamu banyak mikir karena suntuk di rumah.” Mas Raka mengingatkanku sebelum
🏵️🏵️🏵️ Apa semua laki-laki memang sengaja ingin menyakiti pasangannya? Tidak! Mungkin hanya aku saja yang merasakan hal itu karena kenyataannya, Ayah tidak pernah membuat Bunda sedih. Orang tuaku itu selalu menunjukkan keromantisan sejak dulu. Entah kenapa nasibku jauh berbeda dengan mereka. Beberapa bulan yang lalu, aku ditinggal nikah Mas Arga dengan sahabatku. Sekarang, aku melihat foto suamiku sedang bermesraan dengan wanita yang merupakan tetangga, juga teman masa kecilku. Kenapa tetanggaku berhasil mengobrak-abrik hati dan perasaanku? Mereka seolah-olah tidak pernah menganggapku sebagai orang terdekat. Mereka tega ingin merebut kebahagiaanku. Apa kesalahan yang aku perbuat terhadap mereka? Kenapa aku menyalahkan diri sendiri? Aku merasa tidak pernah menyakiti perasaan mereka. Aku justru menganggap mereka sebagai keluarga, tetapi itu dulu, bukan sekarang. Mereka yang telah memaksaku untuk menjaga jarak dengan mereka. “Sayang, buka pintunya.” Mas Raka memanggilku sambil men
🏵️🏵️🏵️ Aku masih penasaran dengan laki-laki yang Mas Raka maksud. Apa mungkin Bimo? Kenapa ia berani mengaku merindukanku? Apa ia tidak tahu kalau aku telah menikah? Entah kenapa, saat aku dan Mas Raka baru melakukan tugas suami istri, tiba-tiba dihadapkan pada situasi seperti ini. Untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Raka cemberut seperti ini. Sangat wajar kalau dirinya cemburu. Aku juga pasti akan merasakan hal yang sama jika wanita lain mengaku merindukan suamiku. Aku tiba-tiba mengingat Clara. Aku bersyukur karena beberapa hari ini tidak menerima pesan darinya. Mungkin pertemuan kami kala itu telah menyadarkannya. Sangat jelas kalau Mas Raka mengatakan apa yang ia rasakan tentang hatinya yang hanya mencintaiku. Mungkin Clara berpikir kalau Mas Raka tidak akan pernah menjadi miliknya. Aku berharap semoga wanita itu menemukan laki-laki yang benar-benar mencintainya. Aku sangat tahu rasanya jika melihat orang yang kita cintai lebih memilih bersama dengan yang lain. Akan teta
🏵️🏵️🏵️ Sebelum benar-benar menuju alam mimpi, aku memilih bangun lalu menuju kamar mandi untuk membuang air kecil dan mencuci muka. Sementara Mas Raka tersenyum melihatku setelah kembali ke tempat tidur. Ia meminta maaf karena baru masuk kamar. Walaupun ia pernah mengatakan kalau tujuan kami menikah tidak hanya sekadar untuk melaksanakan tugas suami istri, aku tahu kalau dirinya pasti ingin merasakan bercinta dengan pasangannya. Oleh karena itu, aku sebagai istri harus mampu mewujudkan harapannya. Aku sudah yakin akan memadu kasih dengannya malam ini. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi. Kecurigaanku tentang dirinya memiliki hubungan dengan Clara, tidak beralasan. Jika ia memang memiliki cinta terhadap wanita itu, bukan aku yang berada di sini sekarang. “Terima kasih karena bersedia bangun untuk saya. Maaf, karena saya mengganggu tidur kamu.” Ia mengusap pipiku. Kini, posisi kami sedang duduk berhadapan. “Iya, Mas, nggak apa-apa. Sudah sewajarnya saya memenuhi keinginan suami.”