"Dasar wanita jal*Ng!" geram Bian tampak naik pitam. Tidak keras, tetapi penuh dengan penekanan. Bahkan tangannya terlihat mengepal keras. Lelaki itu melangkah cepat menuju meja yang kutunjuk.Wahhh ... sebentar lagi akan ada drama. Aku penasaran apa reaksi Tania dan juga Mas Galih. Lihatlah betapa terkejutnya Tania menyadari kehadiran Bian.Jarak ini membuat percakapan mereka tidak tertangkap kuping. Tapi, jika dilihat dari lagaknya, sepertinya Tania tengah berpura-pura lagi. Gadis itu tersenyum kecut seraya mengenalkan Mas Galih pada Bian. Dan Bian menerima uluran tangan itu, walau wajahnya masih menampilkan rona kecemburuan."Mika, kenapa tidak ikutan gabung dengan mereka?"Deg!Aku tertegun. Suara yang setiap hari tidak asing itu terdengar. Benar saja, ketika aku berpaling ada sosok Ega tengah menatapku heran.Kenapa Ega bisa ada di sini juga?"Kenapa tidak gabung dengan mereka?" ulang Ega masih menatap heran.Belum sempat menjawab, pria itu beranjak menuju meja Tania. Akhirnya, k
Sesaat aku tercekat melihat foto Bapak Edi yang penuh coretan darah itu. Namun, lekas kunetralkan dengan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Merasa cukup tenang, pintu kamar lekas kututup. Takut Ibu Gina dan Bapak Edi masuk ke kamar ini.Usai menutup pintu dan menguncinya rapat, aku mendekati foto tersebut. Tangan ini sedikit bergetar saat menarik gambar itu dari tembok. Aroma amis menguar begitu foto itu aku dekatkan ke hidung.Walau sudah mengering, tapi memang benar-benar darah. Hiii ... aku bergidik ngeri. Refleks foto itu aku buang ke lantai. Bian mengerikan sekali. Pasti ada maksud terselubung dari keberadaannya di sini.Apakah dia berencana buruk pada bapak mertua? Tapi kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan foto yang ia jatuhkan dulu?Andai dugaanku benar jika memang Bian adalah putra kandung dari Bapak Edi, kenapa dia melakukan ini? Mungkin kah Bian dendam pada Bapak Edi karena sesuatu hal yang tidak kuketahui?Aku menggeleng. Ini rumit. Aku tidak bisa memecahkannya sendir
Usai berucap demikian, Bapak Edi pun berlalu. Pria itu diam saja saat berpapasan dengan Tania. Dia sama sekali tidak merespon walau mendapat anggukan ramah dari gadis yang sudah mengenakan dress rumahan itu."Aku laper nih," ujar Tania cuek begitu mendekat.Tanpa canggung ia mengambil piring bersih di kabinet atas dapur. Lalu langsung duduk tepat di hadapanku. Tanpa malu-malu pula ia langsung menyiduk nasi dan lauk. Tidak lupa mengambil ayam goreng kremesnya.Aku sendiri tidak peduli. Tania yang beberapa waktu lalu datang dengan gaya malu-malu kucing, kini sudah menjelma ke wajah aslinya. Tanpa permisi dia langsung melahap semua makanan. Melihat gaya makan Tania yang bagai orang kesetanan, seleraku kian hilang."Orang hamil memang makannya banyak, Mik," ujarnya dengan meringis. Tania seolah tahu isi hati ini lewat tatapanku padanya."Emang kamunya yang rakus," cibirku sinis. Tania mencebik, tetapi detik berikutnya dia kembali meringis. "Di mana-mana orang hamil muda itu biasanya gak d
"Mama kecewa padamu, Mika," ketus Bu Gina berlalu marah.Aku terhenyak. Semudah itukah Ibu Gina tidak mempercayai aku? Ketulusanku selama ini lenyap hanya karena foto yang tidak jelas itu. Gambar yang kuyakini pasti kiriman dari Tania atau Bian.Hati ini semakin tertikam perih saat semua orang yang kusayang hanya bergeming. Tidak ada yang angkat bicara. Apalagi mau membela. Baik Bapak Edi dan Ega terbisu menekuri lantai. Dan itu dinikmati sekali oleh Tania. Ekor mataku menangkap senyum kemenangan di sudut bibirnya."Ibu Gina, saya bisa jelaskan." Tidak disangka Bian berdiri dan menginterupsi. Membuat langkah Ibu Gina terhenti. Lelaki yang malam ini terlihat sedikit rapi dengan mengenakan kaos putih berbalut blazer hitam mendekati mertuaku. "Saya harap Ibu Gina jangan salah paham dulu," pinta Bian terdengar begitu sopan.Mata Ibu Gina memincing. "Apa yang mau kamu jelaskan untuk gambar-gambar itu?" tantang Ibu Gina terdengar dingin dan angkuh.Terlihat Bian terlebih dulu mengatur napas
"Bian! Apa yang kamu lakukan?!" tegur Ega lantang. Aku sendiri terkesiap melihat betapa geramnya Bian mencekik leher Tania. Langkahku maju berdiri di samping Ega.Mendengar gertakan Ega, sontak Bian dan Tania menoleh."Kenapa kamu kasar pada Tania, Yan?" protes Ega terlihat tidak terima melihat kekasih hatinya dikasari. Matanya tajam memang sosok jangkung itu.Bian bergeming. Namun, cekalan kedua tangannya pada leher Tania mulai mengendur. Begitu terlepas Tania terbatuk-batuk sembari mengusap kerongkongan.Leher jenjang mulus itu tampak memerah. Bisa kubayangkan betapa kuat Bian mencengkeram leher wanita yang malam ini begitu seksi. Karena hanya mengenakan gaun tidur bertali satu."Yan?!" Ega kembali menegur karena mulut Bian masih terkunci rapat."Eum ... anu, Ga, tadi ... kami ... eum maksudku ...." Tania tampak terbata saat berbicara. Padahal pertanyaan Ega dilayangkan bukan padanya. Melainkan untuk Bian. "Biasa, Ga, cuma masalah sepele." Akhirnya Tania bisa meneruskan ucapannya.E
Kini tangannya mengambil sendok, lalu mengambil bubur buatannya. "Tolong cobain bubur buatanku," pintanya dengan sendok yang sudah terjulur hingga ke bibirku. Maka mau tak mau kulumat juga nasi lembek itu. "Enak gak?" tanya Bian dengan wajah harap-harap cemas."Eum ... boleh juga."Bian tersenyum senang. "Lagi?" Ia kembali menyorongkan sendok hingga mulutku.EHEM-EHEMRefleks aku dan Bian berpaling. Sosok Ega menatap kami dengan tajam."Setrikain kemejaku, Mik!" suruhnya datar."Iya." Aku mengangguk pelan.Ega kini menatap Bian. "Dan kamu tolong panaskan mesin mobil," titahnya kali ini dingin."Oke." Bian menjawab santai. "Tan!" Dia melambai pada Tania yang datang. "Siapkan bubur ini untuk sarapan, ya," suruhnya begitu Tania mendekat."Oke." Tania membalas dengan senyuman manis.Selanjutnya Bian beranjak menuju garasi untuk memanasi mesin mobil. Sedangkan aku dan Ega kembali menuju kamar."Ngobrol apa aja tadi bareng Bian?" kepo Ega ketika aku mulai menggosok kemeja warna kremnya."Ga
"Pedasss!" Tania berteriak keras. Tangannya langsung meraih gelas yang berada tepat di depannya. Wanita itu menenggaknya hingga tandas. "Ahhh ... masih pedas!" Dia merengek dengan mata yang telah berair."Kenapa dia?" tanya Bapak Edi mengernyit heran. Ibu Gina juga menatap Tania dengan tatapan aneh. Sementara Ega hanya bisa melongo bingung.Lain dengan Bian. Lelaki itu berjalan tenang menuju lemari pendingin. Tangannya mengambil sekotak susu cair besar, lantas menuangkannya pada gelas kosong. Baru mengangsurkan pada Tania."Minum susu lebih cepat mengurangi pedas dari pada air putih," ucapnya terdengar tulus.Tania mengangguk cepat. Gelas itu langsung ia sambar. Hanya butuh waktu beberapa menit isu gelas itu telah berpindah ke perutnya."Sudah baikan?" tanya Bian kembali terdengar lembut dan peduli. Dan pertanyaannya ditanggapi senyuman manis oleh Tania. Di sisi lain kulihat Ega mendengkus panjang karenanya."Tahu lagi hamil, kenapa malah sarapan cabe?" tegur Ibu Gina ketus pada Tania
Tidak kupedulikan lagi Tania dan tingkah lakunya. Terserah saja dia mau pergi ke rumah sakit dengan siapa. Lebih baik membersihkan diri saja.Ada mertua yang harus dilayani. Aku tidak mau tubuh lengket ini membuat nilaiku turun di mata mereka. Aku mengenal Ibu Gina dan Bapak Edi. Keduanya sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Makanya sesibuk apapun aku harus tampil rapi di depan keduanya.Ketika akan memasuki kamar mandi, ponsel yang tergeletak di nakas bergetar. Tadinya ingin abai, tetapi benda persegi tujuh inchi itu terus berdering. Saat kutengok, ada nama Ghani yang tertera di layar.Ada apa? Semenjak menikah dengan Ega enam bulan lalu kami sudah tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun telepon. Walau begitu kontak nomornya masih kusimpan.Ini untuk pertama kalinya dia menghubungi aku, setelah malam perpisahan kami yang begitu menyisakan luka. Masih hangat di kepala, betapa kecewanya Ghani saat kuputuskan secara sepihak.Ragu-ragu kuraih ponsel yang baru sebula
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m