Demi menjaga kewarasan, Rizal melihat-lihat suasana sekitar kantor Ratih yang jendelanya menghadap keluar. Pemandangan di luar tampaknya lebih aman untuk emnghindari tatapan lalu lalang karyawan teman-teman Ratih saat jam istirahat.
“Zal.”Sebuah panggilan yang akhir-akhir ini suaranya begitu dikenal, membuat Rizal membalikkan badannya.Ia tak dapat menyembunyikan senyumnya saat wanita yang di matanya kini bak bidadari itu sudah berdiri, berjarak beberapa jengkal saja darinya.“Mana undangannya?” Rizal langsung bertanya. Sedari tadi, dia sudah menyiapkan aneka dialog di kepalanya. Dia harus terlihat percaya diri dan tidak grogi. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman, semestinya berhadapan dengan wanita bukanlah hal baru. Namun, nyatanya, Rizal tak dapat menyembunyikan perasaannya.“Eh, sebentar. Tunggu....”Rizal sangat suka melihat Ratih yang salah tingkah dan grogi. Itu seperti sebuah kemenangan baginya. Bahkan, PSepulang kerja, Rizal tak melihat putrinya menyambutnya. ”Sasti mana, Mbak?” tanya Rizal pada Siti. Siti menghela nafas. “Ada masalah?” Rizal mangerutkan keningnya. Siti hanya bersikap seserius itu jika ada hal yang tak beres. ”Di sekolah kata gurunya, Sasti keceplosan ngomong, kalau dia mau punya Bunda baru.””Trus?” ”Dia diledek sama temen-temennya.” Rizal yang hendak ke kamar, urung. ”Diledek gimana?” ”Ada temannya yang papanya juga nikah lagi. Dia cerita kalau mama barunya galak.” Rizal menarik nafas dalam. “Sasti di kamar?” tanya Rizal. Siti mengangguk. Sasti hampir tak pernah mengurung di kamarnya, kecuali tidur. Hari itu masih sore. “Kenapa, Nak?” tanya Rizal, lalu duduk di sisi ranjang. Gadis mungilnya sudah berada di balik selimut. Matanya sembab. Sebelum ke kamar Sasti, Rizal sudah meletakkan tas kerjanya ke ruang kerja, dan cuci tangan. Sasti bangun dan duduk di tempat tidurnya. “Apa tante....” pertanyaan Sasti terpotong. Dia ragu mengatakan sesuatu. ”Tante
“Sasti nanti ngomong sendiri ya sama Tante Ratih.” Rizal memberi titah saat sudah di mobil. Dia menjemput putrinya dari sekolah, lalu mengajaknya ke kantor sejenak, hingga jam yang dijanjikan pada Ratih. Pukul 5 sore.Dalam hati, sebenarnya Rizal deg-degan juga. Dia khawatir putrinya mengatakan sesuatu di luar skenarionya, yang bisa saja membuat semua rencananya berantakan.“Sasti boleh bilang, kalau Sasti nggak mau ibu baru?” tanya putrinya.Deg!Rizal berfikir sejenak. Bicara sama anak kecil harus meyakinkan.”Boleh.””Kalau Sasti mau Mama Desti?”Hampir saja Rizal keliru menginjak rem mendadak.”Nak, Papa sudah bilang. Papa sama Mama Desti sudah tidak bisa lagi bareng. Tinggal di rumah yang sama.”“Papa takut berantem? Papa nggak mau ngalah?” cecar Sasti.Rizal menelan ludah.”Gini aja, Sasti ketemu sama Tante Ratih dulu. Setelah itu, kita bicara tentang Mama Desti. OK?”Rizal sudah tak punya stok cara mengalihkan pembicaraan. Dalam hati, dia berharap Sasti akan melupakan pembicaan
”Ayah teman Sasti menikah lagi. Ibu barunya suka marah-marah!” adu Sasti. Tangisnya pecah.Harusnya, Rizal ikut bersedih. Namun, justru dia melihat putrinya seolah sedang bermain drama. Karena itu tak akan mungkin terjadi padanya.Rizal kenal betul siapa Ratih. Saat SMA, jangankan marah. Justru saat dia maki-maki Ratih karena ketauan menyukainya, gadis itu tak pernah marah.Dia masih ingat betapa baiknya Ratih. Meminjamkan PR, catatan. Bahkan seolah dia tak memedulikan dirinya sendiri.Rizal sekilas mengalihkan pandangan. Dia tak ingin terlihat terfokus pada Ratih. Dia pun tak mau memberikan bantuan jawaban, karena dia sendiri kesulitan. Malah, dia pasang telinga baik-baik. Mana tahu jawaban Ratih bisa dijadikan acuan jika sewaktu-waktu Sasti kembali meragukan niatnya menikah lagi.“Insyaalloh, Tante Ratih akan menjadi bunda Sasti. Tante tidak akan marah-marah. Karena Tante sayang sama Sasti.”Rizal mengulum senyum. Melirik sekilas. Dan tanpa disadari keduanya saling bertemu pandang.
Meski hari sudah larut, Rizal terpaksa menelpon ibunya di kampung. Ternyata, ada panggilan dari ibunya tadi sore. Saat ia sedang bersama Ratih. Panggilan itu akhirnya ketumpuk dengan percakapan lain. Grup SMA dan kuliahnya sudah banyak notif seperti biasa. Namun Rizal tak berminat membukanya.Sejak dulu, dia memang jarang membuka grup kecuali memang sedang tak ada kerjaan. Hari biasa, sudah sibuk dengan kerjaan kantor, dan akhir-akhir ini sibuk mengejar cinta.Jadi, saat dia membuka grup untuk posting undangan pun, sama sekali tidak tertarik melihat percakapan terakhir di grup itu.”Kamu kemana saja. Dari tadi ibu telpon nggak diangkat. Telpon Mbak Siti, katanya kamu pergi sama Sasti!” Belum apa-apa Rizal sudah disemprot.”Ibu kok belum istirahat?” tanya Rizal basa-basi.“Gimana mau istirahat. Ibu itu masih butuh bicara sama kamu. Kamu yang mau nikah, ibu yang repot!” Masih dengan omelan khas ibu-ibu.“Lhah, kan ibu sendiri yang nawarin. Kalau dapat menantu yang sesuai kriteria Ibu, k
Rizal segera beranjak tidur. Dia tak memedulikan ingatan pada mantan mertuanya yang sering menghantui. Baginya itu hanya godaan syetan, yang kapan aja mengintai calon mempelai agar gundah dengan pilihannya.Rizal sudah tiba di bandara pukul 6 pagi. Tentu saja, Siti dan Sasti diajak serta. Rizal tak mungkin repot mengasuh putrinya di hari bersejarahnya nanti.Detik berjalan begitu cepat. Berulang kali Rizal harus mengecek arloji di pergelangan tangannya. Ia memastikan kalau waktunya masih lama. Namun, nyatanya waktu justru berlari lebih kencang. Padahal sosok yang ditunggunya tak jua muncul.Pandangan Rizal mengedar ke seluruh penjuru. Dia dan putri juga ART-nya sudah berada di ruang tunggu bandara. Hatinya mulai gelisah. Sosok Ratih tak juga muncul di sana. Padahal sebentar lagi waktu boarding.“Tante ikut kita, Pa?” Sasti dengan polosnya bertanya. Rizal mengangguk, lalu mengusap kepala putrinya. Pandangannya kembali mengedar. Ponsel ditangannya berulang berusaha memanggil Ratih. Nam
Rizal hampir saja kembali meluapkan amarahnya, melihat Ratih hanya tertunduk dan diam. Namun, mendadak ingatan Rizal berputar saat hal yang sama pernah dilampiaskan pada Ratih.Dia ingat, saat itu dia marah besar karena mengetahui Dewi menolak cintanya. Dan yang lebih membuatnya marah, karena Dewi mengatakan,” Ada yang lebih pantas menerima cintamu. Dia sangat tulus dan sanggup berkorban untukmu.”Kata-kata Dewi menyiratkan gadis itu menolaknya. Namun, satu hal yang membuat amarahnya meledak, karena dia tahu, siapa yang dimaksud Dewi.Gadis pendiam, suka mengalah, meski pintar, dan hampir selalu ingin menarik perhatiannya. Meminjaminya PR, buku catatan, bahkan rela mengajarkan beberapa materi pelajaran yang dia tak mengerti karena kesibukan urusan OSIS saat SMA.Rizal menarik nafas sejenak.“Kamu tahu, tiket kita sudah hangus! Itu mubadzir!” ucapnya dengan penuh penekanan, mencoba menekan emosinya. ”Kamu kan bisa ngasi
Rizal dan Ratih masuk ke pesawat. Karena membeli tiket belakangan dan cek in bersamaan, mereka pun mendapat tempat duduk bersebelahan.Mereka masih dalam diam.Rizal mengeluarkan ponselnya. Masih ada waktu berkirim pesan sebelum pengumuman pesawat akan segera lepas landas.“Lang, kamu buka grup nggak?” Rizal mengirimkan pesan ke sahabatnya.”Ah, elu cemen. Bukannya kasih klarifikasi. Kenapa malah diam aja.” Gilang langsung menyemprot.”Aku nggak tau, Lang. Malah aku tahunya dari Ratih,” balas Rizal. ”Ratih udah tahu? Tumben dia buka grup. Dia tahu dari mana?”Benar juga. Ratih tahu darimana? Tapi, bukan waktu yang tepat untuk menanyakan. Nanti saja kalau suasana sudah membaik, batin Rizal.“Nggak tau. Dia nggak bilang. Aku nggak sempat nanya. Ini juga lagi drama.””Tapi jadi kan, besok kalian nikah?”Sejenak Rizal mengerutkan keningnya.
Tiga hari sebelumnya....”Lihat ini, Des!” Prita baru datang. Desti sudah menunggunya di cafe. Gadis itu langsung mengangsurkan ponselnya pada sahabatnya.Mata Desti yang tengah menatap gambar di layar itu melebar.“Rizal menikah?” tanyanya nyaris tak percaya. Meski belakangan dia tahu Rizal tengah melakukan pendekatan ke Ratih, namun bukankah dirinya sudah berusaha meyakinkan Ratih siapa Rizal.“Kamu dapat ini darimana?” tanya Desti lagi.Ya, pertemuan terakhir dengan Ratih dia gagal. Bahkan, Ratih dengan percaya diri mengusirnya. Namun, itu bukan berarti kekalahannya.Desti pikir, dia masih punya banyak waktu menggagalkannya. Bahkan, mempengaruhi putrinya saja, dia belum sempat. Dia masih memikirkan langkah-langkahnya. Tapi, kenapa justru sekarang Prita datang membawa undangan?”Dari ibukku di kampung.””Berarti kamu gagal, dong, Prit
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp