“Hai, Pak Rizal, apa kabar?” sapa Tio. Desti kaget, rupanya Tio mengenal Rizal. Mereka sepertinya akrab. “Kenalkan, staf baru saya,” ujar Tio dengan memberi kode tatapan genit. Meski Rizal tersenyum pada Tio, namun dadanya terlihat naik turun menahan amarah. Bagaimana bisa istrinya bersama salah satu partner kerjanya yang dikenal mes*m? Rizal memang tak pilih-pilih partner kerja, sepanjang dia profesional. Dunia bos besar memang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Kadang ada yang bersahaja, songong, bahkan ada yang mes*m seperti Bos Tio ini. Dan kini, Desti sedang bersamanya. Apa yang dilakukannya? “Baik, Pak! Masih lama di sini?” Rizal tak mengacuhkan perkenalannya dengan Desti. Dia menganggap seolah-olah tak ada orang lain di antara dia dan Tio."Sudah selesai. Kami mau pulang,” ujar Tio. Rizal melirik Desti sekilas. “Stafnya juga ikut bapak?” tanya Rizal. “Kenapa? Bapak juga tertarik?” Tio tak hanya mengangkat alisnya genit. Tapi, sambil tertawa menyeringai. Dalam hati, Riza
Rizal menaiki tangga lantai dua dengan langkah tergesa. Sejenak dia dapat melupakan kemarahannya pada Desti, tapi kini, dia harus mempertegas lagi aturannya sebagai imam yang harus ditaati di rumah itu. “Hanya satu pilihanmu, Dik. Keluar dari tempat kerjamu, sekarang juga!” Rizal berdiri di depan jendela kaca yang membuatnya leluasa menatap ke luar, meski matahari sudah beranjak turun. Desti yang sudah selesai mandi dan sedang menyisir rambutnya, tak mengalihkan pandangannya dari cermin di depannya. “Kamu dengar?” ulang Rizal, tak sabar karena mendapati istrinya seolah tak menganggap kata-katanya serius. Rizal berjalan mendekat. Lalu langkahnya terhenti di depan meja rias Desti. Lelaki itu membungkukkan badannya, agar istrinya dapat menatap wajah seriusnya.“Aku nggak menghalangi kamu bekerja. Kamu bisa bekerja di kantorku, di perusahaan Papa, atau tempat Bang Desta. Tapi aku tak mengizinkan kamu bekerja dengan Pak Tio!” Rizal mengetukkan meja rias dengan telunjuknya.Desti menata
Rizal tak dapat mengikuti Desti setiap saat. Dia meminta staf kepercayaannya untuk mengikuti Desti. Bukan untuk mengorek apa yang dilakukan Desti. Justru sebaliknya, ingin melindungi Desti dari Tio, lelaki yang dikenalnya sebagai lelaki hidung belang. Rizal hanya ingin melindungi istrinya, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Bukan untuk alasan yang lain. Lelaki itu merekam pembicaraan Desti sebagai bukti. Tak mungkin dia hanya menceritakan semuanya secara lisan. Tak lupa, mengambil gambar Desti yang sedang berdua dengan Gavin. Meski dia hanya staf, namun kebaikan Rizal padanya, membuatnya tak tega kala mengetahui perilaku istri bosnya itu. Lelaki itu tahu benar, Rizal menyuruhnya, bukan karena ingin membuka aib istrinya, namun rencana awalnya adalah ingin memberikan bukti pada Desti kalau Tio bukan bos yang baik. Rizal tidak tahu, kalau Desti sebenarnya tidak bekerja langsung pada Tio, namun pada Sofian. Namun, mengetahui kecantikan Desti, tak menutup kemungkinan Tio akan memint
“Begitulah ceritanya…” ucap Rizal seraya menghela nafas. Lelaki itu menceritakan detail perceraiannya dengan mantan istrinya. Meski Ratih tak lagi bertanya, namun menceritakannya, akan lebih baik, karena Ratih kini sudah menjadi belahan jiwanya. Berbeda kala Ratih bertanya sebelum mereka resmi menjadi suami istri. Mereka berdua duduk di atas karpet ruang depan, karena belum memiliki sofa. Rencananya, Sofa akan dibeli jika keuangan Rizal sudah mulai normal. Keduanya menyelonjorkan kaki. Punggung mereka menyandar pada dinding. Ada dua bantal segi empat ukuran kecil sengaja dibeli Ratih dari salah satu toko perlengkapan rumah tangga sebagai aksesoris. Kala duduk santai, bantal itu bisa dipeluk, atau digunakan untuk alas sandaran ke tembok. “Aku tidak ingin mengulang kegagalan. Kamu mengerti kan, kenapa aku lebih memilihmu, dibanding kembali pada Desti, meski dia adalah ibu dari Sasti.” Rizal menoleh ke Ratih yang tengah menyimak ucapannya. “Aku tak ingin menjadikanmu baby sitter
Ratih terdiam. Rizal benar. Dia tak pernah bertanya apapun tentang Rizal. Seolah, akan dibawa kemanapun, dia akan menurut. Bahkan, bertanya pekerjaannya apa saja, rasanya malu. Kalau dipikir-pikir, mirip membeli kucing dalam karung. “Apa kamu sudah terpukau karena ketampananku?” Sekali lagi, Ratih memukul lengan Rizal. “Nggak lah. Siapa yang peduli sama ketampanan," elak Ratih. “Iya aku percaya. Dulu aku jelek saja, kamu ngejar-ngejar. Ya kan?” “Ih…jahat!” Wajah Ratih seketika memerah, mengingat kebodohannya jaman putih abu-abu. Sedemikian noraknya dia menyukai Rizal, bahkan lelaki yang sama sekali tak terlihat punya masa depan. Kusam, dekil dan kerempeng. Padahal, cowok-cowok yang keren di sekolahnya saja segudang. “Begitu lah rahasia jodoh. Kita tak pernah tahu pada siapa kita akan berjodoh.” ***ETW*** “Bunda!” seru Sasti sambil berlari, saat ia melihat Ratih dan Rizal yang berdiri menantinya di pintu kedatangan. Siti mengikutinya dari belakang sembari mendorong t
Cuti Ratih sudah habis. Pagi itu, hari pertama bagi Ratih menyiapkan diri untuk masuk kerja kembali usai cuti. Sasti juga masuk sekolah. Beruntung ada Siti yang selalu sigap membantu semua kebutuhan Sasti, termasuk juga sarapan mereka. Sementara, Ratih tak perlu menyiapkan apa pun buat Rizal karena lelaki itu tidak ke kantor pagi-pagi. Sejak kantor diambil alih oleh kakaknya Desti, praktis Rizal akan banyak beraktifitas di rumah, sembari menyusun rencana ke depan, selain juga mengurus sengketa pembagian aset perusahaan setelah perpisahannya dengan Desti. “Aku nggak papa kan, hari ini kerja?” Ratih merasa tak enak meninggalkan Rizal, apalagi statusnya masih pengantin baru. “Nggak papa, lah. Kan memang sudah seharusnya kamu masuk kan?” ujar Rizal. “Sasti, gimana? Aku nggak bisa nganter Sasti. Nanti aku telat. Kalau sekalian aku berangkat, sekolah Sasti belum buka,” ujar Ratih, mendadak cemas. Dia teringat kalau Sasti sangat mengharapkan dirinya mengantar sekolah. Padahal biasany
Sasti kecewa. Baginya, pernikahan papanya jadi tidak ada artinya. Dia tetap saja bersama Bude Siti ke sekolah. Padahal, harapannya dulu, kala papanya memiliki ibu baru, dia dapat seperti teman-temannya. Sekolah diantar dan dijemput oleh bunda barunya. “Mas, jangan berangkat dulu. Kasihan Sasti,” tegur Ratih. Dia dalam kebimbangan. Ratih tahu sifat Rizal yang keras kepala. Yang jika sudah memutuskan sesuatu, tak ingin dipengaruhi oleh apapun. Apalagi yang sudah-sudah, perkara Sasti, sangat sulit dipengaruhi. Namun, Ratih tak tega melihat gadis kecil itu kecewa. “Gini saja, Sasti berangkat sekarang bareng Bunda. Tapi, kalau nanti sampai sekolah belum buka, nanti nggak apa-apa nunggu di sana sama Bude Siti, ya?” usul Ratih, seraya menatap anak sambungnya. Tangannya mengusap kepala anak umur lima tahun ini. Paling tidak, dengan ide itu, Sasti mengerti, alasan Ratih tak dapat membersamainya setiap hari ke sekolah. Biar putri sambungnya juga belajar, kalau sebenarnya dirinya bukan tak ma
Usai mengantar Ratih, Rizal melajukan mobilnya menuju rumah lamanya. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Memasuki halaman rumahnya yang cukup luas, Rizal menghela nafas berat. Sebuah mobil yang dikenalnya telah terparkir di depan rumah itu. Sejak Desti berpisah dengannya, mobil yang biasa dikemudikan Anto juga ikut bersama Desti. Memang urusan rumah tak segera diselesaikan karena sebelum Rizal menikah lagi, Desti masih sering mengunjungi Sasti. Selain itu, Rizal bukanlah orang yang gampang move on, meski Desti telah mengkhianatinya. Dulu, mendapatkan Desti bukanlah perjuangan yang mudah. Dia harus berdarah-darah membuktikan kalau dia layak menjadi pendamping Desti dan menantu Pak Hamdani, seorang pengusaha sukses di bidang properti. Betapa bangganya Rizal saat berhasil meminang dan menikahi bunga kampus itu. Semua teman-teman kuliah memujinya. Tak sedikit dari mereka yang iri. Apalagi mereka yang tahu persis latar belakang Rizal. Sayangnya, saat Rizal mencapai puncak
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp