“Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!”
Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku.
“Hey, Dion! Ya ampuuun … kok lo makin tua malah tambah ganteng saja, sih!” Salsa yang tengah mengambil kotak cateringan berisi kue menghentikan kegiatannya dan menyempatkan dulu muji Dion.
“Tua-tua kelapa, Sa! Makin tua makin banyak yang suka.” Dia mendekat menghampiriku dan Salsa yang berdiri di dekat meja yang berisi tumpukkan kue.
“Lo bisa saja, Yon! Sini gue ambilin punya lo, ya! Duduknya di sana, yuk! Ada yang nungguin lo dari tadi!” Salsa langsung mengambil kotak kue milik Dion.
“Yuk!” Dia gegas berjalan dan menarik lengan Dion agar mengikuti langkahnya.
“Ahm, Sa! Punya gue buat Ayu!” tukasnya datar dan beranjak mengambil kotak yang sudah dibawa oleh Salsa.
Eh, aku sedikit kikuk ketika tiba-tiba dia meraih tanganku dan meletakkan kotak kue itu pada telapak tanganku.
“Tetap jadi orang baik, ya.” Dia tersenyum. Sejenak tangan kami bersentuhan dan membuat degup jantungku bertalu luar biasa.
“Yon! Ayo, ih!” Dengan tak tahu malunya Salsa menarik ujung pakaian Dion dan merengek mengajaknya duduk ke tempat Dewi.
Bersamaan dengan itu, kudengar suara salam dari seseorang. Pak Faqih---orang yang mengundangku rupanya sudah datang. Guru muda itu kini tampak lebih dewasa. Kami menjawab salam serempak lalu berbondong-bondong menyalami Pak Faqih yang sudah berdiri tak jauh dari kami.
Aku dan Harum pun termasuk orang yang berada di dalamnya. Pak Faqih---mantan wali kelas kami yang murah senyum itu menyapa kami satu per satu.
“Wah kalian itu pada cepat besar, ya! Ini Salsa, Ayu, Harum, Selvi, Marwah, Dion! Wah untung ingatan Bapak masih kuat, ya?” kekehnya seraya mengedarkan pandang pada kami bergantian. Yang pastinya kalimat itu bukan buatku. Tinggiku dari sejak lulus SMA tetap saja segini, bahkan pakaian zaman SMA saja masih pada muat. Yang dimaksud pastinya teman-teman lainnya. Karena aku dan Pak Faqih sama, sama-sama minimalis.
“Iyalah, Pak! Seperti Bapak yang selalu ingat kalau aku sama Dewi gak ngerjain tugas!” kekeh Salsa menyela. Riuh tawa dari teman-teman yang lain menghidupkan suasana. Pak Faqih menoleh pada Dion. Sepertinya semua orang merasa kehilangan karena kabarnya yang redup selama tujuh tahun ke belakang.
“Iya Bapak masih inget, hehehe. Sekarang kamu sibuk apa, Yon? Kayak makin ganteng saja sekarang?” sapanya ketika Dion beranjak dan mencium lengannya.
“Bisa aja Bapak ini, kan dari dulu Bapak tahu kalau yang konsisten dari diri saya hanya tinggi badan, muka, sama perasaan saya buat seseorang,”kekeh Dion bergurau. Namun sekilas sudut mata kami bersitatap. Lalu aku lekas menunduk untuk meredakkan detak yang makin bertalu di dalam sini.
“Cieeee buat Dewi pasti, nih!” Salsa langsung saja menyahut. Sejak dulu, dia sangat bersemangat mendukung perasaan Dewi untuk Dion. Bahkan sepertinya Dewi sengaja belum menikah pun karena menunggu Dion, deh. Beda halnya denganku, aku belum menikah karena memang belum ada yang mau.
Rata-rata orang tua zaman now, milih mantu juga maunya yang berkelas. Yang gajinya besar, katanya biar gak menghabiskan uang gaji anak mereka yang sudah susah payah di sekolahkan. Sementara itu, pastinya semua orang tahu besaran gaji guru TK sepertiku. Tak separuhnya dari upah minimum yang diterapkan pemerintah setiap tahunnya, bahkan jauh di bawah itu.
“Bisa saja anak-anak, Bapak.” Pak Faqih menepuk-nepuk bahu Dion.
“Alhamdulilah, Pak … Saya baru lulus S2, Pak. Namun ya gitu, kelamaan nyari ilmu, jadi belum sempet nyari duit, sekarang masih jadi pengacara alias pengangguran banyak acara.” Dion terkekeh seraya menjelaskan statusnya kini pada Pak Faqih. Senyumnya itu sontak membuat garis ketampanannya makin kentara. Padahal yang kudengar dari teman-teman, dia sudah merintis bisnis juga, tetapi tetap saja low profile.
Pantas saja gak pernah mendengar kabar Dion selama tujuh tahun ini, rupanya dia mengejar magister juga setelah lulus S1. Rumah aku dan Dion memang masih satu kecamatan, tetapi beda desa. Namun pernah mendengar jika dia kuliah lagi di UI. Ya pastinya orang berada akan memilih kuliah yang bergengsi. Berbeda denganku yang mengambil kuliah kelas karyawan setiap sabtu dan minggu saja, itu pun memaksakan karena upah dari mengajar di TK memang tak seberapa.
“Gak apa, yang penting ijazah sudah ditangan! Bisnis orang tua kamu juga banyak, paling kamu gak akan dikasih kerja di orang, Yon!” tukas Pak Faqih menatap dengan bangga.
“Hmmm … rencanaya sih gitu, tapi kayaknya saya pengen cari pengalaman dulu sih, Pak! Tapi memang sudah mulai rintisan bisnis kecil-kecilan juga.”
“Bapak itu bangga sama kalian semua! Dion sudah sukses lulus S2, Salsa, Selvi dan Marwah sudah kerja juga, ya, Sa? Harum sudah terbukti dan teruji jadi Ibu rumah tangga yang baik, sedangkan Ayu … diam-diam dia selalu memberikan kejutan dan kebanggaan untuk sekolah kita!” Pak Faqih mengulas senyum dan melirik ke arahku.
“Wah ada kejutan apa nih, Yu?” Beberapa pasang mata kini beralih menatapku. Aku mendadak gugup dan kikuk. Namun belum sempat aku menjawab, saura orang yang sejak tadi paling sok famous terdengar mememcah fokus mereka.
“Dion! Ya ampuuun! Ngapain lama-lama di sini, sih? Kamu gak kangen sama aku emang, ya?” Dewi datang dengan langkah super konfiden dan mendekat ke arah kami yang masih berkerumun dekat meja panitia.
“Ah ini Dewi, ya? Wah Bapak sering lihat kamu nongol di tivi, Wi! Sudah jadi artis ya, sekarang?” Pak Faqih menyapa Dewi dengan antusias seperti biasa. Begitulah dia yang selalu menyamaratakan kami semua. Baginya semua muridnya itu istimewa dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini.
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri.
“Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa.
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri. “Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa. “Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!” Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kump
Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang. Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar. “Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!” Dengan menggunakan bahasa inggris dia mener
“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi. Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu. “Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dio
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku? Kartu nama dari Renata aku simpan juga. Ada alamat kantor suaminya di sana. Begitu pun dengan Dion. Dia pun memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. Bahasan beralih seiring dengan datangnya Pak Faqih. Namun tak berapa lama, terdengar suara panitia yang membawakan acara menyita perhatian. Obrolan kami terhenti dan beralih menatap ke
Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku. Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya? “Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku. “Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran. “Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas. “Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan
“Terima! Terima! Terima!” Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka. Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh. “Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.” Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang. Bruk!“M--Maaf.” “Ehm, yang habis dilamar, ngelamunnya sampai segitunya!” Deg!Suara itu? Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih? “K--kamu d--dari tadi?” Terbata aku bertanya padanya. “Enggak, tapi aku tahu semuanya! Selamat, ya!” Dia mengulurkan tangan ke arahku. Senyum itu masih sama, senyuman tujuh tahun lalu yang membuat aku kangen siang malam. Namun kok hati jadi terasa pedih, ya. Diucapin selamat sama seseorang yang belum pergi sepenuhnya dari relung hati yang paling dalam. Aku menunduk, mencoba menetralkan debar dalam dada yang tak menentu. Lalu kuangkat lagi kepala dan menatap ke arahnya. “Selamat untuk apa, sih?” tanyak
“Iya, Yu! Tuh lihat saja di grup! Koar-koar mulu!” Harum menunjukkan layar gawai. Benar saja, di grup tampak Dewi mengirimkan beberapa foto dengan Pak Anton disertai kalimat-kalimat yang menunjukkan kalau dia begitu konfiden jika Pak Anton datang buat kasih pengharagan ke dia. [Guys, asal kalian tahu! Di sini hanya aku deh alumnus yang kenal sama Sutradara kondang ini! Kalian wajib nunggu, ya! Sebentar lagi aku pasti dipanggil ke atas podium buat nerima pengharagaan dari sekolah. Secara aku sudah bisa membuktikan, kalau di dunia nyata bahkan aku bisa lebih berprestasi dari pada siswa yang dulunya berprestasi. Iya gak?] [Wah, pantas saja tumbenan ngundang orang dari dunia film, ya? Rupanya buat kasih penghargaan ke kamu ya, Wi? Selamat, ya, keren!] Salma. [Anjirrrr! Beda ya kalau sudah jadi artis mah, bisaan euy, Wi! Mantap pisan!] Eti[Ya ampuuun, kita dari kemarin nebak-nebak katanya mau ada kasih penghargaan dari sekolah dalam acara reuni sekarang! Gak kepikiran kalau orang yang
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-