Bekerja tak tenang dan tanpa konsentrasi membuat Arina beberapa kali salah menulis laporan, pertemuan Damar hampir dua bulan ini kembali membuat hatinya bertalu marah, kadang rindu kadang juga benci mengusik ingin meluapkan amarah bila mengingat yang dulu. Seperti naik roller coaster saja perasaan Arina hari ini, gara – gara segelas teh yang berakhir rayuan panjang Damar untuk rujuk dengannya yang hanya dibalas deraian air mata oleh Arina.
Tak dipungkirinya bila dulu dirinya pernah jatuh cinta pada pria ini saat menatap mata hitamnya yang tegas dan tajam. Pria pertama yang membuatnya merasakan debaran cinta, namun pria ini juga yang pertama menorehkan luka di hatinya.
“Hampir jam enam Rin, kamu belum selesai?,” suara Wiwid menyadarkan Arina dari kerjaannya, tangannya bekerja namun pikirannya bercelaru.
Wiwid rekan kerja yang juga dulu satu sekolah dengannya. Wiwid yang merekomendasikan Arina dulu untuk bekerja di perusahaan ini. Sedikit banyak Wiwid tahu akan perjuangan Arina melahirkan dan membesarkan anaknya. Wiwid pun tahu siapa pak Damar di kantornya ini, dia pu tak menyangka mantan suami kawannya ini yang jadi manajer baru mereka.
“Iya dikit lagi, Wid.” Arina menoleh dan tersenyum pada Wiwid yang terlihat sudah siap – siap.
“Aku duluan ya, mas Faris udah nungguin.”
Faris calon suami Wiwid, insya Allah dua bulan lagi mereka akan menikah.
“Cie yang mau malming,” Arina menggoda Wiwid, sementara yang digoda hanya tersenyum.
“Kamu jangan lama – lama Rin, diluar mau hujan kayanya. Kecuali kamu mau malam mingguan juga sama papanya Davian.” Wiwid balik menggoda Arina.
“Kamu, ada-ada aja, Wid!” Arina sedikit merona.
Sejak tadi Wiwid melihat Damar yang akan masuk ke ruangan mereka, tentu akan menemui Arina namun segan dengan kehadiran dirinya.
--
Langit mulai menghitam menandakan gerimis tak sabar akan turun menyapa bumi.
Seperti Arina yang tak sabar ingin segera pulang memeluk bocah kecil yang menantinya di rumah bapak dan ibu.
Namun melihat cuaca dan hari yang mulai menggelap meninggalkan bayangan siang, mungkin kepulangannya ditunda dulu.
“sekalian habis gajian aja.” Gumam Arina menahan rindu di dada.
Rambut lurus sebahunya ditiup angin saat berjalan ke arah halte hendak menunggu angkot menuju arah kost, amukan angin yang mulai mengganas fix membuat Arina menunda kepulangannya ke rumah ibu bapak.
Tak disadari bila sedari tadi Damar mengekorinya dari belakang. Perasaan tak tega melihat Arina harus pulang menemui anak mereka dengan cuaca tak bersahabat ini.
“Tunggu Rin, biar kuantar pulang,” Damar menahan lengan Arina yang langsung mendapat tepisan.
“Tidak, terima kasih Pak. biar saya naik angkot.” Arina menolak halus
“Mau hujan begini angkot susah.” Damar mencoba mendestruksi Arina.
“Nanti kupesan taksi Pak. Bapak pulang saja, anak dan istri menanti di rumah. Arina berpura mengetik di ponsel seolah – olah memesan taksi online, padahal apa, sebisa mungkin Arina naik angkot yang murah untuk menghemat pengeluaran. Banyak yang harus dibiayai tiap bulan, dikirim tiap bulan untuk kebutuhan rumah ibu bapaknya, kebutuhan Davian, kebutuhan dirinya sendiri dan biaya sewa kostnya.
Gaji diperusahaan sekarang bisa menutupi semua kebutuhan Arina itu, makanya dirinya berpikir ulang bila hendak resign, apakah nanti ada perusahaan yang menerimanya dengan gaji sebagus ini. Kalaupun ada yang menerima tentu tak serta merta mendapat gaji yang sebesar sekarang.
“Aku belum menikah Arina,” suara Damar terdengar tegas.
Belum menikah?, lalu wanita pujaanya itu dikemanakan? Bukankah mereka saling mencintai? Apa tetap tak mendapat restu?
‘Ah apa perduliku’, pikir Arina.
“Segera saja bapak mencari nyonya baru agar tak menganggu jodoh orang.” Sindir Arina
“Kamu aja lagi yang jadi nyonya di rumah kita Rin,”
“Maaf mas, aku bukan selera kamu.” Arina sengaja mengganti sebutan pak menjadi mas sambil berlari menuju halte menghindari gerimis yang mulai turun di awal Januari tahun ini.
“Kita punya Davian kan, ayo kita jalin kisah kita kembali Rin, saya mohon.”
Arina berbalik lalu tersenyum ke arah Damar Ganendra.
“Davian nggak tahu kalau punya papa Mas, di akte kelahirannya juga Cuma ada namaku sebagai orang tuanya.”
Damar, membuang pandang. Pilu dirasa.
“Rin, biarkan Davian merasakan keluarga yang utuh, punya papa dan mama.”
Rinai hujan mulai mengamuk, memerangkap dua sejoli yang dulu pernah menjadi mempelai dadakan.
“Ada ibu dan bapak yang jagain di rumah, beliau juga orang tua Davian, Mas!”
Mendung semakin gelap diiringi gemuruh yang bertalu di langit yang tak lagi jingga.
“Beri saya kesempatan Arina!” Damar memaksa dengan wajah memelas.
Arina bergeming dengan netra yang mulai berkaca.
“Ayo aku antar pulang angkot enggak akan lewat.” Damar mengulurkan tangan mengajak Arina menuju ke mobil Rush hitam milik pria itu.
Deru angin yang meliukkan dahan – dahan pohon seolah mengamuk, membuat Arina juga takut bila harus menunggu sendiri.
Tanpa menerima uluran tangan Damar, Arina berjalan didepan Damar.
Damar cukup tahu diri.
Luka yang digoreskan tentu begitu dalam hingga membuat Arina menampik kehadiran dan perasaanya begitu kuat.
--
“Mengapa kesini?” Arina tersadar saat Damar menghentikan mobil di depan rumah makan yang menjual ayam lalapan dan sate.
“Kamu belum makan kan,” kita makan dulu baru pulang.
“Bapak saja yang makan, saya di mobil saja.”
“Jangan terlalu keras pada dirimu Arina.” Tegas suara Damar.
“Saya harus, Pak, agar tak diremehkan seperti dulu.” Arina merasa rongga dadanya dipenuhi sebak.
Perasaan Damar terasa tercabik. Merasa dirinya begitu brengsek.
“Hanya makan Rin.”
“Saya biasa makan apa adanya pak, agar anak saya tetap bisa minum susu.” Kristal bening telah jatuh di kedua kelopak mata berbulu lentik itu. Teringat kesusahan dirinya saat hamil dan melahirkan tanpa suami. Ke kota mencari pekerjaan setelah masa nifasnya selesai. Pilu hati Arina.
Netra Damar memerah, ikut menahan tangis, membayangkan wanita di sampingnya ini berjuang demi darah dagingnya agar tetap bisa hidup.
“Kenapa tak mencariku Arina?” suara Damar bergetar.
“Buat apa?, agar dipermalukan sekali lagi? Cukup sekali bapak menginjak harga diri saya di depan kekasih anda.”Getir suara Arina mengucap itu.
“Dia darah dagingku Arina, tak mungkin aku menolaknya.” Luruh juga air mata Damar. Sebagai pria dia pun bisa menangis.
“Apa mungkin anda mau menerimanya saat itu?,” Arina masih terisak.
Damar tak lagi menjawab. Cukuplah kebrengsekan dia. Wajar kemarahan Arina tak main – main juga.
Deras hujan tadi telah berubah menjadi gerimis. Hening di luar sana. Hanya menyisakan suara tangis dua insan berstatus mama dan papa dari seorang bocah laki – laki.
Bahkan warung lalapan di seberang pun terlihat sepi.
Damar memutuskan turun dari mobil tanpa mengajak Arina yang masih menyeka air mata. Dipesannya dua bungkus lalapan ayam dan sate. Biarlah dibawa pulang, untuknya dan Arina. Biar Arina makan di kost pikirnya.
Setelahnya dilajukan mobil menuju kost – kostan murah tempat Arina tinggal selama bekerja di kota. Sesekali diliriknya wanita itu yang wajahnya tampak sembab.
Ah keduanya sebenarnya menahan perih yang sama. Ini menyangkut masalah anak dan...perasaan mereka berdua.
“Terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Arina melepas sabuk dan bersiap turun.
“Makanannya dibawa Rin,” Damar mengingatkan.
“Tidak. Terima kasih.” Arina turun lalu menutup pintu tanpa mengambil makanan yang sudah dibungkus tadi.
Gerimis masih turun membuat Arina berlari kecil masuk kedalam kost – kostan itu, menahan lapar sedari tadi. Namun diingatnya masih ada mie instan dan telur di dapur kecilnya.
Damar berlalu menembus pekat malam diiringi gerimis halus saat Arina sudah masuk pagar kost – kostan.
Air mata.lelaki itu kembali jatuh. Terisak. Begini rasanya diaabaikan, sebagaimana dulu mengabaikan perasaan wanita yang sedang mengandung anaknya.
Bersambung...
Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.--“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.Arina masih ingin bertanya, namun
Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, bel
“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”“Itu kaya gimana mas?”“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang
Ucapan hamdalah terdengar, terucap dari bibir yang hadir di ruang tamu rumah orang tua Arina hari ini, setelah mendengar jawaban Arina atas lamaran orang tua Damar tempo hari. Dua setelah kedatangan pertama bu Intan dan pak Mahmud di rumah pak Sayuti, hari ini mereka datang kembali, tak hanya bertiga dengan Damar namun membawa rombongan sekitar tujuh orang, ada juga cincin dan kue – kue serta buah-buahan yang mereka bawah, bu Intan yang berdarah bugis dari pihak ibu beliau, tentu tak melupakan tradisi bila melamar anak gadis orang. Meskipun Arina ini janda dan mantan menantu beliau, namun diperlakukan tetap sama. Tak lupa mahar berupa uang yang pak Sayuti sebutkan, tak banyak. Namun bu Intan dan pak Mahmud menambahnya berkali lipat, sebagai wujud rasa sayang pada Arina, tak lupa sawah satu petak diserahkan untuk Arina sebagai mahar tambahan. Apapun yang terjadi dikemudian hari, sawah itu itu tetap milik Arina.Pak Sayuti dan bu Fatimah berulang menolak, namun bu Intan dan pak Mahmud t
“Nakal, nggak anak ayah hari ini, hum?” Danu dekati dan mencium bertubi perut membola Abel yang tampak semakin membuatnya seksi. “Nakal, Mas, aku dibikin muntah sampai tiga kali.” Keluh Abel sambil bersandar di sofa ruang tamu rumah pribadinya. Hari ini cuti Danu akan berakhir, besok sudah harus balik lagi ke Papua. Untuk bekerja dan mengajukan surat mutasi, agar kiranya bisa dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta saja. agar tak jauh jika harus bolak balik melihat istri dan ibunya. Danu baru saja kembali, dia tadi habis mengecek pembangunan rumah kost-kostan yang didirikan di lahan yang dulu rumahnya berdiri. Mereka memutuskan tinggal di rumah peninggalan orang tua Abel. Gajinya yang lebih dari cukup di pertambangan juga penghasilan Abel dari membantu mertuan di toko baju, mereka gunakan untuk merenovasi rumah kecil Abel dulu, sekarang menajfi dua lantai dengan empat kamar. Dua kamar di atas, dan dua kamar di bawah. Abel merasa nyaman sudah kembali tinggal di kotanya, dekat dengan me
Hera terkejut bukan main, melihat laporan keuangan perusahaan yang ia rebut dari pak Subroto. Sudah lima bulan ini penghasilan mereka minus terus. Namun bulan ini yang paling parah, bahkan Hera sudah merumahkan sebagian karyawannya, karna tak adanya proyek yang didapat. Padahal suaminya, Arham sering dinas keluar kota demi melobi proyek di daerah.Hera mulai curiga pada ayah dari putranya itu. Benarkah selama ini Arham jalan dinas, atau jalan yang lainnya. Lalu diam-diam ia mulai menyelidiki tingkah laku suaminya di luar sana.Ia coba menelpon nomor suaminya namun lagi-lagi tidak aktif. Alasan Arham jika dinas luar, sinyal di daerah tersebut kurang bagus, harus ganti kartu lagi dengan provider yang berbeda, kilah Arham, saat Hera bertanya mengapa ponselnya tak aktif.Selain alasan sinyal kurang, tentu hantaman seks di kemaluan Hera, juga jadi senjata ampuh Arham untuk mengambalikan mood istrinya itu lagi. Istri yang ia bodohi setahun ini. Hera rela meninggalkan pak Subroto yang ulet b
Hari ini ada pengajian kompleks menyambut tahun baru hijriah. Pengajian dan ceramah di laksanakan di gedung serbaguna yang ta jauh dari kompleks itu, sengaja di lakukan di gedung sebab panitia mengundang banyak majelis taklim dan masyarakat sekitar.Ramai hari itu ibu-ibu yang hadir, semuanya nampak cantik dalam balutan busana muslimah. Tak terkecuali dengan Helena, ia ikut dengan saran ibu-ibu di kompleksnya agar mereka semua menggunakan gamis seragam pengajian mereka. Gamis panjang warna putih dengan jilbab lebar warna ungu muda. Helena nampak manis. Tadi sempat pak Subroto memberinya kecupan sayang di dahi dan bibirnya sebelum mereka turun dari mobil dan masuk ke gedung, sementara did alam gedung sana mereka harus berpisah. Pak Subroto dengan rombongan bapak-bapak dan Helena bersama ibu-ibu rombongan pengajian.Tak hanya ibu-ibu pengajiandi kompleks itu saja yang diundang, namun ada juga dari kompleks lain. Pokoknya ibu-ibu berdandan secetar mungkin. Ada yang sengaja datang memang
Sudah tiga bulan ini Bara terbaring di rumah sakit, akibat kecelakaan yang menimpanya. Kedua kakinya mengalami kelumpuhan, tangan sebelah kirinya mengalami patah tulang, alat vitalnya bahkan harus di potong karna tertancap beling tajam dari pecahan kaca depan, bahkan tulang lehernya harus dioperasi tiga kali agar bisa lurus kembali, jangan ditanya dengan giginya, hampir semua giginya hancur karna benturan yang sangat kuat tepat di bagian wajahnya. Wajah tampannya yang dulu memikat Helena dan perempuan lainnya kini hancur tak terbentuk, organ tubuhnya yang gagah dengan ukuran yang cukup panjang dan besar yang dulu ia gunakan untuk memuaskan perempuan lain dan bahkan buat Helena yang ingin setia pada pak subroto jadi selingkuh kiri kanan karna tergila-gila itu, kini sudah tak dapat ia fungsikan. Bahkan untuk buang air kecil dan besar saja Bara harus di bantu.Rasanya lebih baik mati saja daripada hidup namun menderita luar biasa seperti ini.Bara menangis tanpa bisa mengeluarkan suara,
Penolakan Firda pada Bara buat lelaki itu, tak lagi mengantar jemput Firda bila ingin pulang melihat anaknya. Bukan apa-apa, masa lalu Bara yang buruk dalam rumah tangganya jadi pertimbangan Firda untuk menerima pria yang agak mirip dengan almarhum suaminya itu.“Saya janda, Pak. Nggak enak kalau Bapak sering antarin saya, dan saya mohon, jangan ajarin Gavin lagi untuk manggil papa sama Bapak,” ucapan Firda tempo hari terngiang kembali di telinganya. Bara tak ingin memaksa, meski ada rasa tertarik pada Firda yang berwajah ayu itu. namun bayangan Gavin yang memanggilnya papa, buat hatinya menghangat dan tiba-tiba malam ini dia teringat dengan kandungan Helena. Bila ditarik waktunya, Helena sudah melahirkan tiga bulan lalu, begitu pikir Bara, namun mengapa wanita itu tak juga menghubunginya, padahal Bara yakin anaknya yang Helena kandung adalah benihnya, bukan benih bandot tua itu.Bara tiba-tiba tergelitik, ingin menghubungi nomor Helena, ingin menanyakan kabar bayi mereka.___________
Abel berdebar dengan hebatnya, saat ia menunggu suaminya di dalam kamar. Ini pernikahannya yang kedua, namun ini adalah pertama kalinya akan melewati malam pertama. Malam pertama dengan suami kedua ceritanya.Jam sepuluh pagi tadi Danu sudah menghalalkan Abel dalam akad nikah yang sakral dan begitu syahdu, status Abel yang sudah yatim piatu membuat banyak orang menitikkan air mata. Andai orang tuanya masih hidup, tentu mereka bahagia luar biasa, sebab yang meminang putrinya adalah pria baik-baik yang selama ini menjadi tetangga mereka sendiri, laki-laki yang begitu terjaga adabnya, meski godaan sebagai pekerja tambang juga luar biasa. Bukan hanya anak gadis, bahkan ada istri orang yang pernah terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada Danu, namun laki-laki ini juga punya prinsip sendiri.Danu juga bukan laki-laki yang terjaga sholat lima waktunya, namun sebisa mungkin ia tetap menunaikan sholat yang bisa ia dapat. Sebab pekerjaannya sebagai mekanik alat berat di perusahaan tembaga
“Koq melamun terus, istriku.” Pak Subroto mendekati Helena yang baru saja selesai mandi dan keramas. Semakin hari kondisi tubuhnya semakin pulih dan fit, namun untuk hatinya? Entahlah.“Maaf , Pa. mama nggak denger.” Helena merasa tak enak hati. Beberapa bulan ini dia tak melayani pak Subroto dengan baik, meski minggu lalu mereka sudah menikah secara siri. Salah seorang kawan pak Subroto menyarankan demikian, agar tak menambah dosa keduanya. Tak ada juga hubungan intim diantara mereka sejak kejadian itu, kadang-kadang Helena merasa bersalah, sebab tak memenuhi kebutuhan batin pak Subrot.Kadang timbul rasa marah di hatinya pada Bara, entah marah karna apa, Helena merasa Bara tak bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan pada Helena selama ini, juga pada anak yang dia lahirkan, kadang Helena menangis diam-diam bila pak Subroto sudah berangkat kerja. Banyak hal yang membebani pikiran Helena, mulai dari perselingkuhannya dengan Bara, yang ia tahu betul bahwa pria itu adalah lak
Bara menjalani hari-harinya dengan perasaan yang begitu nelangsa. Sungguh penyesalan yang besar kini melanda hidupnya. Tak menyangka, perselingkuhannya dengan Helena akan membawanya pada titik terendah dalam hidup ini.Pria ini sungguh tak menyangka ia bisa menyia-nyiakan Abel, wanita baik dan begitu terjaga adabnya. Beberapa kali ia coba mengunjungi Abel, mulai dari sekadar menanyakan kabar hingga terang-terangan memintanya untuk rujuk. Namun Abel bukanlah wanita yang sama yang dulu hidup dengannya. Di jemari Abel melingkar cincin dengan hiasan safir biru, sebagai tanda ikatan dari Danu. Cincin yang begitu indah, dan membuat Bara jadi cemburu.Masih pantas kah Bara cemburu?Rasanya ia menjadi pria yang begitu egois, setelah melihat sendiri bagaimana Helena bermain api bersama pak Subroto di belakangnya, rasanya begitu ingin kembali membina rumah tangga yang tenang bersama Abel."Bel, balik sama aku, Kita bina rumah tangga kita lagi, percayalah aku, menyesali semuanya." ucap Bara saa
Flashback Hera dan Subroto“Aku nggak mau punya anak sama kamu ya. Kamu bikin aja sama perempuan lain!” Hera berteriak histeris dihadapan Pak Subroto, suaminya yang baru pulang kerja sore itu. usaha yang semakin menanjak sukses dengan puluhan tender proyek juga puluhan anak buah di kantor, buat pak Subroto semakin disegani oleh kawan maupun lawan usahanya di luar sana. Namun pak Subroto yang memang dasarnya senang hidup sederhana, tetap bersahaja dengan segala pencapaian yang sudah di raih. Sikap bersahaja dengan tubuh dan wajah yang terjaga di usia menjelang empat puluh tahun justru buat banyak perempuan lain tergila-gila padanya. Mulai dari anak SMU dan Mahasiswi yang terang-ternag menggoda hingga rekan kerja yang berusaha menarik perhatian pria dewasa ini. usia hampir empat puluh namun uban belum ada di rambutnya satupun.Tentu pak Subroto juga senang berolahraga dan mengkonsumsi vitamin demi kebugaran dan kesehatan tubuhnya.“Kenapa kamu nggak mau punya anak Hera?” keluh pak Subro