POV ROEL
"Roel, bangun. Kok kamu tidur disini? Kenapa nggak tidur di kamar?" tanya Mama mertua. Aku langsung bangun sambil mengucek mata. "Gimana nggak mau tidur disini? Anak Mama liat Roel bawaannya kaya mau dimakan," jawabku masih sambil mengucek mata. Mana badan juga terasa sakit. Rani … oh … Rani … nggak hamil-hamil, sekalinya hamil ngidam-nya hal yang paling berat. Biasa tidur meluk dia, ini harus meluk dengkul sendiri. Nasib ….
"Maksud kamu apa, Roel?" tanya Mama lagi.
"Ma, Rani ngidamnya nggak mau dekat-dekat sama Roel. Padahal badan Roel bau wangi. Pake minyak wangi kesukaan dia itu. Eh, malah muntah-muntah."
POV ROELHari terus berlalu seiring bergulirnya waktu. Sungguh aku tersiksa dengan keadaan ini. Aku laki-laki normal, kalau saja tidak kuat dengan godaan, mungkin saja aku telah mengkhianati Rani. Hanya saja, meski sakit kepala aku coba tetap setia pada istriku itu.Jujur saja, selama ini pun banyak sekali perempuan yang mendekat. Begitu Pula dengan Ana yang ternyata dia memiliki perasaan lebih padaku. Ku Blokir nomornya ketika ia utarakan rasa tertariknya padaku. Gila … selama ini pun aku hanya menganggapnya teman. Ternyata dia anggap responku sebagai ketertarikan padanya.Derrrt …derrt …! Ponselku bergetar. Mama … segera kuangkat panggilan darinya."Halo, Ma ….""Roel … b
Pov RoelDerrttt … derrttt ….Baru saja aku dan Rani membaringkan badan di ranjang setelah mencuci muka, private number itu kembali menghubungi."Bang, siapa sih? Coba Abang angkat terus aktifkan pengeras suaranya!" pinta Rani. Aku mengangguk. Sebenarnya dag dig dug juga rasanya hati dan jantungku ini."Halo," ucapku."Halo, Roel. Kamu jahat banget ya? Setelah kamu buat aku jatuh cinta, dan bermasalah dengan suamiku, kamu tinggal begitu saja? Suamiku salah paham. Sekarang aku harus bagaimana? Dia sampai jatuh talak. Harusnya kamu jangan kasih perhatian lebih padaku! Jadi aku nggak baper!" crocos suara dari sebrang telfon. Aku melirik Rani. Dia menatapku tajam, bola matanya memerah.
POV ROELSepulang dari Dokter Intan, aku meminta Rani untuk meminum obatnya. Sesuai petunjuk, obat mual dulu baru setelah itu makan kemudian berlanjut minum obat darah tingginya. Sedikit ketar ketir, sebab Dokter Intan bilang masalah hipertensi dalam kehamilan bisa berujung serius pada kandungan dan janin. Jelas aku sebagai suami juga merasa cemas."Jangan terlalu khawatir, Bang. Ini normal terjadi kok. Aku aja santai. Lagipula kan udah ditangani sama Dokter. Ini juga udah bisa makan, udah nggak mual banget," ujarnya sambil mengunyah makanan."Makanya, jangan suka menunda makan. Kamu juga punya penyakit asam lambung," kesalku mengkhawatirkannya."Iya Abang, maaf," ujarnya."Sudah makan yang banyak."
POVRANI"Bang, tadi kamu diam saja. Kenapa?" Aku coba bertanya pada Bang Roel yang masih terdiam."Nggak apa-apa, Sayang," jawabnya."Yang bener?""Bener. Serius.""Bukan karena mikirin Tari?" tanyaku."Untuk apa mikirin orang lain? Mending mikirin istri sendiri dan si dedek yang sebentar lagi lahir," ucap Bang Roel."Tapi Abang tadi diam aja di toko," selidikku."Memang Abang suruh ngapain?" Bang Roel motik ke arahku."Ya mungkin mau ngobrol sama Tari? Aku lihat dia suka ngelirik Abang diam-diam."
POV RANISetelah selesai mandi dan bersiap, aku dan Bang Roel segera keluar kamar menyambut semua keluarga yang sedang berkumpul. Betapa senangnya aku melihat mereka berkumpul dan berbincang sangat akrab. Setelah menyalami mereka semua, aku pun duduk diantara Mama dan Mbak Winda. Sementara Bang Roel diantara Mas Fahri dan Papa mertuaku."Jam segini baru pada bangun," ucap Mama."Iya, kecapekan. Tadi setelah shalat subuh kami kembali tidur. Jadi kebablasan. Bang Roel juga beberapa hari ini sibuk ngirim. Jadi kelelahan," jelasku. Semua orang mengangguk."Mbak dari kapan disini?" tanyaku pada Mbak Winda.
POV Mama Rani"San, gimana keadaan Roel?" tanyaku dengan suara yang sedikit dipelankan. Ya, menantuku itu mengalami kecelakaan pada saat jalan pulang. Mobilnya ditabrak truk bermuatan yang mengalami rem blong. Jangan dibayangkan, jelas saja mobil menantuku itu sampai ringsek. Butuh waktu lumayan lama juga untuk mengeluarkan Roel dan Dion dari dalam mobil. Seperti itu menurut informasi dari besanku lewat pesan pagi tadi. Ia juga mengirim foto mobil Roel. Dapat kurasakan kecemasannya sebagai seorang Ibu saat ini. Begitulah musibah. Terkadang dari diri kita sudah berhati-hati, tapi ada saja dari orang lain."Roel masih berada di ruang ICU. Keadaannya kritis dan belum siuman. Sementara Dion, dia meninggal di tempat kejadian," ucap Bu Marta besanku itu. Suaranya terdengar serak sepertinya habis menangis."Inalillahi wainailaihi rojiun," lirihku.&n
POV ANTONAku baru tahu kabar meninggalnya Bang Roel, itupun karena saat ini aku ke Jakarta untuk berbelanja. Kaget, sangat kaget. Wajar aku tidak tahu karena aku pun kehilangan nomor mereka. Saat Vina mengirim pesan, Juwita salah paham. Dia tuduh aku mau kembali pada Vina. Alhasil ponselku diambil dan di lempar ke sungai dekat rumah. Sedangkan kartu yang menyimpan kontak mereka juga ada di ponsel itu."Turut berdukacita ya, Yudh. Aku bener-bener nggak tahu," ucapku pada Yudha. Hari ini aku berada di toko Bang Roel. Aku salah satu langganan dia sekarang. Semenjak aku buka usaha sendiri, barang Bang Roel lah yang paling banyak aku jual terutama daster. Itu sangat laku keras."Terimakasih Bang Anton. Tak apa, ini sudah tiga bulan kepergiannya.""Umur orang kita memang tidak pernah tahu, Yudh." Sambil menunggu Yudha menyiapkan barang, aku kembali termenu
POVYudha"Abang….!" teriaknya berlari menghampirinya di depan pintu. Beberapa kali aku mengucek mata ataupun menampar pipiku sendiri. Bang Roel berdiri di depan pintu persis. Ini memang dia atau hanya halusinasiku?"Bang!" panggilnya lagi dengan tangis. Mereka berpelukan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bang Roel menangis memeluk istrinya dan mengecupi pipinya. Tangis mereka tumpah di sana. Aku berteriak memanggil Mama dan Papa. Ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin orang yang sudah dikubur bisa hidup kembali dalam keadaan sehat, bugar seperti ini? Hanya saja masih ada perban di kepalanya. Kak Rani terus menangis dan memegangi pipi suaminya itu. Meraba setiap inci wajahnya. Setelahnya, perempuan itu kembali masuk ke dalam pelukan pria itu. Tangis keduanya tumpah hingga mereka sama-sama bersimpuh.
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t