Bu Saritun tersungkur ke tanah, kedua lututnya sedikit lecet karena tergores kasarnya tanah merah yang baru saja ia bersihkan dengan sapu lidi. Batinnya menangis, tidak sanggup membayangkan penderitaan yang diderita putrinya tahun ini.Rupanya karena masakannya yang asin, yang selalu ia suguhkan kepada para calon suami Sumiyati justru membawa bencana tersendiri bagi putrinya. Bibir wanita tua itu terkatup, bergetar dibalik tanga keriput yang menutupinya.Bu Saritun menangis, tersedu sambil tertahan. Ia tidak raungan hatinya yang bersalah didengarkan banyak orang. Beruntung rumah satu dengan rumah yang lain berjarak cukup jauh sehingga meskipun ia menangis, tidak ada satu pun tetangga yang memergokinya."Maafkan Ibu Nak, ternyata dibalik keegoisan Ibu kamu menyimpan laramu sendiri. Karena masakan Ibu yang terlalu asin kamu harus ditinggalkan pria impianmu hingga tiga kali. Ya Allah, dosa apa yang sudah hambamu perbuat ini? Apakah wanita tua renta ini sama sekali tidak boleh memasak unt
"Salah ya Bu kalo aku menyukainya?" Ilham balik bertanya, mimik wajahnya terlihat bingung dengan pertanyaan yang Bu Wiryo layangkan terhadapnya."Jadi kamu menyukainya?" Bu Wiryo langsung menukas, nada suaranya naik satu oktaf hingga Ilham bisa menafsirkan apa yang kini tengah dirasakan oleh ibunya. Wanita paruh baya dengan cepolan asal di kepalanya hanya menggeleng pelan. "Ilham, Ilham, kamu cari yang masih sendiri kenapa?! Sum itu kan sudah ada calon. Jangan sampai nama baik kita hancur gara-gara kamu jadi pebinor ya?!""Aduh Bu, siapa juga yang jadi pebinor. Mbak Sum itu ke Semarang mau urusin resign dia dari PT. Setelah itu dia mau ambil uangnya yang disimpan sama calon suaminya itu. Ups! Ilham buru-buru menutup mulut, wajahnya langsung memerah. "Ibu sih, Ilham jadi keceplosan kan?! Pokoknya Mbak Sum itu wanita baik-baik Bu, dia meskipun udah perawan tua tapi Ilham tahu Mbak Sum orangnya gak neko-neko kayak Nela."Ilham lantas menyambar gelas berisi air putih di hadapannya, menegu
"Itu karena saya—" Ilham tertahan, ia menelan ludahnya yang terasa seperti duri. Jantungnya berdebar kencang ketika gadis di sebelahnya menanyakan kenapa ia selama ini selalu berbaik hati kepadanya.Hanya saja Ilham, apakah ia pantas mengatakannya sekarang? Bagaimana dengan perasaan gadis itu? Bagaimana dengan hubungannya dengan calon suaminya? Ah, semua masih terlalu abu-abu untuk Ilham memulai segalnya."Ternyata gantungan gaji saya lumayan juga loh Mas," ucap Sumiyati lagi. Gadis itu melupakan pertanyaannya, beralih topik pada pekerjaan yang selama ini Sumiyati geluti.Napas Ilham terasa lega, ia menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum tipis. Sebaiknya ia simpan dulu perasaannya hingga semua sudah ada titik jelasnya. "Oh ya Mbak? Bagus dong. UMR Semarang memang udah besar.""Iya, ada rencana saya mau buka warung kecil-kecilan di rumah Mas tapi warung apanya?" Sumiyati nampak berpikir, ia menatap jalanan yang gelap menyusuri kecamatan kecil menuju ke tempat kelahirannya."Warung ap
"Kenapa Sum harus jauhin Ilham Bu? Apa yang salah?" Alis Sumiyati menaut, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba melarangnya untuk berteman dengan Ilham. "Apa karena dia anaknya Bu Wiryo, wanita yang udah nyakitin hati Ibu?!"Bu Saritun menggeleng pelan, ia enggan menatap wajah putrinya karena ia sadar akan luluh dengan tatapan bola matanya. "Ilham itu anak baru di desa ini Sum, dia baru pulang ke kampung beberapa bulan yang lalu. Entah ada masalah apa hingga akhirnya ia meninggalkan sementara usaha mebelnya di Jakarta. Nduk, mereka keluarga berada, lah kita ini apa?! Kita cuma orang miskin yang jangankan nabung, untuk makan hari ini aja sulit. Apa kata orang Nduk."Lagi-lagi Sumiyati harus menelan kesedihannya seorang diri. Jika tidak ada sesuatu yang menyinggung hati ibunya maka mungkin wanita yang bergelar ibunya ini sampai melarang Sumiyati untuk berteman dengan Ilham."Sum, sadar diri adalah tameng terbaik untuk diri kita sendiri, Nduk. Jangan terlalu berani, jangan yang kita lal
"Kamu beneran suka sama Sumiyati, Ham? Coba jujur sama Ibu," ucap Bu Wiryo dengan mata menatap tajam. Wanita itu dalam sekejap melupakan nasi goreng di piringnya, melupakan suara air kran yang mulai membeludak dari wadahnya. "Ham, bicara! Ibu pengen denger."Ilham mengembuskan napas panjang, ia tertunduk sejenak. "Kalau iya kenapa Bu? Ibu nggak suka sama Mbak Sum?"Bu Wiryo menganga, tak percaya jika perjaka ting-ting miliknya akhirnya jatuh cinta pada seorang perawan tua seperti Sum. Ketakutan itu kini membayang nyata di hadapannya.Melihat reaksi ibunya yang berlebihan, Ilham merasa tidak suka. Pemuda itu memalingkan muka dengan kesal. "Ibu pasti nggak suka sama Mbak Sum. Kenapa sih?!""Ilham, denger ibu ya?! Selain Sum, yang lain terserah deh! Tapi kalau bisa jangan Sumiyati, Ilham. Cari yang muda, kamu ini tampan." Bu Wiryo mencuramkan alis, benar-benar masih tak percaya jika anak semata wayangnya justru jatuh cinta pada Sumiyati."Memangnya Mbak Sum kenapa Bu? Dia perawan tua git
"Aku harus menemui ibu sekarang, beliau pasti tahu sesuatu." Ilham bergumam pada dirinya sendiri. Menganggukkan kepala, Ilham lalu menghampiri motor matik milik ibunya tersebut.Dengan perasaan yang masih abu-abu dan sedikit rasa ragu, Ilham lantas menghidupkan mesin motor dan pulang ke rumah untuk menemui ibunya, Bu Wiryo.Saat ini ia harus memperjelas sesuatu, ia harus tahu sebab musabab kenapa keluarga yang semula hangat dan penuh cinta tetiba kompak untuk menjauhinya. Rasanya sakit seperti itulah yang dirasakan Ilham saat ini.Menempuh perjalanan selama sepuluh menit, Ilham sampai ke rumah dengan selamat. Wajahnya sudah terlihat tidak enak, ia menghampiri ibunya yang duduk di teras rumah sambil bermain ponsel yang entah konten apa yang ia lihat."Assalamu'alaikum," salam Ilham sambil turun dari motor matik. Pemuda itu mencabut kunci motor lalu menghampiri ibunya duduk di teras rumah.Perhatian Bu Wiryo teralih, ia menatap Ilham sejenak dan melupakan siaran langsung demo masak yang
Bu Wiryo hanya diam, ia tidak bersuara ketika Ilham pergi meninggalkannya. Apa pun yang terjadi Bu Wiryo tidak akan menyetujui hubungan Sumiyati dengan Ilham. Wanita itu bersedekap, ia sama sekali tidak peduli ketika Ilham masuk ke dalam rumah dengan mimik wajah penuh marah dan juga kesal."Kamu tidak tahu Ilham, Ibu itu sebenarnya sayang sama kamu." Bu Wiryo bergumam lirih, menggelengkan kepala akan sikap Ilham yang dinilainya seperti anak-anak.Mungkin Bu Wiryo terlalu berlebihan tapi itulah kenyataannya, ia tidak menyukai Sumiyati karena berasal dari keluarga orang miskin dan tidak mampu.Menarik napas panjang, Bu Wiryo mendekati uang itu dan menyimpannya. Ia membawanya masuk ke dalam rumah dan kembali beraktivitas seperti biasanya.Seolah tidak terjadi apa-apa dan tetap tenang, Bu Wiryo lantas kembali memasak di dapur sedangkan Ilham masuk ke dalam kamar dengan mata mulai berkaca-kaca. Mungkinkah ia akan kehilangan cintanya sekali lagi?!Ilham sangat mencintai Sumiyati, perasaan y
Ilham tidak membenci ibunya tapi dia semakin irit dalam berbicara. Di meja makan pun adegan tidak saling tanya pun sering terjadi. Dengan kejadian ini sikap dingin Ilham semakin jelas terasa.Bu Wiryo sedikit merasa bersalah, seharusnya ia tidak terlalu mengekang putranya tersebut. Sekarang, karena ucapan berbisa yang ia tanam kemarin Ilham pun turut mendiamkannya seperti ini. Ya Allah, apa salah jika dirinya hanya memperingatkan?!Bu Wiryo terlihat sibuk dengan isi piringnya, acara makan malam ini terasa sangat sepi meskipun ada Ilham di hadapannya. Tak ada percakapan, hanya denting alat makan yang beradu satu sama lain sebagai saksi kunci bekunya hubungan anak dan ibu tersebut.Tak tahan dengan kondisi menyedihkan ini, Bu Wiryo menerima napas dalam-dalam. Sungguh sulit baginya untuk meminta maaf atas apa yang sudah ia perbuat pada Ilham."Ham, Ibu minta maaf ya atas kejadian kemarin. Tak seharusnya Ibu meminta kalian untuk saling menjauh, hanya saja—" Bu Wiryo nampak berat dengan ap
Pernikahan Sumiyati dengan Ilham berjalan dengan lancar, mengambil lokasi di rumah Bu Saritun, resepsi yang terjadi pada hari Minggu itu berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.Musik khas suku Jawa yang berbunyi begitu syahdu, selaras dengan musik kendang yang dipukul bertalu-talu. Tamu perlahan bergerak datang, memberi selamat pada sang mempelai dengan raut wajah gembira dan penuh sukacita. Ya, sekarang Sumiyati telah memiliki pendamping yang tampan dan mau menerima kekurangannya hingga maut memisahkan.Berbeda dengan Sumiyati dan Ilham yang masih dipajang di kursi pelaminan, Bu Saritun berjalan menepi ke pinggiran rumah tanpa ada satu orang pun yang tahu. Wanita tua itu menahan haru yang cukup dalam, kedua bola matanya memerah dan ia cukup terisak dengan keadaan yang tengah terjadi sekarang.Ya, siapa yang tidak terharu melihat kondisi Sumiyati sekarang. Sebagai ibu tunggal, Saritun pernah merasakan bagaimana susahnya berjuang sendirian membesarkan seorang anak. Sumiyati tumbuh
Segala niat baik pasti akan direstui dan dipercepat jalannya oleh Tuhan. Setidaknya Ilham mempercayai pepatah itu di dalam hidupnya. Lihat saja, dua minggu berlalu dengan cepat. Pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan matang, ia memesan dekorasi pernikahan sekaligus catering makanan untuk tamu yang hadir di acara pernikahannya nanti.Tidak hanya itu, ia mengurus semua dokumen kelengkapan untuk pernikahan dengan sangat hati-hati dan juga penuh semangat tinggi. Tidak mungkin bagi Ilham untuk mundur, ia telah separuh jalan dan baginya semua yang ia jalani sekarang adalah kenikmatan dari perjuangan yang ia lalui sekali seumur hidup.Setelah berkutat dengan segala hal yang berbau dengan pernikahan, hari spesial itu telah tiba. Ilham sudah tidak sabar menunggu waktu dimana ia akan berjumpa dengan Sumiyati di pelaminan. Ya, tentu saja dia rindu karena selama dua minggu ini sama sekali tidak bertemu dengan Sumiyati dikarenakan kesibukannya mengurusi segala hal.Ilham selalu sabar, bukankah
Gadis berparas ayu itu terus menunduk, ada kegundahan hati yang saat ini melanda tanpa bisa ia katakan pada siapa pun. Tidak hanya Ilham atau pun keluarga besar, semua orang yang hadir di ruangan itu tengah menunggu Sumiyati untuk menjawabnya secara langsung.Dalam satu tarikan napas dan menyebut asma Allah dalam hati, Sumiyati menganggukkan kepala. Semua orang mengucapkan hamdalah sebagai tanda syukur mereka atas keputusan yang sudah terjadi saat ini.Pak Jono tersenyum, ia turut bahagia dengan anggukan kepala Sumiyati yang artinya ia mau dan bersedia menerima lamaran dari Ilham Supriyadi. Tidak ada rasa yang lebih berarti selain anggukan kepala Sumiyati yang mampu melegakan hati orang banyak khususnya keluarga Ilham."Alhamdulillah, ananda Sumiyati sudah memberikan jawaban dengan anggukan kepala. Itu artinya gadis cantik di keluarga kami ini telah menerima lamaran dari Nak Ilham Supriyadi." Pak Jono berkata pada Pak Hardi terkait lamaran itu, wajah berbinar terlihat dari kedua belah
"Bu, keluarga Mas Ilham mau datang kemari Bu." Sumiyati angkat bicara setelah mereka berdua selesai makan malam bersama.Bu Saritun yang baru saja selesai meminum teh manis yang tersuguh di meja segera menoleh ke arah Sumiyati. Mata wanita tua itu menyorot tajam, ada hal yang ingin ia tanyakan setelah Sum berhasil mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya."Mau kemari?" Ulang Bu Saritun dengan nada heran. "Untuk apa Sum? Kamu bikin masalah di tempat kerja?"Sumiyati menatap ibunya sekilas, ada rasa bimbang sekaligus takut yang tercermin dari wajah ibunya yang keriput. Sumiyati segera menepis, ia menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan Bu. Sum tidak melakukan kesalahan apa pun.""Kalau tidak melakukan kesalahan lalu kenapa mereka sekeluarga mau datang kemari? Jangan bikin Ibu deg-degan Sum." Wajah Bu Saritun semakin takut, perlahan wajahnya berubah menjadi pucat.Sumiyati menunduk, ia menggigit bibirnya yang ranum dengan perasaan yang sama persis dengan apa yang dirasakan ibunya.
"Iya Mbak Sum, kami sekeluarga akan datang bertamu." Ilham mengangguk, ia memberanikan diri menatap bola mata pujaan hatinya tersebut. "Saya ingin melamar Mbak di depan keluarga. Saya ingin Mbak jadi istri saya untuk selamanya. Mbak, Mbak tidak keberatan kan?!"Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu menatap Sumiyati dengan tatapan penuh, tidak ingin kehilangan kesempatan ia mengutarakan semua isi hatinya pada Sumiyati termasuk keinginannya untuk datang ke rumah dan melamar.Wajah Sumiyati terlihat tegang, ia menunduk dengan wajah menghadap ke tanah. Jujur ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, butuh beberapa alasan bagi dirinya untuk tetap pada pendirian dimana ia tidak bisa sembarangan lagi untuk menerima seorang pasangan."Apakah Mas Ilham serius? Saya tidak ingin Mas salah pasangan dan akhirnya menyesal. Selama ini Mas tahu kan keadaan saya dan ibu saya seperti apa?! Mungkin Mas bisa menerima segala kekurangan saya tapi ibu—apakah Mas bisa menerima kekurangan ibu say
"Bu, apa benar Ibu nggak suka sama Mbak Sum? Atau jangan-jangan Ibu sudah suka tapi gengsi untuk mengakuinya? Bu jujur saja, Ilham pengen denger pengakuan Ibu."Bu Wiryo terpaku, ia menatap mata ilham dengan segenap perasaan bingung yang ia punya. Memalingkan muka dengan cepat, Bu Wiryo pura-pura mencomot risoles yang ia buat barusan. "Mending kamu segera mandi deh Ham, segera buka toko sama bulikmu sana.""Bu, kenapa sih sikap Ibu aneh sekali?! Ilham sudah besar Bu, sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk." Ilham terlihat mulai merajuk, jujur saja ia tidak suka dengan sikap ibunya yang nampak tarik ulur dengan perasaan Ilham saat ini. "Jika Ilham memilih Mbak Sum sebagai pendamping itu artinya Ilham sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi. Selama ini aku pun tidak pernah kurang dalam mengamati Mbak Sum, Bu. Dia orang baik, meskipun ia serba kekurangan ia tidak pernah berbohong tentang hidupnya."Bu Wiryo terus saja cuek, ia terdiam dan memilih untuk menikma
"Sum, bau apa ini? Sepertinya kok gosong?" Bu Saritun bertanya pada Sumiyati yang saat itu tengah mencuci piring.Bu Saritun yang duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat subuh itu menoleh ke arah Sumiyati, memastikan bahwa anak gadisnya mendengar apa yang ia bicarakan. Namun setelah sekian detik tak ada sahutan, Bu Saritun kembali memanggil Sumiyati dengan alis menaut satu sama lain. "Sum... Kamu masak apa?!"Setelah Bu Saritun bertanya dengan nada sedikit keras, Sum yang kala itu mencuci piring lantas tersadar jika ia tengah menghangatkan sayur lodeh kacang panjang sisa kemarin. Tanpa banyak bicara, ia pantas buru-buru ke belakang dan memastikan sayurnya aman.Bu Saritun menggeleng, tak biasanya anak perempuannya seperti itu. Kira-kira dia tengah memikirkan apa ya?! Wanita itu lagi-lagi menggeleng, menyeruput teh manisnya dengan sepenuh jiwa.Sesaat setelah ia menikmati teh, ia melihat Sum masuk ke dapur utama sambil mengangkat panci panas dan meletakkannya di tempat dimana b
"Memangnya kamu serius Ham?" Bu Wiryo bertanya, ia menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Pertanyaaan ini bukan hanya sekali dua kali ia layangkan pada Ilham, wanita paruh baya dengan sanggul seadanya itu memang sengaja terus bertanya karena ia takut hati putranya bisa berubah-ubah setiap waktu."Kalau Ilham bilang serius, Ibu akan marah?" Ilham balik bertanya, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kalah pandai. Ia tidak ingin menimbulkan hawa panas dalam jiwa ibunya meledak sehingga ia memancingnya demikian.Bu Wiryo mengalihkan tatap, pura-pura kembali sibuk dengan kue putu yang digelar di hadapannya. "Kue-nya sangat enak, di sini sudah jarang ada pedagang lewat yang jualan seperti ini."Ilham hanya diam, ia yakin ibunya berkata demikian hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan serius yang terjadi di ruang tengah tersebut. Ilham tak kecewa, ia sudah tahu bagaimana watak ibunya tersebut. "Bu, Ilham sudah menyatakan cinta sama Mbak Sum."Mendengar pengakuan itu, Bu
"Makasih ya Mas sudah mau antar pulang," ucap Sumiyati ketika ia baru saja turun dari boncengan motor matik milik Ilham di halaman rumah.Gadis berusia tiga puluh tahun itu melepas helm yang ia pakai lalu menyerahkannya ke Ilham yang masih berusaha mematikan mesin motor. "Tidak turun dan masuk dulu?"Ilham tersenyum manis, ia menganggukkan kepala. "Turun dong, saya kan pengen ketemu Nek Saritun."Pemuda itu menerima helm, meletakkan di atas kaca spion lalu turun dari motor. Halah, alasan saja jika ia ingin bertemu dengan Nek Saritun. Yang sebenarnya dalam otak pemuda itu adalah menikmati sore yang indah bersama Sumiyati sambil menyesap teh manis bersama-sama. Aduh, anak muda mah bisa saja cari alasan supaya bisa berlama-lama untuk bersama. Dih!Tak lama kemudian, Bu Saritun terlihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Senyum wanita tua itu mengembang melihat kedatangan putrinya bersama dengan Ilham.Melihat Bu Saritun datang, Ilham menatapnya dengan berbinar. Ia lantas datang meny