DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 57PoV NADYA"Albert, pengacara Haris ditemukan tewas di Batu Keramat."Aku terdiam sejenak, merasa seperti tak menginjakkan kaki di tempat. Batu keramat adalah sebuah tempat di daerah kota agung, tiga jam perjalanan dari pusat kota jika kau menyetir dengan kecepatan tinggi. Meski jalannya bagus, tapi medannya yang sulit karena ada jurang di pinggirnya membuat jalan itu sepi jika malam telah tiba. Tanpa sadar aku meremas tangan Intan kuat kuat. Di antara kabar bahagia yang dibawa Intan, terselip sebuah rasa cemas. Mas Haris, entah mengapa aku merasa yakin bahwa dia ada di balik ini semua.Intan menarikku duduk di sofa. Siaran langsung di televisi kemudian beranjak beberapa meter jauhnya. Masih di lokasi yang sama, ditemukan sebuah mobil lain yang nyaris terperosok ke jurang. Mobil itu kosong tanpa penumpang. Tuhan, hidup di zaman apakah aku ini? Kenapa ada begitu banyak kejahatan mengerikan di sekitar orang yang kukenal?"Apakah itu Haris?" Suara Int
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 58Kami semua telah kembali ke rumah usai acara lamaran Intan yang selesai jam sebelas malam. Untuk sementara Intan tinggal di rumah Tante Rosa, mama angkatnya dan itu membuatku sedikit tenang. Karena rumah Tante Rosa cukup jauh, lewat tengah malam barulah kami tiba di rumah. Aku menoleh ke belakang, pada Mbok Asih yang terkantuk-kantuk sambil menggendong Violet yang tertidur. Mbok Asih bersikeras menggendong Vio karena tahu aku sedang khawatir pada Papa."Bang, aku takut. Bagaimana kalau Mas Haris melampiaskan dendamnya pada Papa? Abang tahu, Papa itu sudah tua. Beberapa hari ini juga kurang sehat karena Batu ginjalnya itu."Aryan menyentuh tanganku sebentar."Tenang Sayang. Kita berdoa saja mungkin Papa hanya kena macet dan ponselnya habis baterai. Siapa tahu malah Papa sudah ada di rumah."Aku menggeleng."Papa itu orang yang paling teliti. Beliau nggak akan bepergian dengan baterai ponsel yang cuma sedikit."Aryan tidak menjawab lagi. Mungkin dia
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 59Aku terbangun oleh aroma minyak aromaterapi yang sepertinya ditempelkan ke hidung. Di telingaku, sayup sayup kudengar orang mengaji. Di bagian lain, suara orang bercakap-cakap dengan suara lirih juga terdengar. Perlahan aku membuka mata, dan mengenali ruangan ini sebagai kamarku sendiri. Di sampingku, ada Intan yang tengah mengaji dengan lirih. Sebentar sebentar dia berhenti, menyusut air mata dari pipinya. Suaranya ikut serak karena bercampur tangis.Merasakan gerakanku, Intan menoleh dan lansung menutup Al Quran-nya. Dia memegang tanganku tanpa mampu berkata-kata. Aku menatap langit-langit kamar, lalu semua yang kulihat sebelum aku jatuh tak sadarkan diri menghantamku tanpa ampun.Wajah pucat Papa yang duduk bersandar di kursi pengemudi, dengan darah yang menetes keluar dari bibir, hidung dan telinganya. Tatapan matanya yang kosong tanpa sinar kehidupan.Tanpa sadar, jeritanku membahana."PAPAAAA!!"Dan aku kembali tak sadarkan diri untuk kedua k
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 60Intan tentu saja marah ketika tahu aku dirawat di rumah sakit umum. Dia bersikeras menyuruhku pindah. Sementara aku juga bertahan tetap di sini. Di Graha, pengawasan akan sangat ketat. CCTV dimana mana. Bunga dan kartu yang dulu ada di kamar rawat ku langsung ketahuan kalau itu dari Haris yang dititipkan pada seorang OB. OB itu langsung dipecat Intan. Dan yang membuatku ngeri adalah pesan Haris pada OB itu."Letakkan bunga itu tanpa terlihat, dan ambil lagi tanpa seorangpun melihat kecuali Nadya. Aku akan memberimu imbalan besar jika bisa membuatnya gila."Hanya saja sayang. Setelah si OB tertangkap, Haris menghilang entah kemana.Jadi inilah tujuan dia yang sebenarnya. Membuatku menjadi gila. Tentu saja, karena menjadi orang gila, yang hidup tanpa tujuan dan masa depan, yang bahkan dosanya saja tak dicatat malaikat, jauh lebih mengerikan daripada kematian. Aku tak mampu membayangkan diriku kehilangan kesadaran, tertawa dan menangis sendiri tanpa i
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 61Lorong rumah sakit yang sepi di jam menjelang subuh adalah sebuah keuntungan bagiku dan juga bagi dia. Kugenggam erat erat ponsel di dalam saku jaket hodie yang memang sejak sore ku gunakan. Ponsel itu sengaja kumatikan untuk menghemat daya karena akan aku gunakan disaat yang tepat nanti. Jika prediksiku benar, bahwa Haris lebih suka melihatku gila dan mati perlahan lahan, maka aku akan punya banyak waktu.Masuk ke area parkir, tubuhnya menghilang di balik badan mobil. Aku ikut menyelinap, dan menunggu. Tak lama, dia keluar dari dalam salah satu mobil, sangat dekat denganku."Ikutlah baik baik denganku Nadya. Mungkin saja aku akan mengampunimu." Suaranya serak. Dia tahu bahwa aku mengikutinya.Aku diam, meski jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba, sebuah tangan menyergapku dari belakang disertai aroma samar obat bius. Aku menahan nafas meski dadaku rasanya hendak meledak. Lalu berpura-pura jatuh pingsan. Tangan itu segera menjauh ketika tubuhku ter
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 62Wajah Tante Liana tirus dan pucat. Dia tampak jauh berbeda dengan Tante Liana yang dulu kukenal. Dulu, dia adalah wanita yang keras, cantik dan anggun. Namun semua itu segera sirna begitu berhadapan dengan anak semata wayangnya. Mas Haris. Di hadapan Mas Haris, Tante Liana langsung menjelma menjadi seorang ibu yang penurut dan tak berdaya. Dia mengabulkan apa saja keinginan sang anak, tak peduli hal itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri."Apa kabar Tante? Tadinya kupikir Tante masih di penjara." Ujarku dengan suara tenang. Aku menduga, bukan hanya Mas Haris yang sakit mentalnya. Tapi Tante Liana juga. Dengan sedikit hasutan dariku, aku yakin bisa mengendalikan dirinya.Tante Liana berhenti di ambang pintu sambil menatapku sekilas, lalu membuang pandang. Dia memilin milin ujung bajunya. Diam diam, satu tanganku mengeluarkan pisau dan mulai mengiris tali karet ban yang mengikat tanganku. Aku harus berjaga jaga seandainya dia ingin menyakit
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 63Aku menatap ponselku yang masih ku matikan. Selain agar tak terdengar suaranya oleh Tante Liana, aku juga punya obsesi tersendiri hingga tak berniat menghubungi Aryan. Harus diriku sendirilah yang melumpuhkan Mas Haris. Bukan Aryan apalagi polisi. Meski aku agak patah hati mendapati betapa mudahnya uang membuat Tante Liana keluar dari penjara, aku tetap menaruh harapan para penegak hukum agar berlaku adil kali ini, mengingat bukti kejahatan Mas Haris sudah sangat banyak. Ya, tentu saja, dia tak pernah tahu bahwa aku menyelipkan alat penyadap suara di dalam sepatuku. Alat penyadap suara nirkabel yang merekam semua pengakuannya dan juga pengakuan Tante Liana."Kau mau kemana?"Suara Tante Liana terdengar dekat di depan pintu."Aku ada janji dengan Sindy. Ibu tahu? Dia juga suka padaku Bu. Tentu saja, aku lebih perkasa dibandingkan Bapak. Hahaha…"Diam sejenak. Lalu terdengar lagi suara Tante Liana membujuk Mas Haris."Haris. Katamu dia itu istri Bap
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 64"Tante?"Tante Liana mengangkat tangannya yang memegang pistol dan mengacungkan nya padaku. Gemetar, dengan wajah bersimbah air mata dia menarik pelatuk itu. Aku tertegun sesaat. Menyadari emosinya yang tak stabil, keputusannya yang dengan mudah berubah, aku memang tak sepenuhnya boleh percaya dan mengandalkannya. Matanya yang selalu kehilangan fokus dan bergerak gelisah itu menandakan bahwa dia sendiri telah mengalami gangguan jiwa yang berat. Dugaanku, Tante Liana depresi selama bertahun-tahun menjadi tameng bagi putra kesayangannya. Dia menulikan telinga dari semua omongan orang, berusaha sekuat tenaga menjadikan Mas Haris senormal mungkin. Dia nyaris saja berhasil. Mas Haris mampu menyelesaikan pendidikan dan meraih karir cemerlang. Tapi kecenderungan dalam dirinya ternyata tak bisa hilang begitu saja. Setelah menumpuk terlalu lama, dia kini bagai gunung es yang siap meleleh.Aku tersenyum. Menatap bola matanya yang bergerak gerak gelisah."Ta
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 20 (ENDING)Dengan perasaan ngeri, aku melihat Surya menggenggam revolver itu, menelitinya sesaat dan tersenyum. Dengan wajah menggila, dia menciumi senjata itu. Aku memandangnya dengan benci. Ternyata, dia tak pernah berubah. Dia masih menjadi budak Sindy."Tembak mereka berdua. Farrel lebih dulu. Aku ingin menikmati saat-saat Intan menjadi gila karena kehilangan suaminya.""Kalian memang pasangan gila." Aku lalu menatap Surya, pada matanya yang kini fokus padaku."Aku tak pernah menyangka. Ku pikir penjara akhirnya akan membuatmu sadar. Permintaan maafmu itu palsu belaka. Dan kau pernah memohon padaku untuk melihat anakmu. Lihat itu!" Aku menunjuk Axel yang berada dalam bekapan tangan Anis, "Itu anakmu, Surya. Anak yang ada dalam perutku saat kau menenggelamkan aku di danau ini."Surya tampak terguncang. Matanya mengawasi Axel, yang tak lagi meronta. Dia tengah menyimak pembicaraan kami."Dia kerap bertanya, apakah benar Ayahnya seorang pembunuh? Kini, kau in
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 19Mas Farrel dapat merasakan tatapanku yang membeku, terpaku pada mobil berbody besar yang tengah memasuki halaman parkir hotel. Dengan dada berdebar kencang, aku menunggu sampai mobil itu benar-benar berhenti. Lalu sepasang kaki jenjang memakai stoking hitam turun. Sepatunya mempunyai heels setinggi lima sentimeter, masih tampak luwes jika dibawa berjalan cepat. Naik ke atas, ada rok span dari kulit yang juga berwarna hitam, dipadu jaket dengan bahan dan warna sama. Aku bersiap melihat wajah Sindy disana. Tapi kemudian aku terkejut.Wanita itu bukan Sindy. Meski ada kacamata hitam besar yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku tahu dia bukan Sindy. Wajah Sindy telah melekat dalam ingatanku bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali aku melihatnya di depan sekolah Axel beberapa hari yang lalu, wajahnya juga tak berubah. Namun, wanita ini, meski aku tak mengenalnya, ada bagian dari dirinya yang mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa.Wanita itu menurunkan kaca
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 18Nadya memelukku erat, berusaha meredam getaran tubuhku. Dia tadi langsung naik taksi ke sekolah dan mengambil alih mobil. Kami akhirnya pulang ke rumahku. Dia lalu menyuruhku merebahkan diri di atas sofa, menyelimuti tubuhku dan meminta Bik Marni membuatkan teh hangat."Bagaimana Sindy bisa berkeliaran di luar? Dan dia tahu anak-anak ada di sekolah yang sama.""Mungkin hanya kebetulan In. Tenanglah.""Apa kau percaya kebetulan, Nad? Bukankah tak pernah ada kebetulan dalam hidup kita selama ini?"Nadya terdiam. Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Sindy tak juga mau hilang dari benakku. Bibirnya yang tertawa lebar tanpa suara itu seakan menantangku, mengatakan bahwa penjara tak mampu membuatnya terkurung."Bagaimana kabar keluarga Salma?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bik Marni datang membawakan dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan yang masih panas. Aku segera meraih gelas itu, menghangatkan tanganku yang masih terasa dingin."Salma masih di Malays
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (17)PoV INTANAku meletakkan tas di tas meja dengan hati kalut. Kematian Mantan Ibu mertuaku, yang tanpa sengaja kutemukan di dalam rumahnya akan menjadi babak baru. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumahnya tepat saat Ibu tiada? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku beruntung karena tak menyentuh Ibu sedikitpun, begitu pula Mas Farrel. Meski begitu menghadapi interogasi polisi ternyata sangat melelahkan. Terutama ketika fakta bahwa aku adalah korban percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh si pemilik rumah."Aku akan menelepon Om Helmi, bersiap jika kita butuh pengacara." Mas Farrel memelukku. Kami baru saja pulang dari pemakaman Ibu.Aku mengangguk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata. Setelah sekian lama waktu berlalu, bukankah seharusnya semua akan baik-baik saja? Tapi kenapa aku justru seakan menghadapi hidup yang penuh misteri. Waktu empat belas tahun yang telah berlalu seakan hanya sebuah jeda, sebelum aku akhirnya tiba pada a
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 16POV SURYA"Kita adalah partner paling hebat. Dulu, sekarang, kelak. Aku akan memaafkanmu karena mengabaikanku di penjara. Tapi mulai saat ini, tetaplah disini. Kita lanjutkan semua yang dulu terpaksa terjeda."Suaranya masih seperti dulu, penuh desah dan merayu. Aku menatap matanya dan seketika kenangan itu terlempar ke masa empat belas tahun silam. Di ruang pelantikan, ruangan yang tadinya akan menjadi tempat pelantikan ku, aku merangkak di kaki Intan, memohon ampun. Bukan untuk memintanya mencabut segala tuntutan karena itu tak mungkin lagi. Aku berlutut meminta maaf darinya, meski aku tahu kesalahanku tak termaafkan.Selain itu, aku telah menyadari bahwa sebulan tanpa dirinya adalah siksaan. Aku benar-benar sakit, sampai nyaris bunuh diri. Semua orang melihatku yang sangat terpukul karena kehilangan istri. Namun, yang terjadi adalah, aku tengah dihantam gelombang rasa sesal dan bersalah. Rasa yang ternyata sangat menyiksa."Aktingmu luar biasa. Kau layak
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (14)PoV INTANAxel turun dari mobil sambil memandang rumah Surya dengan alis mengerut. Dia yang selama ini hidup berkecukupan, sepertinya merasa heran ada rumah yang tampak demikan menyedihkan. Untung saja, halamannya tidak berupa semak belukar lagi.Tanpa berkata-kata, aku menggandeng tangannya menuju pintu. Mas Farrel menyusul di belakang sambil menjunjung kantong berisi kotak kue. Dalam hati, aku bertanya tanya, adalah yang seperti kami? Aku adalah korban percobaan pembunuhan mantan suamiku sendiri. Dan kini aku justru kerap menyambangi keluarganya karena satu alasan : demi Axel."Mama. Berhenti. Aku nggak mau masuk."Suara Axel membuat langkahku terhenti seketika. Kutatap wajah tampan jagoanku. Matanya terpaku pada daun pintu kayu yang lapuk dimakan rayap. Rumah sunyi, tapi aku tahu Ibu ada di dalam, mungkin tengah merenungi hari yang suram usai anak kesayangannya divonis hukuman penjara demikian lama. Terlalu sering menangis membuat penglihatannya kabur.
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 13"Apa maksud Mbak Wulan? Aku hanya bertemu Surya satu kali, di sini, tiga hari yang lalu."Mbak Wulan menyipitkan matanya. "Kau kesini?"Aku mengangguk dengan canggung. "Hanya ingin memastikan bahwa dia tak akan menemui anakku sebelum mendapat izin dariku."Mbak Wulan menatapku curiga."Dan apa yang kau katakan hingga dia pergi? Dia bilang pada Ibu, seorang wanita menawarinya pekerjaan dengan gaji besar. Aku pikir itu kau."Aku menggeleng."Aku sama sekali tidak melakukan itu Mbak."Mbak Wulan lalu duduk dengan wajah sedih di bangku bambu yang ada di teras."Harusnya dia tidak seenaknya pergi. Aku toh ikhlas memberinya makan walau hanya sepiring nasi setiap hari, tanpa lauk."Suaranya membuatku terenyuh. Aku memang gampang iba. Mas Farrel menarikku keluar. Dikeluarkannya beberapa lembar uang seratus ribuan dan diberikannya padaku."Sayang, Berikan pada mertuamu. Kasihan dia."Aku mengangguk tanpa kata-kata dan berjalan melewati Mbak Wulan di teras. Masuk ke d
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (12)PoV INTANAku berdiri di depan rumah, bolak balik mengecek jalan raya, menunggu mobil antar jemput sekolah. Farin sudah pulang sejak tadi. Sementara Axel, seharusnya dia sudah tiba sejak setengah jam yang lalu. Sopir mobil jemputan tidak bisa kuhubungi, mungkin sengaja tidak mengangkat telepon agar konsentrasi pada stir. Tepat pukul tiga lebih tiga puluh, bersamaan dengan adzan ashar berkumandang dari masjid komplek, sosoknya muncul dari ujung jalan. Axel pulang berjalan kaki! Dia melangkah sambil menundukan kepala, sementara kakinya bergantian menyepaki kerikil, daun daun kering, dan apa saja yang bisa dia raih dengan kakinya. Dikuasai rasa terkejut, sejenak aku tak mampu melakukan apa-apa. Hingga kemudian aku turun dari teras rumah dan berlari menyongsongnya."Axel, kok jalan kaki? Katanya naik jemputan."Axel langsung meraih tanganku dan menciumnya sebelum melangkah masuk."Axel kok nggak jawab Mama?"Axel berbalik, dan aku terkejut mendapati sinar mat