“Rani, berhentiah untuk memaksaku pergi ke pernikahannya.” Giselle mulai serius dengan ucapannya. “Bahkan jika diusir pun dari keluarga itu, aku sudah siap. Ibuku juga tidak akan merasa rugi dengan kepergianku. Pokoknya, aku tidak akan datang ke pernikahan itu.”“Ayolah. Ini hanya perkara kecil. Aku akan menemanimu di sana jadi jangan khawatirkan apa pun, oke?” bujuknya sangat halus.“Aku sudah malas untuk melihat wajah-wajah mereka. Entahlah. Mungkin lebih baik jika aku memang tak pernah masuk ke dalam kehidupan Candra.” Jika waktu bisa diputar, Giselle akan memilih jalan ini.“Kalian adalah saudara sekarang. Perusahaan ayah kalian pasti akan diwariskan. Apa kamu tidak tertarik untuk merebutnya?” Ini topik lain yang menarik untuk dibahas Rani.Giselle menatap tajam Rani. Pikiran temannya itu sama persis dengan ibunya. Mengapa semua orang di dunia ini sangat menginginkan posisi nyaman dengan mudah? Perusahaan itu jelas akan menjadi milik Candra dan Giselle tahu diri soal itu. Satu kal
Rehan memilih untuk diam. Sekarang posisinya adalah karyawan. Candra betul-betul sudah menunjukkan kekuasaannya. Lagipula, sisi dewasa Rehan sedang ia tunjukkan. Tidak benar jika ia membawa masalah pribadi ke kantor. “Baik, Pak.” Jawaban pria itu menjadi manis. “Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya Anda membersihkan diri dulu. Saya akan menyiapkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Bagaimana?” Sikap profesional itu membuat amarah Candra mereda. Yang dikatakan Rehan ada benarnya. Sore nanti mereka ada rapat penting. Dibandingkan pulang ke rumah, lebih baik memanfaatkan kinerja Rehan. Untuk apa merektrut karyawan jika tidak bisa diandalkan. Tuk tuk tuk! “Masuk!” Diana masuk ke ruangan itu. Dipandanginyalah dua pria tampan di sana—dengan catatan, salah satu dari mereka emosian. “Bapak memanggil saya?” “Hm. Diana, aku senang dengan kinerjamu selama ini. Untuk itu, aku memintamu untuk menggantikan Giselle. Kamu juga tahu sendiri bagaimana Giselle membantuku mengurus perusahaan ini
Tuk tuk tuk!“Aku sudah kembali—”“Bagus sekali caramu, Rehan! Kamu meninggalkan kantor lebih dari perkiraan.”“Maaf.”Tidak memakai alasan dan mengambil kesempatan ini untuk meredakan amarah Candra. Pada akhirnya, itu adalah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkannya. Membalas kata-kata pria di sana pun hanya akan membuatnya dimaki-maki nantinya.“Sudahlah, sini kemarikan yang aku perintahkan. Gerah sekali tubuhku.”Rehan menyerahkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Ia lalu tersenyum nakal pada sepupunya itu.“Hm … apa perlu aku menggosok badanmu itu? Uhuy!” godanya.“Tai! Pergi sana! Jangan membuatku naik darah kembali setelah berusaha menahan emosiku!”“Padahal sudah emosi saat ini,” tanggap Rehan kecil lalu segera kembali ke meja kerja.Dicarinya kesempatan lain untuk memenangkan proyek. Selama belum ada penandatangan, Rehan masih sangat yakin bisa mendapatkan kesempatan bertemu dengan presdir perusahaan lain itu.“Dia ini terlalu banyak musuh sampai susah untuk dikendalika
Keduanya masuk ke dalam mobil. Ia bersedia untuk memasukan kunci dan memanaskan mesin sebentar. Tidak lengkap rasanya jika tidak mengobrol sepanjang perjalanan. Rehan tidak mau kehilangan kesempatan dan ia terus mengajak Inka untuk bercerita.“Mau tahu kenapa Candra menyuruhku mengantarmu padahal dia juga masih luang?”“Tadi dia sudah menjawab demi keselamatanku.”“Ow, ow, ow! Bukan. Dia pasti tidak mau berbagi makanan enak.”Inka menahan tawa kali ini. Tebakannya adalah Rehan sedang mengungkit soal kepiting saos tiram yang dibawanya ke kantor. Saat dilihat pria itu bagaimana wajah Inka yang menahan tawa, ia langsung mencubit pipi Inka.“Berhenti meledekku. Sumpah, ini bukan candaan! Aku bisa bertaruh kalau Candra memang mau memakannya sendiri. Pelan-pelan kamu akan tahu bagaimana sifat asli calon suamimu itu. Dia serakah pada makanan.”Semakin banyak yang diucapkan, semakin Inka tidak percaya. Sangat tidak mungkin jika seorang Candra tidak mampu membeli kepiting. Jika memang ia mau m
“Jangan macam-macam kau! Kenapa aku harus menyerahkan Inka padamu?” Bukan lagi hanya sekadar ancaman. Pada kenyataannya, Candra sangat waspada. “Inka akan aku awasi lebih dari sebelumnya.”Rehan sangat suka dengan permainan ini. Melihat sang sepupu kesal atau bahkan merana adalah terindah baginya. Pembalasan dendam tentang kejadian di masa lalu harus dibayarkan.“Kamu tidak lupa ‘kan dengan gadis bernama Cintia. Karena kamu, ia gantung diri.” Luka lama yang dipendam kembali ditorehkan.Air muka Candra langsung berubah. Mendengar nama itu saja membuatnya sesak. “Kenapa membahas gadis itu? Semua sudah berlalu dan aku sama sekali tidak bersalah!”“Cih! Uang dan kedudukanmulah yang menyelamatkanmu. Jika saja kamu miskin, kaupikir bisa lari dari tanggungjawab?”“Diam!” Amarah pria itu terus meluap. “Keluar dari ruanganku!”Kenangan buruk yang masih terus membayangi Candra. Bukan keinginannya jika gadis itu mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang tahu jika gadis itu sangat kehilangan setelah le
Inka, ini aku. Aku ingin mengatakan ini padamu tetapi tidak enak hati. Jika kamu benar-benar mencintai Candra, kamu pasti tidak akan keberatan tentang masa lalunya, ‘kan? Temui aku besok jam 7 di café POI. Ada banyak hal yang perlu kuceritakan padamu. Inka menatap terus pesan yang diterimanya. Terlalu penasaran dibuatnya segala tulisan yang ada di sana. ‘Kenapa ingin bertemu? Apa aku harus menemuinya?’Inka tak ingin memikirkannya sendiri. Ia langsung menghubungi sang pengirim pesan itu. Sayangnya, berkali-kali pun telah dilakukan panggilan, tidak ada tanggapan. Semua ini harus berhadapan—muka bertemu muka. Ya, Inka sadar itu akan menjadi pertemuan yang sangat serius.Ia lalu meminta saran dari seseorang. Ayah? Tidak mungkin. Nenek? Terlebih lagi. Hanya Sasha satu-satunya yang paling tepat sebagai tempat untuk berbagi.“Bagaimana, Sha? Apa perlu aku menemuinya?” Tanpa basa-basi, ia langsung pada inti permasalahan. “Sejujurnya aku malas. Untuk apa membahas masa lalu Candra?”“Temui
Tidak ada pilihan lain. Posisi Rehan sedang tidak menguntungkan. Ia harus memikirkan cara lainnya untuk menghancurkan pernikahan Candra. Kehilangan gadis yang dicintainya sejak SMA sudah menggelapkan mata. Giselle direbutnya dari tangan Candra. Sekarang Inka pun akan menjadi sasaran berikutnya.“Rehan, kita ini masih keluarga. Apa kamu masih ingin membalaskan yang terjadi sepuluh tahun lalu?”“Aku bahkan tidak peduli lagi dengan itu.” Rehan sedang berbohong. “Ayo pikirkan bagaimana dengan proyek lain. Aku tak suka kita kalah dengan perusahaan lain. Apa-apaan ini? Kedatanganku di PT. Luxing seakan tidak ada gunanya.” Ia mengalihkan pembicaraan.“Tiga hari lagi pernikahanku. Bolehlah kita santai sejenak. Aku juga muak harus bekerja terus.” Pria itu meregangkan badan lalu bangkit berdiri dari kursi.“Tak sabar dengan malam pertama?” godanya.“Mulutmu perlu di-filter. Bereskan barang-barangmu dan ayo pulang. Aku ingin beristirahat.” Candra berusaha tidak menghiraukan balasan Rehan.“Ayola
Bunyi ambulans terdengar jelas di telinga Inka. Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Hatinya risau. Rasa sesal karena memicu jantung sang nenek hanya bisa direnungkannya. Jika saja ia bisa menahan mulutnya, semua ini tidak akan terjadi.“Nek, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk membuat Nenek seperti ini.”“Nantilah kita bicara, Inka. Ayah juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Untuk yang satu itu, Inka memutuskan diam kembali. Nenek sudah menjadi korbannya dan ia tidak mau ayahnya ikut serta kena serangan jantung. Sungguh, keputusan menikah kontrak adalah hal buruk yang ia lakukan.“Candra, bisa tolong datang. Aku butuh bantuanmu.” Entah mengapa, Inka menghubungi pria itu dengan voice note. Ada sebuah tempat yang ia tahu bisa menengankannya. Satu-satunya dan hanya Candra.Hanya 15 menit, pria itu sampai di sana. Dilihatnya Inka sedang memeluk lututnya dengan wajah tertunduk di depan ruang ICU. Candra duduk jongkok menyamakan tinggi badannya dan menepuk pelan lengan I
"Jangan terlalu percaya diri, Candra. Tidak semua yang kamu bayangkan akan kamu dapatkan." Inka menegaskan sekali lagi. Itu hanya di mulut saja. Kenyataannya, ia adalah orang yang perlu mendapatkan peringatan keras agar tidak jatuh cinta pada Candra. "Kamu lapar?" Candra menggunakan topik lain. "Ayo bersiaplah, kita makan di luar saja. Ah, ini adalah pemborosan di rumah tangga."Inka melipat tangan di depan dada lalu memasang wajah kesal. "Kamu ini sebenarnya punya banyak uang atau tidak, sih? Hanya makan di resto saja mengeluhnya sangat luar biasa!""Tetap saja jika menghamburkan uang, kita bisa jatuh miskin."Kata 'kita' begitu manis untuk diucapkan. Telinga gadis itu mulai panas. Bagaimana bisa Candra mulai menyatukan mereka dengan seenaknya. "Kalau memang keberatan, ya sudah ... aku akan masak sekarang," keluh Inka. Ia menuju dapur, membuka kulkas dengan kasar. Matanya mulai melihat-lihat bahan makanan di sana yang bisa dijadikan makanan. "Kalau tidak mau mengajak makan, ya ja
“Inka, kenapa harus bersembunyi, sih?” “Siapa yang bersembunyi? Aku hanya tidak mau berbicara denganmu!” “Memangnya susah ya tinggal di sini? Ini bagus untuk kita. Semakin sedikit orang yang kita temui, semakin baik. Kamu lupa soal kontrak itu?” “Terserah kamu saja! Lagipula, apa pun yang aku katakan tidak akan berpengaruh padamu!” Inka gusar. Ia tahu tidak memiliki power menghadapi Candra. Hidup terkurung selama 11 bulan tersisa hanyalah yang bisa ia lakukan. Kontrak sudah berjalan, tidak ada celah. Setelah dipikirkannya kembali, uang bulanan dari Candra cukup besar. Setidaknya, itu bisa menyembuhkan sedikit rasa kesalnya. “Jadi, kamu maunya kita tinggal di mana?” tanya Candra menahan emosinya. “Ayo bicarakan baik-baik. Yang perlu kamu tahu, kalau kita tidak tinggal di sini, maka pilihannya adalah bersama ayahku.” Itu keadaan yang sama menjengkelkan. Inka sudah membayangkan kehidupan seperti di film-film. Apakah ia menjadi menantu yang dikuasai mertua dengan segala kekejamannya?
Andita berhenti dengan kegiatannya. Sayur yang sedang dipotong itu ditinggalkannya. Ia bergerak menuju Inka dan memeluknya erat.“Katakan padaku apa saja yang kamu rasakan. Perlukah aku mencarikan dokter yang hebat?”Saat mendengar suara halus Andita, Inka ingin tertawa keras.“Aku tidak apa-apa, Kak Andita. Aku hanya sedang berpikir saja seandainya ada hal yang buruk terjadi.”“Astaga. Kupikir kamu mau mengatakan kalau hasil pemeriksaan kesehatanmu—”Inka menggenggam tangan Andita. Ia menatap lalu tersenyum. “Kak, aku baik-baik saja. Rahimku sangat bagus. Lalu, Candra juga sangat sehat. Ini tidak ada hubungannya dengan mandul atau sejenisnya.”Satu hal penting tidak bisa diucapkan bibir itu. Perjanjian tanpa sentuhan fisik. Jangankan mau punya anak, tidur satu ranjang pun tidak terjadi.“Jangan membahasnya lagi. Besok ayah dan nenekmu akan kembali ke Paris. Apa boleh aku ikut? Lumayan numpang gratis.”“Tentu. Kenapa tidak? Aku akan bilang pada ayahku secepatnya.” Inka bahkan sudah si
"Jadi, bagaimana dengan malam pertamamu?"Blush!Pipi Inka merona. Pertanyaan dari Andita membuatnya salah tingkah. Meski tidak ada yang terjadi, tetap saja pertanyaan itu terlalu brutal. Apakah semua pengantin baru selalu mendapatkan pertanyaan ini? "Stt! Sudah, meski kamu tidak memberitahukannya, aku tahu apa yang sudah terjadi, hihihi.""Ti-Tidak, Kak. Antara aku dan Candra benar-benar tidak ada apa-apa. Kami langsung tidur begitu hari menjelang malam.""Oh, Inka. Aku sangat tahu Candra. Ia tidak akan membebaskanmu begitu saja." Andita malah menuju kamar mereka. "Uh, sepertinya hal yg brutal terjadi tadi malam." Inka semakin tersudutkan. Kamar yang berantakan karena Inka melempar bantal pada Candra tadi pagi kini membuatnya tidak bisa berkutik."Sumpah! Kami tidak melakukan apa-apa!" Inka sudah hampir gila untuk menjelaskan semua itu."Lupakan saja. Aku akan menganggap seperti itu."Mengelak, memberi alasan bahkan menjelaskan dengan detail pun hanya akan sia-sia. Pada akhirnya In
"Kembali bekerja. Sepertinya aku terlalu baik padamu sampai kamu lupa kalau aku adalah bos di sini.""Aku mengerti."Rehan tidak berkutik saat Candra mulai menunjukkan kekuasannya. "Hubungi kembali Rani dan pastikan proyek kali ini berhasil. Aku tidak akn menyerah soal itu.""Itu yang ingin aku bicarakan padamu. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Candra memasukkan dua tangan ke dalam saku dan berjalan menuju Rehan yang sedang duduk di sofa. "Apa kamu mencurigai seseorang?" Satu alis mata Candra naik. Rehan mengangguk pelan. Pikirannya kembali pada peristiwa kemarin saat pesta pernikahan itu. Giselle yang tidak tahu jika ada seseorang yang mendengar pembicaraanya bersama orang lain."Kamu yakin mau melihat mantan terindahmu menikah? Bagaimana kalau kita hancurkan pesta ini."Rehan berusaha fokus dan menebak siap yang sedang bersama Giselle saat itu. "Aku hanya ingin menjadi saudara perempuan yang baik. Mengejutkan Inka sudah cukup bagiku.""Ayolah, hanya sekali keme
“Ckckck, berani-beraninya menyebut nama pria lain di hadapan suamimu.”“Emang kenapa? Pernikahan ini hanyalah semu. Aku juga tidak mau menganggap serius perlakuanmu nanti. Tenang saja, aku profersional.” Inka terlalu percaya diri mengatakannya.“Dengan siapa pun tidak masalah. Tentang Rehan aku tidak suka!”Inka semakin terheran-heran dengan tingkah Candra. Mengapa membatasi ruang geraknya? Lagipula, Rehan adalah sepupu Candra. Kenapa ia malah melarangnya untuk dekat dengan pria itu? Sungguh hal yang sama sekali tidak masuk akal!“Meski dilarang, aku tidak peduli. Tidak ada semacam itu di kontrak kita. Aku akan melakukan apa yang kusuka.”Inka meninggalkan Candra di sofa dan naik ke atas ranjang.“Kamu bisa tidur di sofa, oke?” kata gadis itu dengan sangat santai. “Empuknya!”Candra berkacak pinggang. Panas hatinya melihat mantan karyawan yang terlalu berani padanya.“Di mana Inka yang selalu hormat padaku? Aku tidak percaya jika gadis itu sekarang bahkan bisa memerintahku seenaknya.”
Tatapan tajam bagai elang yang siap memangsa dihadiahkan untuk gadis berponi di sana.“Harus sekarang membahas tentang perceraian?” Candra benar-benar tidak habis pikir. “Masa ada satu tahun dan kamu sudah memikirkan tentang itu?”“Ya mau bagaimana lagi? Satu tahun itu cepat, kok.” Inka sangat santai saat membalasnya. “Pernikahan kita saja hanya sebulan dipersiapkan. Oh, aku lupa bukan setahun. Sebelas bulan lagi. Kontrak itu di mulai saat aku tanda-tangan.”“Hm … kamu benar-benar ingin bercerai?”Inka mengangguk senang. Senyuman di bibirnya sangat lebar. Saat membayangkan lepas dari perjanjian saja sudah bisa menyenangkan hatinya.“Cerai, ya?”Berbeda dengan Inka, Candra terlihat tidak senang mendengar kata ‘perceraian’. Ia tidak ingin semua itu terjadi.“Oke, aku anggap kamu menantangku. Entahlah tapi … kurasa nantinya kamu akan memohon agar kita tidak berpisah.”“Apa? Haha! Hayalan macam apa ini? Pak Candra, jangan terlalu percaya diri. Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan plu
“Aku ke sini hanya untuk menikmati indahnya suasana vila.”Wanita itu tidak peduli. Ia malah duduk di samping kolam dengan santai. Rehan yang melihatnya lalu bertepuk tangan. Keberanian yang luar biasa untuk membalas perkataan Candra dengan sangat santai.“Kalian berdua benar-benar tidak tahu malu!” umpat Candra.Candra memutuskan pergi dari kolam. Tidak ada gunanya masih berada dan menghirup udara yang sama di sekitar sana. Saat ia kembali ke kamar, Inka terlihat tidur nyenyak di sana. Piyama pink yang dikenakan Inka terlihat lucu malam itu. Candra menghela napas. Itu artinya ia akan tidur di sofa. Sungguh hari yang terlalu menyebalkan!“Kamu sudah kembali?” Inka bergerak dari posisinya yang damai.Candra menoleh ke arah suara dan berkata, “Kupikir kamu tidur.”“Aku hanya berbaring. Ini tempat baru. Aku tidak bisa tidur,” terang Inka. “Waktu pertama di apartemenmu juga aku tidak bisa tidur.”“Kenapa? Karena sekamar denganku? Tenang, aku tidak akan melakukan apa pun padamu.”“Bukan. A
“Hidup berbahagia selamanya!”Sorak-sorak dari penari setelah menampilkan tarian indah terdengar. Inka tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya hari ini. Semalaman ia berpikir panjang tentang ini dan itu. Pada akhirnya, ia ingin menikmati momen indah yang dimilikinya.“Senyummu lebar sekali. Apa kamu senang menikah denganku?” tanya Candra membuat perasaannya terusik. Ia juga sesekali curi-curi pandang pada pengantinnya. Cantik—satu kata untuk menjelaskan tentang Inka.“Aku hanya menikmati setiap momen dalam hidup. Kamu juga, ayo kita menyapa tamu undangan.” Pada akhirnya, Inka mengontrol emosinya.Inka menggenggam tangan suaminya dan mulai perlahan menelusuri taman itu dan menyapa satu per satu tamu dengan senyuman yang paling manis.“Auramu benar-benar keluar dengan sempurna. Duh, duh, duh!” Sasha langsung berkomentar saat didatangi sang pengantin.“Mungkin kamu harus mengikutiku menikah segera,” goda Inka.“Tidak, tidak! Aku mau menikmati masa lajangku sampai puas!” tolak Sasha. “Ak