Mereka menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, karena lokasi rumah Ran dan restoran itu lumayan jauh. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara.
Sebenarnya Aryan beberapa kali memulai pembicaraan, tapi Ran tak merespon dengan baik, bahkan Ran sibuk dengan ponselnya. Lebih tepatnya pura-pura sibuk. Akhirnya Aryan menyerah, dan memilih fokus mengemudi. Walaupun sesekali matanya tak bisa diajak kompromi, karena selalu melirik wanita cantik yang duduk di sampingnya itu.
“Terima kasih sudah mengantar saya.” Ran membuka sabuk pengaman, lalu segera ke luar dari mobil Aryan saat mereka sudah sampai di depan gerbang rumahnya, tanpa mau repot-repot menanti jawaban dari Aryan.
Terdengar tidak sopan? Biarkan saja! Ran tidak peduli. Bahkan Ran berharap kalau Aryan mengadu pada kedua orang tua pria itu, supaya rencana perjodohan mereka bisa secepatnya dibatalkan.
“Gerbang mau di buka, Non?” Satpam rumahnya dengan sigap bertanya saat Ran sudah berada di depan gerbang yang terbuka sedikit setelah kedatangannya. Sepertinya satpamnya itu sudah melihat kedatangan sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang.
“Tidak per—”
“Ehm… Labu…”Ran menutup kedua matanya, mencoba menahan kesal saat Aryan sudah berada di belakangnya, dan kembali memanggilnya dengan sebutan itu. Ran berbalik, sebisa mungkin memasang wajah datar.
”Kamu tidak ada niat untuk mampir kan? Ini sudah malam. Saya masih ingat kamu tadi bilang harus bangun pagi karena ada rapat.”
“Wah… ternyata kamu orang yang perhatian ya. Kayaknya kamu udah beberapa kali ingetin aku. Aku jadi merasa tersanjung.” Mata Aryan berbinar saat mengatakan itu, membuat Ran melongo tak percaya.
“Kamu ini super percaya diri ya! Saya bukan perhatian, tapi saya adalah orang yang memiliki ingatan yang amat sangat bagus!” desis Ran kesal. Entah sudah ke berapa kali dia kesal hari ini, dan sialnya dengan orang yang sama.
Wajah Aryan seketika mendung.
‘Punya ingatan amat sangat bagus, tapi kamu gak mengingatku sama sekali. Hebat sekali kamu, Pumpkin!’ seru Aryan kecewa luar biasa di dalam hati.
Ran memperhatikan perubahan wajah Aryan. Wanita ini bertanya-tanya di dalam hati, apakah dia menyinggung Aryan? Tapi jika dipikir-pikir, dia tidak mengatakan hal yang bisa membuat Aryan tersinggung. Kalau pun Aryan tersinggung kan bukan urusannya.
“Sebaiknya kamu pulang, karena ini sudah malam.” Ran kembali berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Apa kamu benar-benar gak mengingatku?” tanya Aryan.
Pergerakan kaki Ran terhenti.
“Aku yang dulu suka ganggu kamu di sekolah, setiap hari. Aku juga yang ganggu kamu saat kamu bantu nenek kamu jualan di depan rumahku. Aku—”
“Tentu saja saya mengingat kamu dengan jelas, bocah mengesalkan yang selalu mencari cara untuk duduk di sebelah saya saat kita sekolah hanya untuk mengganggu saya belajar. Dan bocah yang selalu mencari cara untuk berdiri di samping saya saat kita upacara hanya untuk menarik-narik rambut saya.”Aryan membelalakkan mata terkejut. Jantungnya berdetak amat sangat kencang. Saat ini dia sudah berhadapan dengan Ran yang sudah kembali membalikkan tubuh ke arahnya.
“Ka-kamu… ingat se-semuanya?” tanya Aryan tak percaya.
“Saya sudah katakan, kalau saya memiliki ingatan yang amat sangat bagus!” Ran menaikkan dagunya, “tentu saja saya mengingat semuanya. Termasuk apa yang teman kamu katakan pada saya waktu itu. Berhubung kita kembali bertemu, bilang sama teman kamu, saya ternyata tidak terlahir dari batu. Saya punya seorang Ayah yang sangat tampan! Dan bilang juga sama dia, kalau saya sudah tidak dekil lagi seperti sampah!” ucap Ran menggebu.
Ya, Ran memang mengingat semuanya. Wanita ini bahkan tidak pernah melupakan kejahilan yang Aryan lakukan padanya dulu. Terlebih, kata menyakitkan yang diucapkan teman Aryan yang Ran bahkan tidak ingin mengingat nama bocah itu.
Terlihat kilatan luka di mata Ran, membuat Aryan kembali mengingat masa lalu terakhir yang mereka lalui bersama.
Aryan kembali merasa bersalah atas semua itu. Pria ini merasa ingin menyembunyikan dirinya di tempat terpencil saat ini karena terlalu malu.
“Maaf, Ran…” lirih Aryan sungguh-sungguh. Bahkan pria ini menyebut namanya, bukan Pumpkin atau Labu. Tercetak jelas raut bersalah Aryan.
Ran tertegun beberapa saat.
Bocah yang dulu tak pernah mengucap kata ‘maaf’ dan tak pernah absen menjahilinya ini meminta maaf? Kenapa? Apa karena sekarang Ran bukan lagi bocah miskin yang bisa dia jahili dan perlakukan seenaknya seperti dulu?
Cih! Dasar orang kaya sialan!
Tapi tunggu… Aryan tidak pernah memperlakukan Ran seenaknya. Pria di depannya ini dulu hanya jahil, kelewat jahil. Aryan pun tak pernah merendahkannya. Aryan kecil memanggilnya ‘Labu’, karena merasa wajah Ran manis seperti labu, bukan hanya karena nenek Ran berjualan kolak labu.
Bagaimana Ran bisa tahu? Pikiran Ran kembali merawang di masa lalu.
* Flashback Tujuh Belas Tahun Lalu *
“Labu~”
“Bisa enggak, kamu gak panggil aku ‘Labu’?!” kesal Ran saat bocah laki-laki di depannya ini bersenandung asal.
“Aku lagi nyanyi, bukan manggil kamu. Hahaha…”
Wajah Ran langsung memerah. Bocah perempuan ini merasa malu. Seharusnya dia tidak terpancing emosi meladeni Aryan yang sedang duduk berhadapan dengannya. Seharusnya dia bersikap seperti biasanya saja, mengabaikan Aryan. Sikap seperti itu sudah sangat benar, dan lebih aman. Lihat sekarang akibatnya, dia jadi malu sendiri.
Ran segera pura-pura sibuk dengan buku yang dipegangnya, tanpa peduli lagi pada bocah laki-laki yang duduk di depannya yang memilih membelakangi whiteboard di depan kelas mereka agar bisa duduk berhadapan dengan bocah perempuan ini. Kebetulan saat ini sedang jam istirahat, dan di kelas mereka hanya ada beberapa anak yang tersisa. Anak-anak yang lain memilih bermain di lapangan dan jajan di kantin.
“Labu…”
Ran mencoba abai saat Aryan kembali bersuara. Ran tidak ingin tertipu lagi meladeni Aryan. Tertipu sekali itu wajar, kalau dua kali itu namanya bodoh.
“Labu… Labu… Labu…” Aryan terus saja mengucapkan kata itu beberapa kali, tapi Ran tetap memilih pura-pura tuli.
“Labu, kalau dipanggil itu jawab. Kamu dikasih mulut yang sehat buat bicara, Labu!” seru Aryan kesal sambil menarik buku yang Ran baca. Aryan heran sendiri pada bocah perempuan di depannya ini, yang selalu saja memilih sibuk dengan buku-buku daripada berbaur dengan teman-teman mereka di kelas.
"Kamu manggil aku?” tanya Ran dengan wajah sama-sama kesal.
“Iya.”
“Aku pikir kamu lagi nyanyi. Lagian namaku bukan ‘Labu’!” ucap Ran sambil memelototkan matanya tak suka ke arah Aryan.
Bukannya takut, bocah laki-laki di depannya ini malah tertawa sinting. “Hehehe… buat aku nama kamu Labu.”
“Kenapa?! Mentang-mentang aku jualan kolak labu, iya?!”
“Bukan kok.”
“Terus?”
“Soalnya muka kamu manis kayak kolak labu buatan nenek kamu.”
Ran hanya melongo saat Aryan mengatakan itu. Apa maksudnya? Memang Aryan pernah memakan mukanya?
Tak!
Ran tersadar dari lamunan saat Aryan meletakkan tempat makan bergambar kartun kelinci di atas mejanya.
“Mama aku bikinin roti bakarnya kebanyakan. Habisin rotinya ya, Labu, gak boleh dibuang, nanti kamu dosa kalau buang makanan! Aku mau main dulu.” Setelah mengatakan itu, Aryan mengacak gemas rambut Ran, dan langsung berlari ke luar kelas. Sekilas Ran melihat pipi Aryan memerah, dan Ran tak tahu apa penyebabnya.
Ran memperhatikan kotak bekal di depannya beberapa saat, lalu tanpa sadar tangannya membuka kotak bekal itu. Di dalam sana, roti bakar yang Aryan bilang masih banyak itu terlihat utuh, potongannya rapi, dan tak tersentuh sama sekali.
“Kebanyakan apanya?” tanya Ran bingung.
Ini bukan sekali dua kali Aryan memberikannya makanan utuh seperti ini, seolah memang Aryan sengaja membawakan Ran makanan. Dan setiap kali Ran menolak, Aryan akan selalu menakutinya dengan ancaman seperti tadi, ‘GAK BOLEH DIBUANG! NANTI KAMU DOSA!’.
Ran memang tak pernah keluar istirahat. Bocah perempuan ini selalu disediakan sarapan oleh sang nenek sebelum berangkat sekolah. Saat istirahat, Ran akan sibuk membaca buku atau mengerjakan soal-soal yang bisa dia kerjakan di buku paket.
Ran masih memandangi bekal makan di depannya.
“Dimakan, Labu!”
Ran tersentak saat tiba-tiba saja kepala Aryan muncul dari jendela di samping Ran duduk, dengan nada suara memerintah. Setelah mengatakan itu, Aryan kembali berlari pergi.
Ran kembali terdiam kaku. Lalu tak berapa lama, helaan napas kesal muncul dari bibirnya. “Apa-apaan sih dia!” gerutu Ran, tapi tangannya sudah mengambil sepotong roti bakar pemberian Aryan. Ran takut kalau rotinya tidak dimakan, dia akan berdosa. Neneknya selalu mengajarkan, jika membuang makanan itu bisa membuat rezeki kita terhambat. Apalagi Aryan selalu cerewet jika dia tidak menghabiskan makanan pemberian bocah itu.
Bocah pemaksa!
*Flashback Off*
*“Soalnya muka kamu manis kayak kolak labu buatan nenek kamu.”*Ran terngiang ucapan Aryan ketika itu.Manis?“Aku minta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu.”Ran tersadar dari ingatan masa lalu, saat suara Aryan kembali terdengar. Mereka saling pandang beberapa saat, sampai akhirnya Ran menghela napas panjang. Sepertinya wanita ini merasa tak ada gunanya lagi emosi karena masa lalu.“Sudahlah. Saya tidak mau membahas hal itu lagi. Sebaiknya sekarang kamu pulang.”“Kamu mau memaafkanku?” tanya Aryan penuh harap.“Kamu merasa bersalah?”Aryan mengangguk mantap sebagai jawaban.“Kejahilan kamu waktu itu hanya kejahilan anak kecil. Saya sebenarnya tidak mau mengungkitnya lagi, tapi kamu malah mengingatkan saya tentang itu. Tapi ya sudah lah, saya sudah memaafkan semua kejahilan yang kamu lakukan pada saya.”“Aku buk
//0821234xxxPagi... Kamu gak terlambat bangun kan?Ran terbengong sambil menerka-nerka nomer ponsel siapa yang mengganggu ponselnya pagi-pagi buta seperti ini. Ini baru hampir pukul lima pagi, tentu saja dia tidak terlambat bangun.Nomer siapa sih ini?//0821234xxxKarena kamu udah baca chat aku, sepertinya kamu udah bangun : DAku harap harimu menyenangkan, Pumpkin <3Pumpkin?Ran melebarkan mata terkejut saat menyadari panggilan itu.Tidak salah lagi, ini pasti nomer ponsel musuh bebuyutannya saat SD dulu. Siapa lagi kalau bukan Aryan Mada Kusumo, pria yang semalam membuatnya kesal. Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu selain Aryan.“What the Ffff__” Ran menarik dan membuang napasnya sebelum umpatan kasar itu keluar. “Dia tahu nomerku dari mana?!”
“Ayahmu belum datang?”“Hm.”“Aku antar?”“Terus tunanganmu nanti ngelabrak aku lagi seperti satu minggu yang lalu saat kamu juga pergi ke Bali?” tanya Ran sambil tersenyum miring.Juna terdiam sesaat. Pria ini menutup mata, lalu membukanya kembali. “Maafkan aku.”“It’s okay, Jun. Mungkin kalau aku ada di posisi tunanganmu, aku akan melakukan hal yang sama.”“Aku mencintaimu, Ba—”“Sudahlah, Juna. Ingat tunanganmu.”“Aku__"Juna menghentikan ucapannya, saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya dan Ran. Mereka saat ini berada di depan restoran yang sudah terlihat gelap karena sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Walaupun masih ada satpam yang belum pulang dan masih berjaga di pos yang berada tak jauh dari tempat Ran dan Juna berada.Seorang wanita can
Ran memandangi sebuah toko perhiasan mewah di depannya. Di sampingnya, sudah ada seorang pria yang saat ini memasang senyum semringah seperti habis dapat jackpot. Bagaimana tidak dapat jackpot, tiba-tiba kemarin malam, sang mama memberitahunya melalui sambungan telepon kalau wanita pujaan sejak pria ini duduk di bangku sekolah dasar, menerima pertunangan mereka. Lebih jackpotnya lagi, wanita itu minta pertunangan mereka disegerakan. Pria ini yang tadinya hendak melepaskan kegalauannya di kelab malam karena masih teringat kedekatan manager Ran dan wanita itu, langsung membelokkan kemudi pulang ke rumahnya, karena ingin menanyakan secara langsung ucapan sang mama, dan berharap kabar itu bukan prank.“Bukankah kita mau ke rumahmu?” tanya Ran bingung.“Nanti, setelah kita pilih cincin pertunangan kita, Pumpkin.”Ran mendengus sebal. Panggilan ‘Pumpkin’ masih saja membuatnya kesal. Ran terkesiap saat pria di sampingnya tib
“Pilihanmu bagus.”“Kamu sudah mengatakan itu berkali-kali, bisakah kamu mengatakan hal yang lain?”Aryan terkekeh geli saat kembali berhasil memancing amarah cinta pertamanya ini. Mereka sudah melangkah ke luar toko perhiasan yang ada di salah satu mall di kota ini setelah Aryan selesai bertransaksi.“Kamu sensitif banget sih, Pumpkin.”“Aku sedang halangan, jangan sampai aku mengeluarkan semua aura hitamku saat ini!” desis Ran tak suka.“Keluarin dong, aku mau liat aura hitammu lebih banyak lagi.”“Kamu gila?”“Karena kamu.”“Tidak perlu menggombaliku! Itu tidak akan mempan!”“Iya aku tau gak akan pernah mempan gombalin kamu. Aku udah ngerasain hal itu saat kita dulu satu kelas.”Ran berdecih geli. “Saat itu kita masih sangat kecil, dan kamu sudah mencoba merayu perempuan. Jangan-jangan kamu melakuka
“Wow, followersnya tujuh juta orang?” Ran menatap takjub layar ponselnya. “Ternyata dia model dan selebgram.”Ran sibuk berselancar di dunia maya, tepatnya di salah satu aplikasi media sosial, setelah sebelumnya Ran mencari tahu lebih banyak di mesin pencarian tentang seseorang yang membuatnya penasaran.“Dan..teman wanitanya sebanyak ini? Hahaha… Dasar playboy cap cicak ekor buntung!” Ran tertawa setengah kesal, saat menemukan begitu banyak foto seseorang itu dengan banyak wanita berpakaian menggoda.Ran menghentikan jarinya menggeser layar ponsel yang dia genggam. Wanita ini menatap langit-langit ruang keluarga di rumahnya.Setelah seharian berada di rumah calon tunangannya untuk menentukan tema dekorasi acara pertunangan mereka yang akan diadakan tiga minggu lagi, Ran baru saja tiba di rumahnya setengah jam yang lalu, dan segera sibuk membuka mesin pencarian untuk menuntaskan rasa penasaran yang sejak siang ta
“Berita bagus untuk kita, karena restoran kita sudah resmi bekerja sama dengan salah satu hotel mewah di negara ini, Hotel Kusumo.”Terdengar riuh tepuk tangan pegawai restoran tempat Ran bekerja, saat Juna mengumumkan perihal kerja sama restoran mereka dengan Hotel Kusumo.“Dan, untuk satu atau dua minggu ke depan, Chef Ran akan stay di Hotel Kusumo, karena menu-menu andalan restoran ini, yang sebagian besar adalah menu yang Chef Ran buat, akan menjadi menu andalan juga di hotel itu.”Tepuk tangan kembali terdengar. Bahkan kali ini celotehan beberapa karyawan ikut meramaikan suasana briefing pagi ini sebelum mereka membuka restoran.“Wih… Chef Ran bisa ketemu sama Aryan Kusumo nih!”“Unchhh… iri ih~”“Aku gak liat pas Aryan Kusumo ke sini waktu itu. Huhuhu… nyesel kenapa hari itu aku libur!”“Aslinya ganteng banget… nget… nget! Sumpah
Ran terkejut saat ada seseorang yang menyodorkan minuman kaleng dingin ke arahnya. Wanita ini menengadahkan kepala melihat siapa yang melakukannya.Bola matanya memutar saat tahu siapa orangnya. “Sedang apa kamu di sini?”“Tentu aja kerja, Pumpkin. Kamu pikir ngapain lagi aku di hotel ini,” balas seseorang itu. Seseorang itu menarik kursi, lalu duduk di depannya.“Kamu pasti tahu bukan itu maksudku! Yang aku tanyakan, sedang apa kamu di kantin karyawan?”“Mau jenguk calon tunangan.”“Aku gak lagi sakit, Aryan Kusumo!”“Ya maksudku mau nemenin calon Nyonya Aryan Kusumo istirahat.”Semburat merah tiba-tiba saja muncul di kedua pipi Ran.“Aku sudah bilang, tidak perlu menggombaliku!”“Siapa yang mau gombal sih. Orang ngomong jujur dibilang gombal.”“Lalu apa namanya pakai bawa-bawa
“Kafe ini benar-benar nyaman.” Ran mengedarkan pandangan ke penjuru kafe yang ia datangi. Kafe ini tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Terlihat sangat nyaman untuk berbagai usia.Hari ini ia dan sang suami menghadiri pembukaan kafe cabang baru kenalan sang suami di dunia bisnis, Andaru Ansel Bratadikara – CEO LION TV, salah satu stasiun televisi besar di negara ini —. Kafe ini milik istri dari Andaru, Zetaya Bratadikara. Wanita berambut merah yang sepertinya seusia dengan Aryan.Ran berkenalan dengan Zetaya saat Andaru dan istrinya itu menghadiri pesta pernikahannya. Ran dan wanita itu menjadi dekat setelah mengetahui sama-sama memiliki passion di dunia kuliner.“Kamu jadi mau buka kafe kayak gini?”Ran menghela napas panjang saat sang suami bertanya hal itu. Suaminya ini ternyata masih mengingat pembicaraan random mereka beberapa waktu yang lalu.Wanita ini tersenyum sambil mengusap lembut pipi san
Ran POV“Sayang, singkirkan tanganmu!”“Udah bangun?”Aku membuka mata malas saat pria yang sudah menjadi suamiku selama hampir tiga bulan ini bertanya dengan polosnya. Mataku menatap bagian atas gunungku. Ada beberapa tanda merah karya pria yang menyiksaku semalam. Mataku beralih menatap jam di nakas yang berada di sampingku.Jam empat subuh. Bagus, sepertinya aku baru tidur dua jam yang lalu, tapi pria yang memelukku dari belakang ini malah sudah mengganggu acara tidurku.Kutolehkan kepala ke belakang, tempat di mana ia berada. Mata kami bertemu. Pria ini tersenyum tanpa dosa saat aku menatapnya datar.“Bisakah kamu membiarkan aku tidur sebentar lagi?”“Tidur aja, Sayang~”Plak!Pria ini meringis saat aku menepuk sedikit kencang tangannya yang entah sejak kapan sudah menangkup salah satu gunungku. Bukan hanya mengangkup, tapi pria ini see
AREA 21++SADAR DIRI AJA BUAT YANG BELUM CUKUP USIA YESSS :* ( ETAPI KALAU UDAH MERIT MAH CUZ LAH TANCAP GAS... WKWKWK... )YANG UDAH CUKUP USIA TAPI GADA LAWAN, YAH MON MAAP ITU DERITA DITANGGUNG SENDIRIIIIIII.... ( AKU GAK IKUTAAANNN )###“Kamu ke sini hanya ingin bertanya tentang hal itu?”“Hanya?? Ini lebih dari sekedar ‘hanya’, Ken! Ini tuh bakal jadi awal di mana akan ada anakonda-anakonda dan sungai-sungai di masa mendatang hasil produksi gue dan My Pumpkin!” ucap Aryan menggebu, mendramatisir kata-katanya.Kendrick Gevan mendengus geli sambil menggeleng maklum. Sahabat rasa adik di depannya ini memang sudah terkenal gilanya.“Bukankah kamu bisa belajar dari film-film ‘gerah’ yang BIASA kamu tonton?”“Hoi! Janga
Ran menoleh ke samping kanan saat merasakan remasan lembut di tangannya. Ia balas tersenyum saat pria yang berdiri di sampingnya tersenyum dan memandangnya penuh cinta.Akhirnya ia resmi menjadi istri Aryan Mada Kusumo. Bocah yang mewarnai hari-harinya semasa duduk di bangku sekolah dasar walaupun kebersamaan mereka hanya sebentar.Ran pikir tidak akan bertemu lagi dengan bocah menyebalkan ini.Namun, siapa yang sangka, kalau ternyata Yang Maha Kuasa punya rencana yang indah untuknya dan Aryan. Kembali dipertemukan setelah sama-sama dewasa, ternyata tak membuat Aryan melupakan sosok dirinya yang sangat biasa ini.Sangkalan Ran atas hatinya yang terpikat begitu mudah dengan sosok Aryan ternyata tak berlangsung lama. Pria yang saat ini berdiri di sampingnya, bisa dengan mudah membuat orang merasa nyaman dan jatuh cinta dengan tingkah-tingkah tak waras yang dimiliki pria ini. Termasuk Ran. Dan ya.. Ran mengaku kalah, kalah oleh gengsi yang semp
“Dedek Ran udah besar ya.”Ran memutar bola mata malas. Namun terkekeh geli setelahnya. “Aku lebih tua dua tahun darimu, Ano.”“Tapi faktanya aku kan abang sepupu kamu.”“Ya.. ya.. ya.. Abang sepupunya Ran.” Ran memilih mengalah pada pria yang berjalan bersisian dengannya ini. Kakak sepupu yang lebih muda darinya ini selalu tidak pernah mau dianggap lebih muda dari Ran. Tapi ya kenyataannya memang benar jika Ano alias Keano adalah abang sepupunya, karena pria ini adalah anak dari kakaknya Adila.Mereka berjalan menyusuri taman belakang rumah ini untuk mencari udara segar sejak lima belas menit yang lalu.“Calon suami kamu masih cemburu sama aku?”Ran mengangkat kedua bahu. “Aku tidak tahu. Kalian kan belum sempat aku kenalkan secara langsung.”Ran tersenyum kecil. Masih segar di ingatan saat Adila mengatakan jika Aryan cemburu pada sosok Keano, padahal pria itu su
“Sudah merasa hebat?”Ran hanya diam saat sang oma bertanya sinis seperti itu padanya.Wanita ini menunduk takut dengan kedua tangan saling memilin.Sepertinya sejak tadi siang, sang oma tidak sabar ingin menegurnya. Tentu bukan teguran sayang antara oma dan cucu, tapi teguran penuh kebencian.Contohnya seperti saat ini.Ran terkejut saat beberapa menit yang lalu Zanna repot-repot menghampirinya di gazebo taman belakang tempat biasa dirinya bersantai untuk menghirup udara segar. Lalu, tahu-tahu saja mengatakan hal itu.“Kenapa diam?” tanya Zanna kembali. Tentu saja dengan nada dibuat semakin sinis.Ran mengumpulkan keberanian untuk mengangkat kepala, sampai matanya bersirobok dengan Zanna. Binar ketakutan terlihat jelas di matanya. Apalagi wanita ini sudah tahu jika Zanna pernah berusaha menyingkirkannya saat masih berada di dalam kandungan Manika.“Ran.. tidak mengerti maksud Oma.” Ran beruc
Hari ini, sepasang calon pengantin itu akan melakukan sesi pemotretan prewedding di tempat di mana Aryan Mada Kusumo menemukan tulang rusuknya.Mereka menggunakan seragam sekolah dasar tempat mereka sekolah dulu, yang tentu saja ukurannya sudah dibuat sesuai dengan ukuran tubuh mereka. Jangan tanya berapa lama proses pembuatan seragam itu.Aryan baru mengatakan pada sang mama satu minggu yang lalu untuk konsep foto prewedding yang akan dia gunakan. Hal itu tentu saja membuat Kania kelabakan. Apalagi seragam sekolah yang digunakan tidak seperti seragam sekolah pada umumnya. Kania tentu harus meminta bahan seragam itu pada pihak sekolah, dan untung saja semua proses seakan dimudahkan oleh Yang Maha Kuasa.Untungnya juga keluarga Aryan masih menjadi donatur terbesar di sekolah swasta ini. Sehingga tidak sulit bagi mereka meminta izin pihak sekolah untuk mengadakan foto prewedding di sini. Apalagi Aryan dan Ran memilih hari libur untuk melaksanakan kegiatan ini. Jad
“Sekolah ini sudah jauh berbeda ya.” Ran mengamati gedung besar di depannya, lalu beralih melihat sekeliling tempat yang dia datangi ini. Tempat ini semakin terlihat semakin baik.“Tentu aja. Udah berapa tahun coba kamu tinggalin?”Ran terdiam. Bola matanya memutar, menghitung kira-kira berapa lama ia meninggalkan sekolah dasar tempat di mana dulu ia bersekolah sebelum dibawa Rion ke London.“Hmm… Enam belas tahun sepertinya,” balas Ran setelah mengingat-ingat.“Waaahhh… luar biasa!” Aryan bertepuk tangan girang. “Jadi udah selama itu ya hatiku nyangkut di kamu??”Ran berdecih geli. “Tolong dikondisikan mulutnya. Kamu sedang menggombal?”“Kesungguhanku selalu aja dibilang gombal!”Ran tak bisa menyembunyikan tawa saat melihat wajah sang calon suami ditekuk.“Kamu ngambek?” tanya Ran sambil menusukkan telunjuknya b
“Ayah akan menerima kalau kamu membenci ayah, tapi tolong kamu jangan tinggalkan ayah…”Ran mencoba meredakan isakannya di dalam pelukan sang ayah.Pantas saja belakangan ini sang ayah lebih pendiam dari biasanya.Siapa pun yang membaca kisah hidup yang ditulis ibu kandungnya pasti akan ikut terbawa suasana, seolah orang itu sendiri yang mengalami. Termasuk Ran.Di dalam agenda itu terlihat jelas bahwa Manika adalah sosok wanita yang kuat. Ran juga dapat merasakan betapa sayangnya sang ibu padanya.Perasaan Ran campur aduk. Antara rasa senang, sedih, dan kecewa. Wanita ini senang, jadi lebih mengenal sosok Manika lewat agenda ini. Namun, Ran juga merasa sedih, karena tidak bisa bersama lebih lama dengan sang ibu.Ditinggalkan di usia yang masih sangat kecil membuat Ran tidak bisa mengingat sosok sang ibu dengan baik. Tapi di dalam agenda yang dipeluknya ini, Ran bahkan merasakan kehadiran sang ibu saat ini.“B