"Ini kantor? kamu mau ngapain di sini!? lebih baik pulang saja!" usir Bayu."Aku nggak mau!" ucapnya penuh keyakinan.Intan tetap kekeuh dengan keputusannya, meski beberapa kali Bayu mencoba mengusirnya dari sana.Akhirnya, Bayu yang telah putus asa, menyetujui permintaan Intan untuk menunggunya di tempat parkir.***Sore hari pun telah tiba, Intan masih sabar menunggu Bayu di tempat semula, hingga Bayu keluar dari kantornya."Aduh! orang ini kenapa keras kepala banget sih!?" gumam Bayu dari kejauhan, ketika menyadari Intan yang masih menunggunya di samping mobil.Bayu mengira, jika Intan hanya menggertaknya, dan akan segera pergi dari sana. Namun ternyata Intan benar-benar menunggunya hingga pulang bekerja.Bayu secara diam-diam berjalan keluar dari kantor, menutupi wajahnya dengan tas kerjanya, beberapa kali mengintip Intan dari celah tasnya, nampaknya Intan tidak mengetahui keberadaannya saat ini.Bayu berlari tunggang langgang, menuju jalan besar untuk mencari ojek. Hari ini dia d
"Kamu siapa!? kenapa malam-malam berada di sini!?" ucap satpam seolah tengah menginterogasi Intan yang masih menggosok-gosok matanya yang terasa berat.Intan yang baru menyadari kedatangan salah seorang satpam, bergegas bangkit dari duduknya, beberapa kali menepuk pantatnya yang terlihat kotor setelah duduk di lantai paving."Saya menunggu pacar saya Pak, namanya Mas Bayu, apakah Bapak bisa memanggilkannya sebentar?" ucap Intan sopan kepada bapak-bapak satpam yang telah berumur."Neng! sebaiknya lihat jam deh!"Mendengar ucapan sang satpam, Intan pun dengan penasaran merogoh ponsel miliknya di dalam tas untuk sekedar melihat jam, betapa terkejutnya dia, melihat waktu yang kini telah menunjukkan pukul setengah satu lagi, pantas saja kantor terlihat sepi, tapi kenapa sampai sekarang Bayu belum juga menampakkan batang hidungnya? sebenarnya kemana Bayu pergi? apakah lembur sampai selarut ini? Beberapa pertanyaan mulai melintas dalam pikirannya."Jadi, apakah Mas Bayu sedang lembur?""Haha
Intan yang awalnya menaruh curiga terhadapnya, mendadak menepis semua pemikiran aneh, setelah mendengar ucapan sopan pemuda itu."Masnya ini Ojek?" tanya Intan sedikit ragu-ragu, yang hanya di balas anggukan oleh pria itu."Perkenalkan! nama saya Damar!" Sang pria memberikan jabat tangan secara paksa pada Intan.Intan dengan cepat menghempaskan tangan Damar yang tidak mau melepaskan jabat tangan mereka, berjalan menjauh dari Damar yang tengah menatapnya."Mbak! kenapa takut begitu sih? saya nggak gigit kok," ucapannya santai.Intan menghentikan langkahnya, berdiam diri untuk sejenak, mencoba menghilangkan rasa takutnya, jika dia terus seperti ini, dirinya bahkan tidak bisa pulang sampai pagi, apa lagi sekarang ini tubuhnya terasa berat sekali."Baiklah! antarkan saya pulang sekarang!" ucap Intan lirih, dirinya yang awalnya tertunduk, memberanikan diri untuk menatap wajah Damar.'Ternyata tidak buruk juga, orang ini ternyata lebih tampan dari Mas Bayu,' batinnya.Intan tanpa sadar ters
Tak sampai di situ, tangan nakal Damar menyelusup masuk ke dalam kemeja coklat milik Intan, tangan kirinya menyelusup ke dalam bra, memainkan ujung buah dada Intan di dalam sana. Sementara tangan kanannya bersusah payah membuka resleting celana pendek milik Intan."Akh! ja-jangan .. Ahh!" pekik Intan ketika tangan kanan Damar berhasil memasuki celananya, memainkan gumpalan daging kecil di sana, membuat tubuh Intan menggelinjang hebat."Akh!" pekik Intan, merasakan sensasi yang luar biasa ketika Damar meremas gundukan kembarnya secara kasar, sembari terus memainkan lidahnya di telinga dan tengkuk milik Intan."Apakah kamu menikmatinya?" bisik Damar, ketika menyadari bagian bawah Intan yang terasa basah. Intan hanya mengangguk pasrah tanpa perlawanan, sensasi seperti ini telah lama di nantikannya dari Bayu, namun belakangan ini, sikap Bayu mendadak berubah terhadapnya, tak pernah lagi menyentuh tubuhnya seperti dulu."Bi-bisakah jan-jangan melakukannya di si-sini?" ucap Intan terengah-e
Intan terkejut bukan main, melihat alat vital Damar yang telah mengeras, menampakkan urat-urat kecil di sana, itu bukan ukuran orang normal, besarnya hampir menyerupai kepalan tangan orang dewasa, dengan panjang yang luar biasa, membuat Intan sangat ingin segera mencobanya."Akh! sa-sakit! pe-lan sedikit!" pekik Intan ketika tanpa sadar, si joni dengan paksa mencoba memasuki lubang kenikmatannya. Namun Damar seakan tuli, dia mengacuhkan Intan yang terus meronta sembari meringis kesakitan."Akh!" pekik Damar ketika berhasil menerobos pertahanan Intan di bawah sana, terlihat darah segar yang mulai mengucur, ini memang bukan pertama kalinya untuk Intan, namun karena ukurannya yang sangat besar, membuat Intan harus merasakan perih di area kewanitaannya, hingga membuatnya meneteskan air mata.Tanpa aba-aba, Damar mempercepat temponya, memompa tubuh Intan, hingga membuat Intan kewalahan mengatur nafas."Pe-pelan sedikit!" ucap Intan dengan nafasnya yang tersengal, namun lagi-lagi Damar tida
"Ikut aku!" Bayu dengan cepat menarik tangan Intan untuk mengikuti langkahnya, sementara seorang pria tua yang tengah menggendong sebuah map, dengan pakaian rapi berjas, terlihat terus mengikuti mereka.Bayu seketika menghentikan langkahnya, melihat seorang pria tua yang tidak berhenti mengikuti mereka."Bapak ini siapa?" Bayu spontan bertanya pada bapak tua itu."Penghulu, yang akan menikahkan kita hari ini!" jawab Intan datar, membuat Bayu seketika terkejut mendengar hal itu."Apa!?" Bayu kembali menatap tajam ke arah Intan, ada perasaan tidak terima dalam hatinya, nafasnya menderu, giginya bergemeretak, dengan tangan yang mengepal sempurna. Seakan telah siap untuk bertinju dengan lawannya.Namun Bayu tak bisa melakukan hal itu pada Intan, dirinya hanya bisa pasrah. Bayu nampak beberapa kali memijat keningnya, dirinya benar-benar merasa frustasi dengan semua ini. Karena sebuah penghianatan, dirinya harus hidup dalam kehancuran, di ombang-ambing oleh ombak kehidupan, tanpa sebuah pil
Bayu akhirnya menarik Intan untuk memasuki mobilnya, di ikut bapak penghulu yang tak ingin ketinggalan dengan mereka. Bayu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, bak seorang pembalap profesional, menyalip beberapa mobil yang tengah berlalu-lalang di jalanan kota, tanpa menginjak rem sedikitpun.Intan tak banyak protes, dia tidak ingin Bayu semakin marah dengannya, Bayu bersedia untuk menikahinya saja sudah bersyukur.Intan berpegangan erat di sabuk pengaman yang tengah dipakainya, beberapa kali memejamkan mata, merasa ketakutan, seandainya Bayu menabrak sesuatu di depan sana.Srrttt!Bayu menginjak rem dengan kuat, membuat Intan dan bapak-bapak penghulu yang duduk di bangku belakang terpental ke depan.Intan hanya melihat wajah Bayu sekilas, nampak banyak amarah yang tengah di pendamnya saat ini. Bayu nampak menghembuskan nafas kasar."Turun!" Perintah Bayu pada Intan yang sedari tadi mematung di sampingnya."Oh!? Oke!" Intan seketika terkejut dengan bentakan Bayu padanya. Intan
Sementara itu, di kediaman Kinara.Drrttt .. Drrttt ..Ponsel Kinara nampak beberapa kali bergetar di atas nakas, membuat Kinara terbangun dari tidur lelapnya. Kinara tidak bermaksud untuk tidur sebelumnya, namun ketika menidurkan Nathan di tempat tidurnya, tanpa sadar dirinya ikut tertidur lelap di sana.Nampak sebuah notifikasi panggilan telepon dari layar ponsel. Kinara mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa berat beberapa kali, dirinya merasa enggan untuk menerima panggilan telepon saat ini, namun ketika notifikasi panggilan itu menampakkan nama Arka, membuat Kinara penasaran untuk segera mengangkat panggilan teleponnya. Sangat jarang Arka untuk meneleponnya, terlebih lagi malam hari seperti ini."Halo." Kinara mengangkat telepon itu dengan nada enggan."Halo Ra! apa kamu sudah melihat pesanku!?" Arka terdengar panik dari seberang telepon, membuat Kinara terkejut, hingga menjauhkan ponselnya dari telinga."Pesan apa?" jawab Kinara enggan, seraya menutup mulut yang beberapa
Tawa itu seketika menghilang, menyisakan kesunyian yang begitu mencekam. Raut wajah panik menyoroti seorang pria yang tengah terdiam, masih duduk di atas tempat tidur pasiennya. Sorot mata tajam itu terasa begitu mengiris, menatap lekat lantai rumah sakit yang berada di bawah tubuhnya."Sayang, ikutlah denganku besok, aku hanya ingin Nathan melihat wajah Ayah kandungnya untuk yang terakhir kali. Tidak ada maksud lain," ucap Kinara. Dirinya berusaha meyakinkan sang Suami yang masih meragukan kesetiaannya.Arka seketika mendongak. Menatap Kinara dengan wajah tak percaya. Mulut itu terasa kaku untuk sesaat, sampai akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak dipercayai oleh semua orang. "Baiklah, besok kita pergi ke sana."Saking tidak percayanya, kedua Pengawal dan Risa saling bertukar pandang. Dengan tatapan penuh kebingungan.***Keesokan harinya. Setelah keluar dari rumah sakit. Arka dan Kinara segera berangkat menuju rumah sakit jiwa yang sebelumnya merawat Bayu. Mereka meninggalkan buah
Kinara berharap cemas, ketika mendengar suara langkah kaki beriringan yang semakin mendekati ruangannya. Tubuhnya terasa kaku untuk sekedar berdiri meminta pertolongan. Jahitan di bawah perut masih terasa begitu nyeri hingga menusuk tulang."Mbak Risa, tolong segera panggil Dokter. Arka pingsan," ucapnya dengan suara serak ketika mendapati seorang wanita yang ia kenal baru memasuki ruangan. Nampak seorang wanita cantik yang tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Dua pria bertubuh besar di belakangnya pun ikut panik. Mereka berlari keluar ruangan untuk mencari bantuan dari tenaga medis yang bertugas di sana.Selang beberapa menit, ketiga orang itu kembali dengan seorang Dokter pria yang tengah mengekor di belakang mereka."Tolong bantu baringkan Pasien di tempat tidur, untuk memudahkan saya dalam memeriksa," ujar sang Dokter dengan nada panik.Kedua Pengawal Arka segera membaringkan tubuh atasannya di atas tempat tidur rumah sakit di samping Kinara. Setelahnya mereka berd
Arka membelalak. Risa tidak tahu bagaimana perasaan atasannya saat ini. Dengan kekhawatiran bercampur rasa takut yang amat sangat, bagaimana mungkin dirinya akan pulang meninggalkan sang Istri dan buah hatinya untuk sekedar beristirahat di rumah."Apa ada masalah, Pak?" tanya Risa khawatir saat melihat raut kebingungan dari wajah atasannya."Bisakah kamu menutup mulut? Lebih baik kamu pergi jemput Nathan dan bawa kemari," ucap Arka seraya memegangi kepalanya.Pria tampan dengan kemeja putih yang terlihat lusuh kini melangkah pasti menuju salah satu ruangan rawat di rumah sakit itu.Risa masih membeku di tempat, menatap iba pada punggung lebar sang atasan yang semakin menghilang dari pandangan matanya. Sorot mata penat terlihat begitu jelas dari sana.Wanita yang kini telah mendapatkan kembali kesadarannya, terlentang di atas ranjang rumah sakit dengan membuang muka ketika sang Suami datang menghampiri. Rasa sesak masih terasa memenuhi dada. Setelah pernikahan pertamanya yang kandas ak
Tatapan sendu bercampur dengan kekhawatiran yang terpancar dari wajah lelah itu, membuat Dokter sedikit merasa iba, hingga mengizinkan Arka untuk menemani sang istri yang tengah berjuang antara hidup dan mati ketika berusaha melahirkan buah hati mereka di meja operasi.Dengan pakaian serba hijau dan jaring penutup kepala, Arka berdiri di samping meja operasi. Menatap nanar wajah yang kini tengah terpejam erat. Emosi yang baru saja meledak-ledak mengakibatkan tekanan darah meningkat hingga terjadi eklamsia pada Kinara. Kondisi darurat di mana ibu hamil kehilangan kesadaran hingga mengalami kejang.Memori Arka seketika berputar mundur, mengingat penjelasan sang Dokter mengenai kondisi kesehatan sang Istri yang kini terbaring lemah di meja operasi. Eklamsia bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi dalam waktu bersamaan.Arka berlutut menghadap kepala sang Istri, memegangi tangan Kinara yang tengah terlentang dengan erat."Kinara, bangunlah." Satu kalimat itu berulang kali ia ucapkan dengan l
"Tidak! Lepaskan aku! Aku membencimu!" Kinara berteriak kencang seraya memberontak. Ia tidak bisa mengendalikan diri akibat emosi yang membara dalam hati. Rasa nyeri akibat luka lama yang kembali terbuka mengalahkan rasa sakit pada kontraksi pertamanya. Masih terlintas jelas memori otaknya ketika mendapati Arka bermain api di belakang."Aku tidak akan melepaskanmu. Setelah ini aku janji akan menyelesaikan kesalah pahamanmu padaku."Meski kualahan dengan sang Istri yang terus meminta turun dari gendongannya, Arka tidak menyerah, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan miliknya. Dengan nafas menderu, ia merasa acuh tak acuh pada beberapa karyawan yang menatapnya terheran-heran.Salah satu sorot mata, nampaknya mampu menerka hal yang begitu membuat sang atasan merasa panik. Hingga ia memutuskan untuk mengekor dengan langkah cepat dari belakang."Pak Arka, apakah Mbak Kinara akan melahirkan?" Terdengar suara panik dari seorang wanita yang dengan c
Drrttt ... Drrttt ....Suara getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Arka dengan cepat menyambar ponsel yang tengah bergetar di atas meja kerjanya."Pak, Anda harus cepat pergi ke kantor, ada salah satu Klien yang meminta Anda untuk membahas masalah saham perusahaan secepatnya." Terdengar suara panik dari seorang pria dari seberang telepon.Arka dan Kinara terlihat saling bertukar pandang untuk sesaat."Baiklah, saya akan segera pergi ke sana," jawab Arka dengan perasaan gusar sebelum menutup sambungan telepon."Ada apa, Sayang?""Belakangan ini saham perusahaan tiba-tiba turun secara misterius. Banyak Investor yang meminta penjelasan. Aku harus segera pergi," jelas Arka dengan raut wajah panik. Pria itu dengan cepat bangkit dan menyambar kasar jas hitam yang tergantung di senderan meja kerjanya."Tapi kamu bahkan belum beristirahat semenit pun." Kinara menatap khawatir pada tubuh pria yang terlihat panik di depannya.Arka perlahan mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya memegangi
Kinara hanya tertawa kecil. Meski sang suami bersikap seperti itu, dirinya tetap merasa bersalah karena menambah beban pekerjaan untuk suaminya. "Apa kamu lelah? Setelah membersihkan kekacauan ini aku akan memijat punggungmu sebentar.""Tidak! Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biarkan Pelayan saja yang melakukan pekerjaan ini."Wajah wanita itu seketika berubah setelah persekian detik. Sorot mata tajam ia layangkan pada suaminya, karena salah menangkap maksud ucapan dari Arka. "Jadi maksudmu, lebih baik Pelayan saja yang memijat punggungmu? Lalu untuk apa menikahiku jika semua bisa dikerjakan oleh Pelayan?"Arka terdiam sejenak sembari mencerna ucapan ketus dari sang istri yang tidak bisa ia tangkap dengan baik. Sikap Kinara terlalu sensitif semenjak kehamilannya. Menjadikannya sering kali berseteru dengan sang suami hanya karena salah menangkap maksud ucapan lawan bicaranya. "Memangnya aku ada salah bicara?""Huh! Sudahlah, aku tidak ingin berbicara denganmu hari ini," ketus Kinara
"Kenapa diam? Ayo tertawa lagi!" ucap Arka lantang dengan gestur menantang.Dua pria berbadan kekar itu seketika terdiam membisu. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menampik ucapan sang atasan."Se-sebenarnya, Tuan, kami tidak memiliki saran apa pun untuk hal ini." ucap Tono dengan tubuh yang sedikit bergetar."Apa maksudmu?" Sorot mata tajam nan mengintimidasi mulai dilayangkan pada kedua pria di depannya."Begini, Tuan. Seorang Ibu hamil yang menginginkan sesuatu cenderung tidak bisa dibantah. Jika itu nekat dilakukan, hal itu akan menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri."Sorot mata tajam itu kini berfokus menatap arah lain. Otaknya mencoba berpikir keras. Menerjemahkan bahasa yang sedikit tidak ia mengerti."Singkatnya begin, Tuan. Jika Anda menentang keinginan Nyonya, bisa saja Nyonya pergi dari rumah meninggalkan Anda. Karena perasaan hati Ibu hamil cenderung lebih sensitif," jelas Toni ketika berhasil mengumpulkan keberanian beberapa detik yang lalu.Arka membelalak, "Hah? Se
Setelah melakukan ritualnya hingga dua kali di dalam kamar mandi, akhirnya sepasang kaki itu berjalan keluar mendekati sang Istri yang terlihat meringkuk di balik selimut.Air hangat masih terlihat mengucur melalui kaki jenjangnya. Handuk putih masih melilit tubuh bagian bawahnya. Namun lagi-lagi sang Istri merasa enggan untuk didekati."Sayang, bisakah kamu tidur di kamar lain untuk malam ini? Aku benar-benar tidak tahan dengan aroma tubuhmu."Belum juga kedua kaki itu menaiki ranjang. Aktivitas itu sudah dihentikan oleh penolakan sang Istri yang meminta Arka untuk tidur di tempat lain."Astaga, Sayang. Aku sudah mandi, bahkan ini sudah yang ke dua kali loh! Kamu mau aku bagaimana lagi?" pekik Arka frustasi. Kedua tangannya mengacak rambutnya kasar."Sayang, maafkan aku. Tapi sepertinya Anak kamu tidak menyukai aroma tubuh Papanya."Duar!Kalimat itu seolah membuat Arka bagaikan disambar petir di siang bolong. Matanya membelalak, ada perasaan tak percaya dengan apa yang baru saja mem