Raska meregangkan ototnya sejenak, sembari menatap dirinya di pantulan cermin. Hingga terpaku sejenak, pada bekas operasi. Kepergian adik pertama—sekaligus kesembuhannya, sudah bisa diperkiraakan memasuki setahun.
“Kalo kau ada, pastinya akan menjadi tempat curhat lagi.” Apapun masalah yang dihadapi Raska, pasti selalu menemui Dehan dan orang tuanya untuk mencari titik pencerahan—alias curhat. Meski yang lebih sering itu—Dehan.
Raska sadar, berbicara atau mengeluh tidak akan mengubah atau mengembalikan Dehan. Menoleh sejenak, saat pintu kamarnya terbuka. Baru ingat, Avina masih di sini. Kemudian melirik jam dinding, ternyata sudah hampir malam.
“Kenapa lagi?”
Yang ditanya hanya menggeleng, sembari memakai kaus oblong hitam dan jaket dengan warna senada yang tergeletak di ranjang.
Avina semakin penasaran, lebih lagi raut wajah Raska terlihat—antara kacau lagi atau pusing akan sesuatu. “Beneran?&r
Meski sudah tidak ngambek, tetap saja Avina masih sebal. Buktinya, mendadak tidak bersedekatan dengan Raska. Memilih enggan mempedulikan, tetapi juga tidak mau kalau Raska pergi—pulang."Ngambek lagi kah?" Raska asik dengan game di ponselnya sembari duduk di lantai, menyandarkan punggung tegapnya pada ranjang Avina.Avina sendiri masih berbaring memunggungi Raska. Terus diam, dan enggan menoleh. Hingga akhirnya, menoleh dan benar-benar berbalik—lebih mendekat pada Raska.Satu tangannya terulur, mulai menyentuh surai Raska—sesekali menepuk dan mengelusnya, dan berakhir merembet ke leher—melingkarinya.Raska sempat mengernyit dan terganggu, tetapi mulai membiarkan. Namun, tetap saja napas hangat terasa di tengkuk. Ya, meski tidak menoleh Raska yakin. Avina dekat sekali dengan tengkuk lehernya."Apa sih?" Raska mendadak sebal, merasa Avina sengaja memancingnya
Avina masih berbaring menyamping, satu tangannya terus terulur untuk memgelus sesekali menyisir surai Raska. Yang kembali terlelap dalam posisi telungkup.Terus menatap lekat, bahkan sudut bibirnya terangkat, setelah melihat Raska tenang. Meski begitu, berharap benar-benar bisa melenyapkam tremor—trauma. Ya, Avina tidak suka melihat Raska kacau lagi.Seketika terusik, saat Raska berganti posisi menyamping dan meringkuk ke arahnya. Lambat laun, kelopak matanya terbuka, memperlihatkan manik hitam yang sudah menyorot seperti biasa—datar, didominasi kemalasan."Sudah sore, aku pulang ya? Oh iya, besok kuliah?" Avina sengaja bertanya, setidaknya bisa lebih awal tahu dan meminta izin besok.Raska masih belum menjawab, kini duduk termenung di tepi ranjang. Sesekali mengusap kasar wajah. "Kuliah, sehari nggak masuk sudah cukup kok."Avina lega mendengarnya, kembali menyisir surai Raska
Raska terdiam sejenak dalam mobil, tepatnya memikirkan soal trauma mendadak. Ah iya, Raska ingin semua itu lenyap.Meskipun sudah tidak pingsan mendadak, tetap saja suka gemetar dan sulit berkata—intinya bersikap biasa berhadapan dengan David."Betah banget di garasi?"Raska melirik, kebetulan kaca mobil masih terbuka. Yang berceletuk tadi Risky, terlihat berpakaian rapi. Entah akan pergi ke mana, yang jelas Raska malas bertanya."Iseng."Risky mengerutkan kening. "Isengmu aneh." Kemudian membuka pintu mobil dan menarik Raska keluar, habisnya kalau tidak tetap diam.Raska baru sadar, mobil yang dipakai milik Risky."Tenangkan diri dan lawan rasa takutmu. Tapi, jangan berlebihan dan dipaksa. Intinya perlahan." Setelah berkata begitu, Risky pergi.Raska mendengkus kesal, sembari melangkah masuk. Melemparkan diri ke sofa, mendadak pusin
Lagi-lagi Avina sendirian, tepat di jam satu siang. Perkuliahannya usai, beruntung tidak ada tugas tambahan atau kerja kelompok apapun yang mengharuskannya pulang telat.Raska tidak ada kelas, seperti biasa part time. Avina tidak akan meminta dijemput, karena tidak mau mengganggu pekerjaan sekaligus merepotkan. Lagi pula, sudah keseringan pulang pergi sendiri.Entah kenapa, dalam sekejap keberanian acara mandirinya—lenyap, dan itu mendadak. Bisa dibilang, sudah seminggu Avina merasa ada yang mengamati intens. Akan tetapi, ketika menoleh tidak menangkap gelagat aneh siapa pun."Jangan berpikir negatif dulu!" desisnya, terus menenangkan bahwa tidak ada apapun atau bahaya apapun. Ah iya, Avina juga belum jujur soal merinding yang dirasakannya bila sendiri, pada Raska.Avina ingin memastikan sendiri dulu, kalau memang benar ada yang iseng padanya. "Susah juga, mencari taunya!"Arloji yan
Sesuai janji kemarin, selama di kampus Raska selalu berada bersama Avina. Bila kelas dimulai, meninggalkan Avina sejenak bersama Reza dan Nabila. Ya, Raska menceritakan pada mereka berdua, untuk jaga-jaga.Kini Raska melangkah cepat keluar dari kelas, menuju kantin. Ya, mereka bertiga ada di sana. Ketika Avina ada kelas, Raska juga meminta mereka berdua untuk ikut sekadar menemani."Sangat merepotkan ya?" celetuk Avina.Keberadaan Reza dan Nabila di sini, demi menemani selagi Raska tidak ada. Di satu sisi, Avina merasa seperti pengganggu."Nggak kok." Nabila agak terkejut, jujur tidak pernah menganggap begitu, yakin sekali Reza juga sama.Avina senang mendengarnya, di satu sisi agak menyesal karena tidak jujur akan masalah. Ya, saat itu memikirkan kalau tidak dijelaskan, tidak akan merepotkan orang lain.Tidak disangka, justru sebaliknya. Avina benar-benar merasa bersalah.
Di sebuah klub malam, selalu ramai dikunjungi baik remaja yang masih labil, tetapi kelakuannya melebihi orang dewasa. Hingga, yang dewasa atau hampir menua. Namun, bukan itu yang menjadi pusatnya.Melainkan, lelaki yang pernah sekali dekat. Dalam arti biasa, guna menghindar dari kerumunan kaum hawa di kampus tidak lain Denish. Nyatanya bersama seseorang entah siapa, yang jelas membicarakan hal penting sekali.Wajahnya tidak terlalu jelas, efek tudung kepala yang hampir menutupi seluruh wajahnya, yang pasti lelaki."Selesai di sini aja." Denish berkata setelah menenggak minuman yang dipesannya, dan melangkah pergi ketika mendapati satu wanita yang ingin mendekati—menggodanya."Kau nggak seru!" celetuknya dengan sengaja.Denish berdecih dan melirik sengit. "Itu urusanmu! Jadi, lakukan sendiri!"Orang tadi hanya terkekeh, lambat laun membiarkan Denish pergi.
"Kok sendiri?" Avera heran."Tidur, efek insomnia jadinya terbalik jam tidurnya." Avina memang baru tahu kebiasaan Raska, setelah menjalin hubungan serius. Selalu terkena insomnia.Avera mengangguk paham, hingga penasaran akan sesuatu. "Sudah nggak, ehm ... kacau atau panik gitu?" Jujur, tidak berharap Avina kembali kacau seperti masalah dulu."Nggak, cuma kaya masih takut dikit aja." Avina merasa bersalah, sudah merepotkan semuanya. "Tapi, aku mencoba untuk mengabaikan. Bukan berarti, enggan menyelesaikan dan malah nyuruh orang lain ....""Ibu paham, kok." Avera menepuk pelan lambat laun menyisir sejenak surai anak bungsunya ini.Avina menghamburkan diri pada Avera. "Aku berharap, cepat selesai dan nggak ada lagi masalah, Bu."Avera hanya mendengarkan."Tapi, kenapa selalu ada aja gitu ya?" Avina bingung, tidak berulah seketika bermasalah sampai diuntit.
Memohon, kesannya terlalu lemah di matanya. Seakan sadar diri lebih parah, hidup dan apapun telah dikendalikan oleh orang lain, tidak akan pernah bisa melawan. Ataupun membantah, kenyataannya harus dibalikkan situasi di mana dirinya yang harusnya berani."Hee, jadi kau benar-benar membantah ya?" Kakinya melangkah, mendekati Denish kini meringkuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Sakit 'kan?"Denish mendadak bisu, tepatnya sih suaranya tercekat. Bahkan, sulit bernapas, sesekali meringis. Ini efek alat penyiksa yang ditanam paksa oleh saudara tiri gila dan biadab sekali."Menurut atau membantah?" Kini berjongkok, dan menepuk pipi Denish. "Cepat jawab! Atau kau memang ingin mati tersiksa, sampai jantungmu berhenti berdetak kah?"Denish muak akan dirinya sendiri, lemah sekali di mata saudara tiri gilanya ini. "Hen-hentikan semuanya!" Hingga akhirnya, berhasil mengeluarkan suara. "Kumo