"Aku tidak bisa menjanjikan apapun, Rick. Kupikir hubungan kita tidak akan semudah itu dijalin kembali," ucapku menyampaikan keputusan setelah berpikir beberapa saat.Memberi Erick kesempatan kedua bukanlah hal yang buruk. Namun, tidak segampang itu bagiku untuk kembali membuka diri padanya, setelah apa yang kami alami. "Apakah sama sekali tidak ada harapan, Love?" ratap Erick dengan sorot mata sendu."Bukan begitu ...." "Apakah kau tidak kasihan dengan Ricky? Dia masih kecil, butuh sosok seorang ayah, dan aku ayah kandungnya, Love. Tolong jangan kamu pungkiri itu," katanya mengiba, berharap aku melunak. Lagi-lagi Erick si pintar bicara membuatku bimbang. "Aku tidak memungkirinya, Rick. Fakta bahwa kamu ayah biologis Ricky tidak akan berubah. Tapi untukku menjalin hubungan lagi denganmu ... aku tidak tahu," paparku tak bisa menjanjikan lebih.Erick terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Memilih kata-kata untuk meyakinkanku? "Apakah ini semua karena kamu sudah menyukai pria lain? Ka
"Kak, itu tadi yang namanya Bang Erick? Serius???" pekik Selvi heboh. Gadis itu mencengkeram lenganku erat. Dia bertanya dengan begitu menggebu-gebu, seolah baru saja bertemu artis idolanya. "Iya, Vi. Kenapa memangnya? Bisa tolong lepasin Kakak nggak?" Aku menggeliat. Keras sekali tangannya mencengkeram lenganku, sampai sakit rasanya. Anak Mak Berta ini memang mirip mamaknya, bertenaga dan selalu totalitas. "Ups, sorry, Kak! Hehe," kekehnya seraya melepaskanku. "Nggak nyangka lho, ternyata mantan suami Kak Velo ganteng banget." "Namanya juga cowok, Sel, masa cantik? Bisa-bisa elo kalah saing," sahut mamaknya senewen. "Hey, Mamak! Yang ini gantengnya tulen, paripurna," sungut Selvi kepada ibunya. "Pantas saja kalau waktu muda banyak cewek yang tergila-gila padanya. Eh, sekarang Bang Erick masih muda ding, dan masih ganteng. Hihi." Aku memang sudah mengajak Erick kembali ke rusun untuk bertemu anaknya. Kebetulan saat itu Ricky sedang bersama Bu Berta. Huft, syukurlah! Nggak kebaya
Bu Berta adalah satu di antara orang-orang penting dalam hidupku. Ia penyelamatku di puncak keputusasaan. Meskipun penampilan dan suaranya terkesan garang, ia sosok yang penyayang. Kepribadiannya yang terbuka membuatku merasa nyaman dan tidak ragu untuk mencarinya saat mengalami kesulitan. Namun pernah ada satu hal yang membuatku sungkan pada wanita itu, yaitu anak lelakinya. Namanya Mario, biasa dipanggil Rio. Ia anak sulung Bu Berta, sekaligus abang kandung Selvi. Pria ini bekerja dan menetap di Bandung. Kadang-kadang ia pulang ke Jakarta untuk menemui ibu dan adiknya dan menginap satu atau dua malam di rusun. "Tak usahlah kau sering-sering ke mari, yang penting hepeng-nya (uang), Bang." Begitu Bu Berta berpesan pada anaknya itu. Jadi Rio biasanya pulang ke Jakarta dua atau tiga bulan sekali. Kali pertama aku berkenalan dengannya saat aku masih opname di rumah sakit. Beberapa hari setelah aku sadar, namun masih dirawat inap, secara kebetulan Rio datang ke Jakarta. Pria itu ikut d
Oke, untuk saat ini lupakan dulu tentang Rio, karena aku tahu aku tidak perlu khawatir lagi kalau-kalau Bu Berta akan memaksa aku menerima anak lelakinya itu. Ia sangat menghargai perasaan dan keputusanku, dan tidak ingin aku merasa berhutang budi. Ada satu pria lain yang akhir-akhir ini membuatku resah. Entah sejak kapan perasaan itu muncul, yang jelas sekarang aku jadi semakin sering memikirkannya. Bukan Erick, tapi si tetangga sebelah yang membuatku terbiasa dan nyaman dengan kehadirannya. Aku juga tidak tahu sejak kapan Mas Vincent menyukaiku, tapi selama ini dia hanya menunjukkan perhatian dan kebaikan yang menurutku wajar. Ia malah justru tampak lebih tertarik pada anakku, ketimbang aku. "Mama, mama, mama!!" Suatu hari Ricky begitu girang memanggilku, dengan membawa semangkuk kecil spaghetti carbonara yang dia peroleh dari Akel Vincent. Dengan senyuman lebar pria itu menyusul Ricky sembari membawa spaghetti dalam piring yang lebih besar. "Wah, jadi ngerepotin, Mas. Terima k
"Hai! Mas Vincent-ku mana?" Seorang wanita muda dan cantik datang bertamu tanpa diundang. Pertanyaan mengejutkan itu sukses membuatku syok. Aku memandang wanita di depanku itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia bertubuh langsing, tinggi semampai dengan lekuk tubuh bagus. Wanginya khas perempuan berduit. Penampilannya seperti artis ibu kota saja. Cantik sih, cuma gayanya nyentrik. Blus berwarna oranye yang cukup menyala seperti jeruk mandarin, kuteks warna-warni di kukunya, rambut merah kecoklatan dengan highlight pirang, bibir berlipstik warna merah menantang, dan sunglasses yang setia nongkrong di batang hidungnya meskipun ia sudah berada di area dalam rusun. 'Aku saja yang kerja sebagai penyanyi kafe saja tidak pernah berdandan seheboh itu,' batinku jengah. Sebal saja aku melihatnya. "Maaf ...," ujarku berniat bertanya, tetapi perempuan nyentrik itu tak berkeinginan untuk pergi, malahan sikapnya semakin berani. "Mas Vincent sayaaang," serunya memotong kalimatku yang bahkan
Sejak malam itu Mas Vincent tidak pernah menjemputku lagi, tetapi ia masih tetap memastikan aku tidak pulang sendirian, entah melalui telepon atau chat. Lalu beberapa hari kemudian dia berhenti bertanya karena aku menanggapinya dengan dingin. Erick sendiri kala itu cuma sempat menjemputku selama tiga hari, karena dia sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Jadi aku pulang sama kang ojol. Kayaknya aku kualat karena bersikap jahat sama Akel-nya Ricky. Mas Vincent masih tampak ramah dan berupaya menyapaku, tapi aku memilih tidak menanggapinya. Biasanya saat tetanggaku itu mengantarkan Ricky ke rumah, sehabis bermain di 203, aku memilih masuk ke kamar tidur atau kamar mandi. Pokoknya aku nggak bertemu dan nggak perlu berurusan dengannya. Kupikir aku akan lebih lega setelah melakukan itu, tapi kenyataannya aku malah jadi uring-uringan dan nggak jelas sendiri. "Kakak! Itu kacangnya gosong," seru Selvi saat kami sedang membuat kacang di 201. "Aduh, maaf!" pekikku kaget. Aku bergegas mengambi
"Tok tok tok."Terdengar suara ketukan di pintuku, lalu menyusul suara seseorang berseru, "Velove, buka pintu dong!" Dari suaranya aku tahu siapa yang mengetuk pintuku. Si jeruk mandarin datang lagi. Penampilannya sama seperti sebelumnya, hanya saja sekarang dia berubah jadi buah sirsak. Iya, beneran buah sirsak. Dress yang ia kenakan tidak lagi berwarna orange menyala, melainkan warna putih dengan corak titik-titik hitam serupa biji sirsak. Hanya saja tidak ada gambar sirsak di sana. Untunglah!Mungkin perempuan ini punya cita-cita jadi duta buah-buahan, atau botanical princess, makanya penampilannya kebuah-buahan begitu.. "Hai, Velove. Boleh aku masuk?" katanya ceria, setelah aku membukakan pintu untuknya. Hmm, ada peningkatan lain nih, aku tidak lagi dipanggil 'tante'. Dia juga tidak mengenakan sunglasses seperti sebelumnya. Matanya yang indah jadi terlihat jelas. "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanyaku ragu. Wanita cantik satu ini meninggalkan kesan dan perasaan canggung di hatiku. L
"Velove, ditungguin tuh sama Pierce Brosnan di dekat pintu, seperti biasa...!" seru salah seorang teman penyanyi di kafe.Perkataan Mbak Sasha yang terkesan sambil lalu itu membuatku tersenyum. "Kok Pierce Brosnan sih, Mbak?" tanyaku sambil nyengir kuda."Ya dong, tua-tua masih ganteng kan Pierce Brosnan itu. James Bond gitu loh," jawabnya kalem. Wanita ini memang penggemar berat film 007, jadi kalau Mas Vincent disamakan dengan aktor idolanya itu berarti ia menyukainya. "Temanku kan belum tua, Mbak," kilahku."Bisa dibayangin kalau sudah tua Mas James Bond-mu ini pasti masih ganteng," tambah Mbak Sasha makin antusias."Tom Cruise saja, Sha, biar Mission Impossible," sahut Mbak Jeje tidak mau kalah. "Mbak Je, Mbak Sasha kan pilih Randy Pangalila," kekehku menggoda teman penyanyiku itu yang langsung tersenyum lebar. Ia memang istri dari Mas Randy, sang keyboardis Kafe Edelweis. Tentu saja nama belakangnya bukan Pangalila. "Ada apa ini panggil-panggil nama saya? Sudah kangen ya?" Demi
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni