"Gimana nih?" satu teman Selly menarik rok seragam Selly merasakan panik, setelah melakukan aba-aba mereka bertiga pergi dari halte dan meninggalkan Kiara yang masih berada dipinggir jalan.
"Ya Ampun, kalau gue udah di surga tapi kok masih denger suara klakson mobil ya?" Kiara membatin sembari memejamkan mata setelah pasrah akan kedatangan mobil yang tadi melaju ke arahnya, perlahan mata bulat itu terbuka dan Kiara menyadari bahwa dia masih berada di bumi.
Saat matanya menoleh ke kiri dan mencari dimana mobil tadi berada gadis itu tidak menemukannya, dia berdiri dan menoleh ke belakang. Bibirnya terbuka dan matanya melotot menyadari mobil yang tadi, membelok ke arah lain dan baru saja menabrak pembatas jalan, ada begitu banyak orang disana. Tidak hanya para pejalan kaki, beberapa mobil yang sedang melintas juga ikut menyaksikan aksi kecelakaan itu.
Merasa penasaran dengan keadaan mobil dan pemiliknya, Kiara melangkah dengan kaki pincang karena merasakan perih dan linu di lututnya yang terbentur aspal jalan. Semakin mendekat kepada mobil itu hingga lengan kanannya ditarik paksa oleh seseorang, Kiara mendongak untuk sekedar melihat siapa yang menariknya.
"L-lepas!" rontaan kecil Kiara seolah hanya kerikil yang mengganggu jalan orang itu, tidak digubris dan tetap membawa Kiara masuk ke dalam mobil.
"Lepas Om, tolong!"
Tidak ada yang membantu Kiara untuk terlepas dari orang itu, semua orang yang tadi berada disana saling berhambur pergi.
DUG DUG DUG
Kiara terus mencoba memukul kaca mobil, berharap akan ada orang yang berbaik hati menolong dirinya. Dan dia baru menyadari jika dia bersama seorang pria dewasa didalam mobil yang tadi hampir menabraknya. Perkiraan Kiara salah, ternyata pengemudi dan mobil itu masih baik-baik saja. Hanya bagian depan mobil yang sedikit ringsek.
"Tolooooong!"
"Berisik!" suara besar dan begitu maskulin akhirnya masuk ke gendang telinga Kiara, gadis itu menoleh ke arah orang itu yang masih terus fokus menyetir.
Entah kemana mereka pergi, sedangkan langit jingga sudah menampakkan diri. Suara Kiara sudah serak dan dia lelah karena terus berteriak meminta tolong.
"Tolong dong Om lepasin , aku minta maaf karena mobilnya jadi nabrak. Tapi tadi itu aku didorong sama temen aku," kedua tangan Kiara saling menaut seolah meminta ampun. Jujur saja dia merasa was-was dengan orang asing itu.
"Orang gila kaya kamu itu pantes diberi pelajaran, aksi kamu tadi membahayakan."
"Apa? Gila kata Om! Aku itu didorong sama temen aku terus jatuh kebawah."
"Dimana rumah kamu?"
Kiara melotot mendengar pertanyaan orang itu, dia pikir kalau dia akan diculik atau dibawa ke kantor polisi.
"Nggak usah Om, aku bisa pulang sendiri," Kiara cengengesan disela-sela ucapannya.
"Nggak usah ge er, aku cuma pengen tahu dimana alamat rumah kamu."
Kiara mendengus namun tetap memberitahu dimana tempat tinggalnya, sekian lama mereka melaju membelah jalanan sore akhirnya sampai juga didepan rumah sederhana milik Kiara.
BRAK
Pintu mobil disebelah Kiara tertutup bersama keluarnya orang tadi yang kini tengah membuka pintu mobil Kiara, perlakuan yang begitu baik mengarah kepada Kiara sangat asing gadis itu rasakan. Bahkan Angkasa selaku kekasih dirinya belum pernah sekalipun menciptakan hal berdua atau bersikap lembut kepadanya.
"Eh."
Tubuh sintal Kiara diangkat paksa oleh orang itu, Kiara meronta untuk kesekian kalinya. Di gendong ala bride style dan dada bidang orang itu yang nampak jelas didepan wajah Kiara meskipun tertutup oleh sebuah kemeja.
"Sayang, kamu kenapa?" perempuan parubaya yang menyadari sebuah mobil terparkir dipelataran rumahnya langsung mengintip dari dalam, yang begitu membuatnya tercengang karena yang keluar adalah seorang pria dewasa dan kini tengah menggendong anaknya.
"Maaf Bu, putri anda tadi mengalami kecelakaan kecil. Apakah saya lancang mengantarnya?" orang itu menautkan alisnya merasa bingung dengan ekspresi si perempuan setengah tua yang terus melongo ke arahnya.
"Oh sama sekali tidak, mari masuk!"
Masih membawa Kiara dalam gendongannya dan mendudukkan gadis itu diatas sofa begitu sampai di ruang tamu. Perempuan parubaya tadi pergi kedalam untuk sekedar membuat minuman kepada tamunya.
"Om, ngapain si sok baik. Pulang!" Kiara menunjuk jari-jarinya mengisyaratkan agar pria itu keluar dari rumahnya.
"Rio Merni, aku bukan Om-om!"
Kiara mencebikkan bibirnya merasa kalimat pengusirannya tidak digubris.
"Jangan gitu dong Kiara, dia 'kan udah baik nolongin kamu."
Satu cangkir teh panas tersaji dengan sempurna didepan pria tadi. Bibirnya melengkung dan sempat mengucap terimakasih kepada ibu Kiara.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak saya?"
Menggeser posisi duduknya, Kiara memposisikan kakinya agar tidak menyenggol meja didepannya. Semua gerak Kiara menjadi perhatian ibunya, perempuan itu histeris melihat keadaan lutut anaknya yang dipenuhi noda darah yang sudah mengering segera dia kembali masuk kedalam.
Tidak butuh waktu yang lama tangan keriput itu sudah menggenggam kotak p3k, Kiara mengernyit ketika ibunya duduk dan menarik kakinya agar menumpu pada paha perempuan parubaya itu.
"Saya juga tidak tahu persis Bu, tetapi saat mobil saya tengah melintas didepan halte anak Ibu sudah terjongkok dipinggir jalan. Untung saja saya masih waras dan tidak menabraknya."
Pria itu melirik ke arah Kiara setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, gadis itu sendiri tidak terlalu mendengar karena terlalu fokus merasakan perih pada lututnya.
"Terimakasih sekali ya, mungkin kalau bukan kamu anak saya pasti sudah celaka."
"Oh itu tidak masalah, mobil saya hanya ringsek sedikit."
"Kalau begitu saya akan menggantinya."
"Tidak perlu!" Ibu Kiara tersenyum maklum kenapa niat baiknya ditolak, pria yang berada dirumahnya itu terlihat sangat kaya dan berwibawa.
"Kalau begitu saya permisi pulang dulu."
"Sekali lagi saya minta maaf dan terimakasih ya karena sudah nolongin anak saya."
Kalimat tulus itu hanya dibalas anggukan dan senyum sopan dari si pria, setelah berdiri dia menyempatkan untuk menoleh sekilas ke arah Kiara yang kebetulan sedang menatapnya.
"Makasih."
Ucapan itu sungguh tidak terdengar tulus, bahkan Kiara si pengucap saja tidak menatap pria itu ketika mengucapkannya.
"Lain kali lebih berhati-hati lagi ya."
Setelah itu kakinya melangkah keluar dan menghampiri mobilnya, Kiara berusaha berdiri untuk masuk kedalam kamar.
"Jangan ketus gitu dong Kiara, kalau ada orang yang baik ya bilang makasihnya yang tulus."
"Iya Bu."
"Mau dibantuin nggak?" Kiara menggeleng merespon tawaran ibunya yang mau membantu dia berjalan, merasa masih bisa untuk sampai kekamar.
******
Pedih dan hampa di setiap hari-hari gadis itu, tidak pernah ada pesan manis yang masuk kedalam ponselnya. Angkasa memang laki-laki yang cuek, tetapi apakah dia pantas berlaku dingin kepada kekasihnya sendiri?
"Mau gue mati sekalipun tetep dia nggak bakal peduli."
Gadis itu memejamkan mata, mengingat setiap kejadian yang membuat hatinya berbunga. Disisi sikap dingin Angkasa masih ada sedikit hal indah yang Kiara ciptakan sendiri, saat dimana debaran hatinya yang menjadi ketika gadis itu menatap Angkasa. Meski sekalipun laki-laki itu hanya membalas dengan lirikan sekilas.
BERSAMBUNG -
KLUNTINGKiara mengalihkan pandangannya begitu mendengar pesan yang masuk pada ponselnya, tangan mungilnya meraih benda pipih itu. Begitu melihat siapa yang telah mengirim pesan, gadis itu menekan layar ponsel itu untuk menyambungkan panggilan.TUUUT TUUUT"Iya hallo Ra?""Gue mau cerita nih.""Cerita apaan?" Kiara memindahkan ponsel yang berada ditelinga kanan menuju telinga kiri, jari telunjuknya mengelus pelan lutut yang tadi terluka."Lo pasti nggak percaya kalau tadi gue habis didorong sama Selly sampai gue jatuh ke jalan raya.""Kok bisa si?""Gue kan tadi lagi nuggu bus dihalte, tiba-tiba Selly dan genknya nyamperin gue dan sempet ngeledek. Setelah itu gue didorong dong.""What? Parah si tu anak, tapi lo nggak papa, kan?""Nggak papa si, cuma lecet doang.
Lalu lalang para siswa yang tengah beraktifitas terpatri jelas dinetra Kiara, gadis itu menatap kosong lapangan basket yang tidak berpenghuni. Jam istirahat yang biasanya ramai sorak gembira para pendukung tim basket kesayangan mereka kini tidak ada, mungkin para pemain sedang tidak bergairah untuk melakukan aktifitas seperti biasa.Dari arah barat Sari menenteng beberapa makanan ringan dan juga air mineral, gadis itu terus melangkah menghampiri Kiara."Nih pesenan lo," di sodorkannya setengah bawaan Sari tadi."Makasih.""Lagian lo ngapain si pakai acara mogok ke kantin?""Gue tu pengen nungguin Angkasa main basket.""Hari ini libur," Sari memasukkan beberapa makanan ke mulutnya."Siapa yang libur?""Anak-anak basket pada libur main.""Emangnya kenapa?"
"Bukan siapa-siapa kok mukulin kamu?" Kiara terus merayu Angkasa untuk dia gali informasi sebenarnya.TIN TIN"Woi Angkasa!"Kiara dan Angkasa sama-sama menoleh keluar, ada delapan laki-laki yang bertengger di motor mereka masing-masing."Bentar gue ganti baju dulu.""Oke," seruan tadi memutus percakapan singkat Angkasa dan teman-temannya. Laki-laki itu masuk kedalam sebuah ruangan yang Kiara yakini adalah kamar laki-laki itu.Tidak berselang lama Angkasa keluar dan sudah berganti pakaian, Kiara berdiri menghampiri kekasihnya. Mencekal lengan Angkasa yang sudah berhasil keluar rumah."Tunggu!"Angkasa berhenti dan menoleh ke arah Kiara, gadis itu memperhatikan pipi Angkasa untuk mengecek luka tadi."Memarnya belum ilang, kamu ma
"Kakak mau kemana?"Gerak Kiara yang tengah menyiapkan piring untuk makan malam terhenti ketika melihat Intan yang akan pergi, yang ditanya sama sekali tidak menggubris. Terus melangkah dan sedikit berlari ketika sudah berada dijalan."Kakak kamu kemana?""Nggak tahu Bu, langsung pergi.""Yaudah kita makan dulu aja," Kiara menurut dan memakan dengan nikmat."Oh ya Bu, tadi sore kak Intan nanyain sertifikat rumah ini lo.""Kamu kasih tahu?"Kiara menggeleng, "kan aku nggak tahu dimana ibu naruhnya.""Emang buat apa si Bu?""Pokoknya kalau Intan nanya lagi, kamu bilang nggak tahu ya!""Kan emang nggak tahu Bu."******Ada bermacam makanan tersaji dengan lezat di sebuah meja makan, sang p
"Dor!"Sari menggertak sahabatnya yang tengah melamun, Kiara mengelus dadanya menetralkan detak jantung yang tidak teratur."Nggak usah ngagetin bisa nggak si?""Nggak bisa! Ngapain si lo melongo ditengah-tengah keramaian?""Angkasa-""Nggak nongol lagi?"Kiara menatap jengah Sari yang memutus perkataannya."Yaudah si, dibawa happy aja.""Lo nggak ngerti Sar, karena lo nggak jadi gue.""Kalau gue jadi lo, udah gue putusin tuh si Angkasa. Cakep si iya, tapi nggak jelas.""Iya, yang jelas emang cuma lo doang!"Entah marah atau tidak, tetapi Kiara langsung pergi setelah mengucapkan hal itu. Sari menatap kepergian sahabatnya dengan ekspresi tidak terkendali, baru kali ini Kiara membantah perkataannya.
"Jadi?"Kiara menaruh sendok pada piring yang telah kosong, menyeruput lemon tea yang masih penuh."Dia itu om-om yang gue ceritain.""Yang hampir nabrak lo?""Iya.""Ya ampun Ra, dia mah keren banget. Angkasa lewat."Kiara memutar bola matanya bosan, Sari terus saja membandingkan dengan Angkasa."Udah deh, pulang yuk!""Bentar, gue bayar dulu."SREKKursi yang tergeser dengan semangat itu sampai berbunyi, Kiara menghabiskan minumannya sebelun keluar restoran. Sari sudah selesai membayar dan menunggu Kiara untuk keluar bersama."Makasih ya, kenyang deh ni perut.""Santai aja kali.""Eh tunggu deh Ra," Sari menghentikan lengan Kiara, membuat gadis
Tidak ada yang bisa mengobati rasa rindu Kiara terhadap Angkasa, foto maupun kenangan manis yang bisa dia lihat dengan jelas. Hanya bayangan kejadian yang pernah dia alami bersama Angkasa, sangat sedikit dan itu hampir mengelupas disebagian ingatan Kiara.Gadis itu sudah bersiap untuk mengunjungi rumah Angkasa, sedikit berdandan mengenakan dress sederhana. Wajahnya terpoles bedak tipis dan lipgloss orange, begitu pas diwajah mungil Kiara.Melangkah dengan penuh pengharapan jika kekasihnya berada dirumah dengan keadaan baik-baik saja, mulai memasuki wilayah rumah yang dia tuju. Terus melangkah dengan mantap, sampai tiba tubuhnya didepan pagar kayu. Sepi dan tertutup, Kiara mengamati beberapa tanaman yang sudah mulai kering. Seperti tidak disiram, melongok kedalam kaca yang tidak begitu jelas karena letaknya dari pagar rumah lumayan jauh."Nyari siapa Dek?"Ibu-ibu berdaster
Hari senin, hari yang begitu menjengkelkan bagi seluruh siswa. Upacara pagi menjadi kegiatan rutin yang harus mereka hadiri, Kiara memang bukan murid teladan dan pintar. Prestasinya ditingkat menengah, tidak terlalu bodoh dan juga tidak diunggulkan. Gadis itu melakukan kegiatan sekolah tanpa beban, kalaupun harus mengikuti upacara ya tidak begitu menjadi masalah. Itu tugasnya sebagai seorang murid, berbeda dengan Sari yang terus menggerutu karena kepanasan.Kiara menoleh ke arah Sari yang wajahnya sudah memerah, gadis itu terkekeh."Dasar vampire, nggak bisa kena matahari.""Nggak usah ngeledek deh, kulit gue emang gampang merah."Percakapan singkat itu berakhir, waktu upacara hampir selesai karena petugas sudah sampai di acara berdoa.-------Kiara menyempatkan diri untuk mampir dikelas Angkasa, gadis itu masuk dan m
Drama gratis yang Intan tonton langsung didepannya, terasa sangat menegangkan. Apalagi karena salah satu dari tokohnya adalah pria yang dia harapkan. Sempat kaget ketika Rio terkapar karena ulah seorang bocah SMA, alasannya sendiri membuat perempuan itu tersenyum kecut. Sekarang pertanyaan dari Rio untuk Kiara juga akan menentukan hidupnya bersama Andro."Aku," begitu berat Kiara memilih, apalagi Angkasa sama sekali tidak menatap kepadanya. Dia menjadi ragu apakah laki-laki itu barusaja berkelahi untuk merebutkannya.Angkasa melepaskan tangan gadis itu, menatap sekilas sebelum meraih langkah pergi. Kiara tahu, laki-laki itu bahkan tidak sudi mendengar apa yang akan dia katakan."Memilih Angkasa!"DEG DEG DEGMemang ini yang seharusnya dia harapkan, Angkasa pergi karena tidak sanggup jika gadisnya akan memilih Rio. Tapi, dia yakin telinganya masih normal untuk mencerna pilihan Kiara. Langkahnya terpaksa dia hentikan untuk mem
"Nggak tahu."Dari semua kata kenapa Angkasa hanya mengucap begitu, padahal Sari sudah gemas sedari tadi demi mendengar jawabannya."Lo nggak perlu marah sama Kiara," matanya mengikuti arah pandang Angkasa."Ya gue nggak tahu lo marah karena apa, Kiara sempet bilang kalau lo udah nggak mau ketemu sama dia."Angkasa masih tidak bergeming."Rumah dia dijual sama kakaknya sendiri, dan yang gue tahu. Om Rio itu yang nolongin dia, numpangin dia selama ini. Gue tahu banget Sa, kalau Kiara nggak mungkin selingkuh dari lo!""Lo nggak tahu sejauh apa?" mata elangnya beralih meremehkan Sari."Dia nggak suka sama kakak tiri lo itu, gue berani jamin."TAP TAP TAPDerap langkah lain dari kedua orang itu, Sari menoleh dan mendapati Rio berjalan menghampiri Angkasa."Cih," bibir pria itu berdecih.Angkasa membalikkan badan tingginya, menatap Rio dengan nyalang.Sari mundur beberapa langkah untuk men
"Boleh bicara sebentar nggak Kak?" Kiara berucap setelah acara makan malam itu selesai."Boleh, mau ngomong apa?"Kepala gadis itu menoleh untuk memastikan kalau ibunya sudah masuk kedalam kamar."Kak Andro tahu dimana kak Intan?"Laki-laki yang ditanya menggeleng, memang selama ini dia tidak tahu."Terus Kakak nggak berusaha nyari?""Percuma Ra, kakak kamu udah nggak mau sama aku."Sorot mata yang tajam itu kian meredup, betapa kesepiannya laki-laki itu."Kalau Kak Andro emang masih cinta sama kak Intan, ikut aku kak! aku tahu dimana kak Intan sekarang."Ucapan Kiara barusan membuat mata hitam Andro terbuka, seolah mendapat harapan kembali."Dimana?""Besok kita kesana!" seru Kiara penuh antusias.Andro menanggapi dengan kekehan atas kegemasan tingkah adiknya."Yaudah, sekarang kamu istirahat. Besok kita kesana.""Kak Andro juga istirahat ya?""Iya."Malam han
PLAKTamparan keras jatuh dipipi Rio, laki-laki itu sendiri tidak keberatan dengan perih yang menjalar sampai telinganya. Tapi, air mata yang terus menggenang diwajah cantik Kiara seolah meredam akan rasa sakitnya sendiri.Kiara tidak sadar jika tangannya telah melukai orang yang selama ini menolong dirinya, pernyataan cinta tadi cukup membuatnya sesak. Laki-laki yang menjadi saudara tiri kekasihnya."Aku yang cinta sama kamu, bukan Angkasa!"Kiara menggeleng, beraninya Rio mengucapkan kata-kata itu."Terimakasih udah mau numpangin aku sama ibu di apartemen ini."Kiara menarik satu koper dan tas milik ibunya, melangkah pergi meninggalkan Rio yang tengah menangis. Laki-laki itu tidak sungkan meneteskan dua bulir air mata untuk seorang gadis yang barusaja pergi.Seharusnya Kiara berbangga hati, karena ini pertama kalinya seorang laki-laki menyatakan cinta kepadanya. Sayang sekali bukan Angkasa, perasaan
"Jangan mentang-mentang anak saya mandiri dan kaya bisa Ibu manfaatkan ya?"Kiara menginterupsi dua perempuan parubaya yang saling berbincang didapur apartemen."Saya nggak bermaksud begitu Bu."Entah siapa perempuan yang tengah menghakimi ibunya itu, karena memang posisinya yang membelakangi Kiara."Ibu?" Kiara bersuara hingga kedua perempuan tadi saling menoleh.Sedetik kemudian, Kiara tercengang akan penglihatannya sendiri."Kamu?" perempuan parubaya itu memicing."Dia anak saya," ibu Kiara menimpali."Oh, jadi sekarang kamu mau manfaatin dua anak aku. Begitu?"Ucapannya sangat menyakitkan, Kiara memang tahu bahwa perempuan itu adalah ibu tiri Angkasa. Dan disini sekarang dia juga mengetahui fakta lain, Rio adalah saudara tiri yang selama ini Angkasa sembunyikan.Ternyata dunia sangat sempit, semua kejadian yang menimpa dirinya terasa seperti sebuah lelucon kuno."Maaf
"Seharusnya aku yang nanya, Kakak ngapain di apartemen itu?"Intan melotot, rupanya adik kecil yang dulu sangat cengeng kini sudah bisa mengimbangi percakapan serius itu."Kiara Kakak yang nanya duluan sama kamu!""Aku tinggal disana karena rumah ibu udah dijual."Bukan itu maksud Intan, memang benar perkataan Kiara tadi. Tapi, ada hal lain yang perempuan itu bingungkan."Apartemen itu bukan milik ibu, kan?"Kiara menggeleng dan sontak saja hal itu semakin membuat Intan terperangah. Sudah lama perempuan itu tidak mendatangi sang pemilik apartemen yang kini adiknya tempati."Emangnya kenapa? terus Kak Intan ngapain kesana?""Aku kenal sama pemilik apartemen itu.""Kenal gimana?" Kiara menyelidik."Rio, dia mantan pacar aku!" Intan merasa tidak perlu bertanya lagi siapa si pemilik apartemen itu.Kiara sendiri tidak tahu harus percaya atau tid
"Pagi manis?"UHUKKiara tersedak sarapannya begitu mendengar sapaan Rio, hanya ada mereka berdua dimeja makan. Hari yang sudah menunjuk pada pukul sembilan pagi dan mereka barusaja sarapan. Ibu Kiara sudah keluar sekitar lima belas menit yang lalu untuk pergi kepasar. Hari minggu itu artinya mereka libur, baik dalam akademik maupun pekerjaan."Sendiri aja, ibu kamu kemana?""Pyasar," ucapannya tidak jelas karena mulutnya yang terisi penuh oleh nasi goreng.Rio mulai menyuap kedalam mulutnya, diam-diam Kiara memperhatikan laki-laki itu. Wajahnya memang sudah terlihat dewasa, kulitnya dua tingkat lebih terang dari Angkasa. Wajah Rio cenderung lebih lonjong dan ada sedikit bulu-bulu halus yang menghias dagu serta area rahang. Berbeda dengan angkasa yang memiliki wajah bulat dan bersih, tidak berkumis. Kalau dari postur tubuh jelas Rio banyak tingkat diatas Angkasa, bukan mau membandingkan. Namun, ucapan Sari waktu itu memang benar. Badan Rio lebih
KLIKBagai mayat yang berjalan, Kiara tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Lampu apartemen yang sudah padam dan suasana sepi, mungkin ibunya tidur lebih awal dan sang pemilik apartemen yang sedang berkutik dengan pekerjaannya. Kiara merosot dipintu, matanya terus di banjiri air mata. Sekarang dia ikut mengalami dimana para teman sekelasnya bercerita ketika tengah galau dengan percintaan, rasanya sangat menjengkelkan. Dadanya seolah terhimpit bebatuan, sangat sesak dan perih ketika salah satu dari batu itu menggores sebagian rongganya.Takut ibunya akan terbangun jika dirinya menyusul kedalam kamar, Kiara memilih menuju balkon untuk mengeluarkan semua tangisnya.Rembulan diatas sana semakin mengingatkan Kiara akan Angkasa. Satu dan tidak pernah bisa dia gapai, walau masih berada ditempat yang sama. Kalau Kiara bisa sadar diri, satu dari bintang yang letaknya paling dekat dengan bulan itu adalah dirinya. Semakin bintang itu mendekat, maka semakin tertelan dan
Satu bulan berlalu semenjak gadis itu pindah ke apartemen Rio, satu bulan itu juga Angkasa semakin tidak tersentuh. Setiap Kiara berusaha menyapa laki-laki berparas oriental itu selalu membuang muka, tidak ada lagi pipi bersemu ketika Angkasa membuat hal yang tidak terduga. Ponselnya sepi hanya berisi nada pesan dan panggilan dari Sari. Padahal sudah ada sedikit kemajuan antara Angkasa dan Kiara.Satu usaha yang sangat ampuh membuat Angkasa menoleh kepadanya, Kiara memang sudah lama tidak berkunjung kerumah nenek laki-laki itu. Hanya dua kali semenjak dia pindah, mungkin juga hal itu mengaruh kepada sikap Angkasa satu bulan ini.Jantungnya semakin berdegub dengan kencang, tidak ada motor Angkasa didepan rumah. Kiara menjamin kekasihnya sedang tidak berada disana.Saat langkahnya mencapai teras rumah, saat itu pula seorang anak kecil keluar dari sana. Kiara menatap gemas dengan anak perempuan itu, wajahnya putih bersih dan matanya sangat bening. Rambutnya sewa