"Iya." Berlina kembali ke kamarnya.Yara mengambil ponselnya lagi dan melihat ada notifikasi informasi tiket pesawat. Rupanya, Yudha bergerak begitu cepat dan sudah membelikannya tiket kelas satu untuk besok.Yara mau tak mau jadi bertanya-tanya. Mungkinkah ... Yudha ingin pulang bersamanya besok?Dia segera menelepon Yudha dan tidak menyangka pria itu akan mengangkatnya dalam hitungan detik.Pikiran Yara teralihkan sejenak. Di masa lalu, setelah menikah, dia harus menelepon Yudha setidaknya lima atau enam kali sebelum panggilannya dijawab. Sekarang, keadaan berubah begitu drastis."Ada apa?" Yudha akhirnya mengawali karena Yara tidak kunjung bicara.Malu-malu, Yara bertanya, "Kamu membelikan aku tiket untuk besok juga? Mau pulang bersama?""Iya. Kebetulan aku harus pulang besok, adad urusan mendadak," jawab Yudha dengan suara serius."Oh, begitu." Yara tersenyum pahit. Dia hampir saja mengira Yudha mengubah jadwal karena dirinya."Ada masalah?" Yudha bertanya lagi."Nggak." Karena Yud
"Ya." Sebagai calon ibu, Anita juga merasa sangat prihatin. "Mereka nggak cuma menolak operasi, tapi juga menolak rawat inap. Cuma minta diresepkan obat, lalu pulang."Sungguh keterlaluan. Yara menggenggam ponselnya tanpa berkata-kata.Menurut cerita Berlina, semua uang yang dia hasilkan dari bekerja di sini sejak awal selalu dikirimkan ke keluarga untuk pengobatan Naya.Namun, seperti apa kenyataannya? Rupanya, keluarga Berlina hanya menggunakan sebagian kecil dari uang tersebut untuk mengobati Naya. Mereka juga memarahi Berlina setiap hari karena pergi jauh dan tidak mengurus anaknya. Mengejar-ngejar setiap hari minta dikirim uang dengan berbagai alasan.Karena itulah mereka tidak mengizinkan ibu dan anak itu berhubungan dengan panggilan video. Karena takut kebohongan mereka akan terbongkar.Kemarahan di hari Yara semakin membubung. Keluarga ayah Naya benar-benar sekumpulan orang yang busuk."Untungnya, dokter di rumah sakit yang menangani Naya selalu memantau keadaan Naya, bahkan se
"Oh." Seperti ada kekecewaan dalam suara Felix."Aku mau bicara soal adopsi Amel dengannya." Yara menceritakan tanpa sadar. "'Kan kita nggak bisa apa-apa kalau dia nggak setuju.""Ya, begitu saja." Beberapa saat, Felix lebih tenang. "Kalau begitu, aku boleh ikut denganmu?""Nggak perlu. Aku juga mau balik ke sini lagi setelahnya. Kamu nggak perlu ikut bolak-balik juga." Yara tidak ingin merepotkan Felix."Nggak apa-apa, aku juga ingin pulang menemui Kakek.""Ya sudah." Hati Yara menghangat. Tanpa disadarinya, Felix benar-benar telah menjadi seperti keluarga baginya. Seseorang yang bisa menjadi tempatnya bersandar tanpa syarat, kapan pun, dan di mana pun.Perasaan ini sangat menentramkan.Dia mengirimkan informasi tempat duduknya kepada Felix. "Yudha sudah membelikan tiket kelas satu untukku. Kapan-kapan aku kembalikan uangnya kalau sempat.""Oke." Suasana hati Felix terasa suram entah kenapa. "Tempat dudukku mungkin terpisah dari kalian."Beberapa hari berikutnya, semua orang sangat si
Yara menunduk membaca tiketnya. Dia tidak ingin merepotkan Yudha dan berpikir, lebih baik duduk di kursinya sendiri.Hanya untuk mendengar suara Yudha terngiang di atas kepalanya, "Dua belas kursi, kamu pilih salah satu.""Dua belas?" Mata Yara terbelalak kaget. "Kamu beli semua kursi di sini?"Pantas saja. Saat dia ingin membelikan tiket kelas satu untuk Berlina, keterangannya sudah habis semua."Ya, aku nggak suka diganggu." Dasar, orang-orang kaya memang suka bertingkah semaunya. Yudha menatap Yara dengan wajah datar. "Pilih salah satu."Pramugari di sebelahnya lalu berkata, "Nona Yara sedang hamil empat bulan, 'kan?"Yara mengangguk."Saran saya, pilih kursi sebelah lorong baris pertama. Posisinya relatif lebih stabil dan strategis kalau pergi ke mana saja." Pramugari itu tampak sudah memikirkannya dengan baik. "Tentu saja, kalau ingin lihat pemandangan, duduk di dekat jendela juga nggak masalah.""Di sebelah lorong saja." Yara tidak ingin melihat pemandangan. Dia pun segera duduk,
Namun, karena Yudha membuka topik pembicaraan ini, Yara pun lanjut bicara. "Kamu .... Aku dengar Melanie nggak bisa punya anak.""Ya." Yudha masih menutup matanya."Jadi, bagaimana rencana kalian?" Yara bertanya ragu-ragu. "Teknologi sekarang sudah sangat maju. Kalau kalian mau punya anak ...""Nggak mau!" Yudha membuka matanya dan menatap Yara dengan sorot mata tidak senang.Yara terkejut. Dia tidak menyangka Yudha begitu benci dengan anak-anak. Setelah berjuang mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "Walaupun anak-anak memang agak merepotkan, mereka bisa jadi penguat hubungan orang tua ..."Yudha tertawa marah. "Yara, kamu sangat ingin aku punya anak dengan perempuan lain?"Maksudnya perempuan lain? Memangnya dia punya wanita lain selain Melanie?"Menurutku, kamu harus menghargai keinginan Melanie soal anak," lanjut Yara. "Mungkin, nggak bisa menjadi seorang ibu akan menjadi penyesalan di hati Melanie.""Sejak kapan kamu dekat dengan dia?" Yudha benar-benar kesal. "Yara, nggak sem
"Sesedih apa pun kamu sekarang, dia nggak akan hidup lagi." Yudha berkata dengan sabar. "Kamu juga sedang mengandung. Pikirkan mereka."Yara tidak berkata apa-apa. Dia juga tahu dirinya harus mengendalikan emosi, tapi dia sangat sedih memikirkan kepergian Okti.Yudha tidak berusaha menghibur lagi dan memberinya waktu untuk menenangkan diri.Benar saja. Setelah sekitar setengah jam, Yara berangsur-angsur tenang.Yudha berkata lagi, "Kalau kamu mau, kita bisa pergi menemui Deka bersama."Deka, kakak yang sangat menyayangi Okti.Yara menatap Yudha dengan penuh haru dan mengangguk, "Iya."Selama sisa waktu perjalanan, Yara tidak banyak bicara. Yudha lebih aktif mengingatkan agar dia minum, mengingatkan untuk bangun dan meregangkan tubuh, dan menanyakan apakah dia lapar.Saat pesawat mendarat, dia berkata kepada Yara, "Aku akan mempertimbangkan soal adopsi anak. Terima kasih untuk saran darimu."Yara tertegun. Yudha yang dia lihat hari ini tampak seperti orang yang berbeda. Dia sangat terke
"Aku paksa mereka kasihkan teleponnya ke Naya. Tapi bukan panggilan video." Berlina mencibir, "Mereka pasti menolak panggilan video karena memang ada masalah.""Asalkan Naya baik-baik saja untuk saat ini." Yara menghela napas panjang.Tak lama kemudian, mobil tiba di depan gedung apartemen Berlina. Mereka keluar dari mobil satu per satu.melihat Yudha juga turun, Yara sedikit bingung. Namun, urusan Berlina lebih penting sekarang. Dia tidak punya waktu untuk bertanya mengapa Yudha masih mengikuti.Dia dan Berlina berjalan di depan, diikuti Yudha dan Felix.Alhasil, sebelum memasuki gedung, Berlina tiba-tiba berhenti. Dia menggandeng Yara dan bersembunyi di balik pohon terdekat.Ekspresinya terlihat sangat emosional, dan matanya berkaca-kaca. Menatap sepasang pria dan wanita yang berjalan tak jauh dari sana.Yara mengikuti tatapannya. Pria dan wanita itu tampak seperti sepasang kekasih. Mereka bergandengan sangat mesra, berbicara dan tertawa sepanjang jalan.Saat itu sudah pukul delapan
"Di mana Naya?" Berlina menggenggam tangan Yara dengan sangat erat. Suaranya sedikit bergetar.Lelaki itu tertawa dingin. Tatapannya menyapu Yara dan yang lainnya dengan waspada sebelum akhirnya mendarat pada Berlina. "Baru sekarang kamu peduli pada Naya? Saat kamu bersenang-senang di luar negeri, kenapa kamu nggak ingat Naya sedikit pun?""Gilang, jaga mulutmu." Berlina merasa pria di depannya ini sangat aneh. Padahal orang ini adalah suami yang dulu sangat dia cintai.Dia membendung kesedihannya dan bertanya lagi, "Jawab aku, di mana Naya?""Apa urusanmu Naya ada di mana?" Gilang berdiri dan berkata dengan nada dingin, "Gubuk kecilku ini nggak pantas disinggahi orang hebat sepertimu yang pernah pergi ke luar negeri. Jadi, tolong cepat pergi dengan teman-temanmu.""Gilang Wijaya!" Berlina merasa seperti hampir kehilangan kewarasannya karena marah."Kak Berlina, tenangkan dirimu." Yara menepuk Berlina dan menoleh ke arah Gilang. "Pak Gilang Wijaya, benar? Kamu bilang Kak Berlina nggak