Rasya mulai memikirkan usulan Andre untuk memberikan perhatian pada Adinda secara diam-diam. Oleh karena itu, belakangan ini dia selalu menjadi penguntit dalam setiap kegiatan Adinda. Dia ingin memastikan Adinda dan kandungannya baik-baik saja. Terkadang dia pergi sendiri dan terkadang pula menyuruh orang lain untuk mengamati dari jauh dan memberikan laporan kepadanya.Seperti pada suatu hari, Rasya diam-diam mengikuti Adinda saat melakukan pemeriksaan kandungan. Dia melakukan penyamaran agar tidak dicurigai oleh orang lain. Dia menunggu di depan ruangan selama Adinda melakukan pemeriksaan. Setelah Adinda keluar, barulah dia menemui dokter.“Permisi, Dok. Apakah anda adalah dokter kandungan yang menangani Adinda?” tanya Rasya.“Iya benar. Saya Dokter Sellia, dokter kandungannya Mbak Adinda. Baru saja Mbak Adinda selesai melakukan pemeriksaan. Ada apa ya? Apa ada sesuatu yang tertinggal?”“Oh, tidak. Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai kandungan Adinda. Apakah boleh, Dok?”
Rumini panik karena Adinda tak sadarkan diri. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Ardiaz. Ardiaz yang terkejut mendengar kabar tentang istrinya langsung bergegas pulang dari restoran.Sesampainya di rumah, Ardiaz mendapati Adinda sudah dibaringkan di kamar mereka. Rumini menuturkan bahwa dia meminta bantuan tetangga untuk memindahkan Adinda.“Apa yang terjadi sebenarnya, Bi? Kenapa Adinda sampai pingsan seperti ini?” tanya Ardiaz tampak cemas.“Bibi juga tidak tahu, Mas. Tadi sewaktu saya menyerahkan paket, Non Adin masih baik-baik saja,” jawab Rumini.“Paket? Paket apa?” tanya Ardiaz.“Iya tadi ada kurir yang mengantar paket untuk Non Adin. Setelah saya menyerahkan paket itu, saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ketika saya masuk lagi ke dalam rumah, saya sudah menemukan Non Adin dalam keadaan pingsan,” jelas Rumini.Sesungguhnya Ardiaz belum begitu paham dengan paket yang dimaksud oleh Rumini. Dia hanya berpikir itu paket biasa dan
Ardiaz berusaha menenangkan Adinda tentang paket misterius itu. Dia tidak ingin kesehatan istrinya sampai terganggu. Ardiaz terus meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Tidak perlu risau. Pikirkan tentang kesehatanmu dan bayi ini saja. Sekalipun suatu saat nanti laki-laki itu datang dan berulah, apa menurutmu aku akan membiarkannya begitu saja? Aku akan melindungi keluarga kita, Din” kata Ardiaz menghibur.Ardiaz pun membawa Adinda ke dalam pelukannya. Tangannya terulur mengelus punggung sang istri untuk mengurangi kecemasan. Ardiaz tahu pikiran Adinda cukup terbebani dengan paket yang dia terima.“Lalu harus aku apakan hadiah itu?” tanya Adinda bingung.“Tidak apa-apa diterima saja. Itu adalah pemberian seorang ayah pada putrinya. Hadiah itu bukan hak kita melainkan hak anak ini. Lagi pula mubadzir kalau tidak dimanfaatkan,” jawab Ardiaz dengan bijak. Adinda hanya mengangguk sepaham.Sejujurnya Ardiaz merasa tidak enak hati harus meninggalkan Adinda dalam keadaan seperti itu
Adinda begitu terkejut saat mendapat kabar tentang kecelakaan yang menimpa suaminya. Seketika tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Dia pasti sudah terjatuh jika tidak ada Rasya yang langsung menopang tubuhnya.“Mbak Adinda kenapa?” tanya Rasya ikut panik. Saat itu Adinda juga tak menjawab apa-apa.“Kalau Mbak Adinda merasa tidak nyaman atau ada yang sakit biar saya antar ke ruang dokter. Kita periksa lagi ya?” tawar Rasya kebingungan sendiri. Adinda hanya diam dengan mata berkaca-kaca.“Suami saya mengalami kecelakaan,” tutur Adinda lemah.Rasya ikut terkejut mendengar kabar buruk itu. Sekarang dia mengerti apa yang membuat Adinda merasa bersedih seketika. Namun dia juga tidak pandai cara menghibur dalam situasi seperti itu.Perlahan Adinda menegakkan tubuhnya kembali. Rasya yang cukup sadar diri juga langsung menarik pegangan tangannya yang tadinya merengkuh Adinda. Kepanikan dan rasa takut masih tergambar jelas di wajah perempuan itu.“Apa yang akan Mbak Adinda lakukan sekarang?” tany
“Ini tidak seperti yang mama pikirkan. Dia adalah Mas Rasya dan dia yang membantu mengantarku ke mari. Dia juga yang sudah menguruskan administrasi rumah sakit untuk Mas Ardiaz,” jelas Adinda tanpa diminta. Dia tidak ingin keluarga mertuanya salah paham mengenai kedekatannya dengan Rasya.“Mohon maaf, Tante. Apa yang dikatakan Adinda itu benar. Tadi saya hanya membantu,” timpal Rasya mengafirmasi. Namun tatapan Hani tetap tak bersahabat padanya.“Sudah, Ma. Harusnya kita berterima kasih pada Nak Rasya karena sudah membantu anak kita,” kata Hairi, ayah mertua Adinda.“Iya, Ma. Lagi pula Mbak Adin itu perempuan baik-baik. pikiran mama saja yang terlalu negatif. Sekarang yang terpenting adalah kondisi Mas Diaz,” imbuh Anifa yang juga ikut ke sana. Dia menyadarkan kembali tujuan kedatangan mereka ke rumah sakit. Setelah mendengarkan hal itu, Hani pun tidak lagi menaruh curiga pada menantu dan laki-laki yang menemaninya.“Bagaimana keadaan Ardiaz?” tanya Hani mengalihkan topik pembicaraan.
Setelah dari rumah sakit, Adinda terlebih dahulu pergi ke rumah yang dia tempati dengan Ardiaz. Dia mengambil barang-barangnya di sana untuk dibawa pindah sementara ke rumah orang tuanya. Anifa juga menemani dan membantunya berkemas. Sedangkan Rumini tampak kebingungan karena tidak tahu apa-apa.“Mas Ardiaz mengalami kecelakaan dan sekarang dia koma di rumah sakit,” tutur Adinda memberitahu. Terdengar Rumini mengucap istighfar dan ikut bersedih atas musibah yang menimpa majikannya.“Sementara waktu saya akan pulang ke rumah orang tua saya mengingat saya bisa melahirkan sewaktu-waktu. Bibi tolong tetap di sini dan jaga rumah ya,” pinta Adinda.“Lalu bagaimana dengan Mas Ardiaz, Non?” tanya Rumini.“Kondisi Mas Ardiaz tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke rumah sakit terdekat. Jadi Papa Hairi dan Mama Hani yang menjaganya di sana,” jelas Adinda.“Ya Allah…semoga Mas Ardiaz segera diberikan kesembuhan,” ucap Rumini mendoakan. Adinda dan Anifa mengamini dengan kompak.Setelah selesai me
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi