Ziya tidak bisa memejamkan matanya. Berada di kamar asing membuatnya kesulitan untuk tidur. Salah satu kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Dia akan butuh waktu beberapa malam untuk bisa tidur dengan nyenyak.
Mendadak pikirannya tertuju pada Kienan. Bagaimana keadaannya dan apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia mempunyai penyakit yang serius dan bagaimana juga kondisi perusahaannya.
Ziya buru-buru mengelengkan kepalanya, sadar bahwa dia sudah melampaui batas dengan memikirkan pria itu.
Karena matanya belum bisa tidur makanya dia memilih untuk berkeliling apartemen. Juga untuk mengenali tempat barunya. Tempat yang nantinya akan dia tempati sampai berapa lama juga dia tidak tahu.
Dari pintu masuk, apartemen ini terdiri dari ruang tamu, dapur dan kamar mandi dan satu kamar. Di lantai 2 ini terdiri, 2 kamar tidur dan kamar mandi sedang lantai 3 Ziya belum tahu. Nanti mungkin, dia akan menuju sana.
Lelah mengelilingi bagian dari apartemen ini.
“Dokter ... denyut nadinya kembali!” suara seorang Suster yang lari tergopoh dari ruang ICU menghampiri sang Dokter yang masih berada di depan pintu.“Alhamdulillah,” ucap syukur dengan mulut yang mengangga.Hampir saja Kiara kehilangan kesimbangan kalau saja Suster tadi tidak memberitahu keadaan Kienan yang sudah berubah itu. Maya dan Arman langsung mendudukan Kiara kembali sedang Dokter tanpa berkata lagi langsung masuk ke dalam untuk memastikan pasien.Sebelum memutuskan untuk memberitahu keluarga pasien, Dokter dan Suster sudah mencoba berulang kali dan tidak menemukan denyut nadi pasien. Tapi ketika Dokter sudah ke luar mendadak denyut nadi dan detak jantungnya itu kembali.Setelah memasuki ruangan itu, Dokter bertindak cepat untuk memeriksa dengan teliti. Kenyataan memang benar semuanya kembali. Seketika itu terlihat senyum di wajah Dokter sekaligus lega mendapatkan kenyataan itu.Memang urusan kematian itu takdi
“Tegar ... anak yang sholeh ... Tegar ... anak yang pintar ... Tegar ... anak yang baik.”Berulang-ulang Ziya mengucapkan itu sambil mengusel-ngusel hidung Tegar mengunakan hidungnya.Ditidurkan dengan kasur lipat di lantai, depan tv. Tegar terlihat senang sambil tangan dan kakinya menendang-nendang di udara. Tak terasa kebersamaan itu, membuat Ziya dilanda ngantuk. Saat tiba-tiba matanya hampir saja terpejam, ada suara ketukan pintu. Sudah bisa dipastikan kalau seseorang itu adalah Bian. Dengan langkah cepat Ziya berlari ke arah pintu dan membukanya.“Morning!!” sapa Bian lembut dengan senyum mengembang. Apalagi tatapannya lembut membuat siapa saja akan terpesona jika melihatnya.“Mas ...,” jawab Ziya ikut membalas senyuman manis Bian.“Apa ini?” Ziya memandang tote bag yang disodorkan Bian padanya.“Buka saja! Aku gak disuruh masuk nih?”Ziya mengambilnya dari tangan Bian s
“Mas ... kamu ... gak pulang tah? Sudah malam lho, aku gak mau ya orang-orang berpikiran yang macem-macem sampai menimbulkan fitnah karena kita seharian di unit yang sama.”Ziya bertanya dengan lembut, meski jaraknya sedikit jauh tapi masih bisa di dengar oleh Bian. Ziya saat ini sedang mencuci botol susu Tegar di dapur. Sedang Bian menemani Tegar di depan tv. Tegarnya sih sedang tidur tapi Bian sibuk dengan ponselnya.“Orang siapa ... Zi?” sahutnya santai sedang matanya belum teralihkan dari layar tipis itu.“Ih ... kamu pikir sekitar sini gak ada orangnya. Tetangga sebelah mungkin atau petugas apartemen atau ...?”Sontak Bian langsung menoleh pada Ziya yang berjalan mendekati depan tv lalu duduk di sofa dekatnya. Selain di ruang tamu, ada sofa kecil yang bisa muat untuk duduk dua orang di depan tv.“Atau?” tanya Bian seraya menarik satu alisnya ke atas karena penasaran.Sebenarnya Ziya mau bi
Ziya terperangah dengan salam dan sebutan Bian padanya. Hingga Bian mengulangi memanggil nama Ziya beberapa kali.“Waalaikumussalam, Mas,” jawab Ziya singkat.[Koq itu saja jawabannya?] protes Bian, karena Ziya tidak menjawab sesuai dengan panggilannya tadi.“Mas ... aku kan belum menjawab iya tadi?”[Oh, jadi kamu menolak aku lagi ya?]“Ehm ... gimana ya ...!”[Aku tahu, mungkin kamu belum mencintaiku tapi aku berjanji akan menjadi suami dan Ayah yang baik untuk keluarga kecil kita,] aku Bian meyakinkan.Ziya hanya ingin mengoda Bian dengan mengatakan itu. Ziya ingin tahu seberapa sabar pria ini jika ditolaknya lagi.“Iya, maaf ... ya, Mas. Aku masih belum yakin denganmu,” tegas Ziya dengan menahan senyum. Beruntung Ziya bicara lewat sambungan telepon. Kalau berbicara langsung mungkin dia bisa ketahuan kalau hanya mempermainkan Bian.Terdengar Bian menghela napas panjang.
“Halo, Man. Bagaimana semuanya?” tanya seseorang pada Arman-asisten Keinan pada sambungan telepon.“Sejauh ini, polisi belum memberikan hasilnya dan investor memberikan waktu hingga dua minggu ke depan, sampai Pak Kienan sadar. Tapi kalau belum sadar terpaksa mereka mengambil keputusan terbanyak untuk menentukan nasib perusahaan.”“Oke, segera setelah semua urusanmu selesai, kamu tinggalkan mereka. Menghilanglah tanpa jejak.” Bian mengucapkan dengan tegas. Seolah seperti perintah untuk Arman yang tidak dapat dibantah lagi apapun alasannya.“Baik, Bos.” Arman menutup sambungan telepon dengan Bian.Lalu Arman melangkah masuk ke dalam ruangan seorang pria yang sangat dihormatinya. Seorang pria yang ikut andil dalam kehidupannya di dunia ini. Namun sayangnya dia tidak bisa melakukan sesuai dengan yang diinginkannya, yaitu berbuat kebaikan.Arman mendudukan dirinya di sofa berbentuk huruf L tersebut. Mengh
Sementara Kiara tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya mendengar kalau putranya sudah sadar. Berjalan mengikuti sang Suster di belakangnya, Kiara terlihat berseri wajahnya. Tiada hari yang lebih baik dari hari ini.Sampai ketika sudah berada di depan ranjang Kienan, Kiara terpaku melihat pria yang sedang menatapnya itu. Bibir Kiara seolah keluh, tidak dapat berkata-kata lagi yang pada akhirnya menjatuhkan pelukan. Memeluknya dengan erat seolah mereka telah terpisah sangat lama tanpa terasa buliran bening telah membasahi kedua sudut matanya..Dalam pelukan itu, dirinya masih bisa mendengar sang putra memanggilnya.“Mommy ....”Kiara langsung mengurai pelukannya hanya untuk melihat putra yang sudah dia rindukan selama beberapa hari ini. “Iya ... sayang. Mommy khawatir sekali sama kamu. Mommy takut kehilangan kamu. Tapi Alhamdulillah sekarang kamu sudah sadar.”“Iya, Mom. Maaf telah buat Mommy khawatir?”Kia
“Mommy, khawatir ... sama kesehatan kamu, Kien ...?” Kiara menatap lekat pada sang putra. Memberitahu bahwa idenya tidak baik.Kienan mengangguk, seolah mengatakan bahwa dia sudah baik-baik saja setelah melewati hari-hari buruknya di dalam ruang ICU.Kienan menyetujui untuk bertemu dengan pihak kepolisian, guna memberitahukan hasil penyelidikan terhadap kasus kebakaran itu. Harusnya Arman yang menangani ini, tapi sejak kemarin pria yang sudah mengikuti Kienan hampir 6 tahun itu, tidak bisa dihubungi. Parahnya lagi seolah menghindarinya karena ponselnya bisa dihubungi tapi tidak diangkat. Membuat Kienan mengambil alih tugasnya.“Mom, aku sudah sehat. Lagipula itu perusahaanku jadi aku harus siap apapun yang terjadi.”“Mommy, tahu kamu sudah sehat. Buktinya kamu sudah di pindahkan di kamar ini. Tapi tetap saja, sekarang bukan waktu yang baik untuk menambahi beban pikiran kamu. Biar Mommy yang akan temuin mereka ya?”
“Dok, apa saya sudah bisa pulang?” tanya Kienan ketika sang Dokter sedang memeriksa tensi darahnya.Sang Dokter tersenyum seraya menatap Kienan. “Kenapa? Sudah bosen ya?”“Ah ... banyak yang harus saya selesaikan, Dok! Perusahaan saya diambang kehancuran dan saya belum memiliki solusi untuk seluruh karyawan saya. Mereka juga pastinya punya tangung jawab dengan keluarganya yang harus dibiayai. Kalau saya tidak bisa memenuhinya, terus bagaimana nasib mereka,” papar Kienan menghela napas panjang.“Itulah, kenapa saya selalu menyarankan untuk rawat inap. Karena mencegah terjadinya hal semacam itu, banyak pikiran yang akan membebani pasien. Harusnya bisa lebih cepat sembuh malah tambah lama karena kepikiran dengan ini itu. Saya sebenarnya lebih menyarankan untuk istirahat di sini agar kami juga bisa memantau secara detail selain itu biar pasien istirahat total,” tutur Dokter kembali menatap Kienan.Kiara yang ber
“Ini surat wasiat yang saya bilang sama kamu, Ziya,” Pak Dirman memberikan map berwarna coklat di hadapan Ziya.“Isinya apa, Pak?”“Bukalah dulu, nanti kalau ada yang tidak jelas saya jelaskan!” perintah Pak Dirman.Ziya menoleh ke arah Kienan dan mendapatkan anggukan pelan dari suaminya tersebut. Gadis itu mulai membuka dan membaca dengan detail lalu tiba-tiba menutup mulutnya karena kaget. Kienan yang mulai binggung mengambil alih map tersebut. Setelahnya tersenyum tipis.“Kamu, koq gak kaget, Mas?”“Saya dan Pak Kienan sudah tahu penyebab Pak Zain melakukan itu,” sindir Pak Dirman dengan tersenyum.Ziya menatap aneh pada suaminya itu seakan meminta penjelasan.“Ziya, biar saya jelaskan saja!” ucap Pak Dirman yang langsung mengalihkan atensi Ziya.Lalu Pak Dirman mulai menjelaskan yang seperti dijelaskan suami tadi malam. Ziya mengangguk-anggukan kepalany
Sesuai pembicaraan dengan Kienan, Ziya akan mendatangi tempat mantan pengacara sang Papa. Sekedar ingin mengetahui apa yang belum dia tahu. Kienan sebenarnya akan ikut mengantarkan istrinya itu, namun karena ada meeting yang tidak bisa ditunda akhirnya Ziya batal pergi.“Mas, aku berangkat sendiri bisa koq!” rengek Ziya pada sambungan telepon pada Kienan. Rasa penasaran sudah membuncah begitu tahu suaminya membatalkannya dia sangat kecewa.“Mas, bilang jangan ya jangan. Kamu bandel amat sih!” jawab Kienan dengan sedikit teriak karena Ziya membantah ucapannya.“Mas, ih ... jahat banget sampai bentak-bentak aku. Ya sudah nanti kamu tidur di kamar tamu saja, aku lagi males ketemu kamu!” putus Ziya hendak menutup ponselnya.“Iya, iya deh!” sela Kienan cepat yang membuat Ziya menyungingkan senyum.“Kenapa? Takut ya, tidur sendiri,” cibir Ziya sembari tertawa terbahak.Kienan tidak menjaw
Ternyata tanpa disadari, waktu sudah menjelang Subuh mereka baru menyelesaikan acara mandinya. Yang pada akhirnya tidak tidur karena menunggu sholat Subuh sekalian. Kedua pasangan suami istri itu memanfaatkan waktu yang ada itu untuk mengobrol, duduk di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya.“Mas ...”“Hm.”“Memang sejak kapan kamu tahu kalau Kak Zoya selingkuh?” tanya Ziya tiba-tiba karena dia penasaran akan hal itu.Kienan menghela napas panjang, sebenarnya dia telah menutup masalah itu tapi kalau melihat Ziya seperti itu pasti dia tidak akan berhenti bertanya. Masih bertahan dengan diam membuat Ziya menoleh untuk melihat wajahnya.“Mas, koq gak dijawab sih?” tutur Ziya ketus sambil memalingkan wajahnya menjauh dari Kienan.Kienan memiringkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Ziya yang kesal itu. Sambil tersenyum pria itu berkata. “ Sebenarnya, sudah Mas tutup masalah itu,
Ziya beranjak turun dari atas meja tapi Kienan menahannya. “Hey, mau ke mana?” tanyanya dengan alis mengerut.“Mau bersihin beling itu, Mas.”“Udah, gak usah. Mas saja kamu makan saja,” ucap Kienan seraya menekan bahu Ziya untuk duduk kembali di bangku yang sudah dia siapkan.“Ta-”“Duduk atau kita lanjutan yang tadi di sini sekarang?” ancam Kienan tidak memberi kesempatan Ziya untuk menyelesaikan ucapannya.Ziya menghela napas lalu menuruti ucapan suaminya itu. Mulai menyendokkan nasi dan lauk sedangkan Kienan mulai mencari keberadaan alat kebersihan untuk membersihkan pecahan gelas itu.Kienan pasti tidak akan membiarkan Ziya melakukan pekerjaan itu karena sebentar lagi istrinya itu akan memberi kepuasan padanya. Lelaki itu sampai tersenyum sendiri mengingat kejadian yang sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Terlalu bersemangat ketika mendapatkan lampu hijau dari Ziya.Z
“Masuk, yuk!” ajak Kienan setelah mengurai pelukannya. Ziya memluk lengan suaminya itu mengikuti langkah Kienan untuk masuk dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun di sela-sela perjalananya Ziya masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari suaminya.“Mas ....”“Hmm.”“Maaf,” ucap Ziya dan menghentikan langkahnya ketika di depan pintu kamar.Kienan terlihat acuh dan tidak membahas permintaan maaf istrinya. “Mas, mandi dulu ya. Nanti bicara lagi,” sahut Kienan sambil menutup mulutnya setelah menguap. Rupanya rasa ngantuknya kembali datang.Sampai di dalam kamar, Kienan langsung masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Ziya menuju lemari untuk mengambilkan baju tidur Kienan. Dia sengaja mengambil piyama yang sama dengan dirinya. Senyum mengembang dari bibirnya tidak sabar melihat Kienan mengenakan piyama couple dengannya.Setelah hampir sepuluh menit, pintu kamar mandi
Saat ini Ziya hanya menemani Tegar saja hingga kebosanan menderanya. Namun karena ada Mbak Lastri juga menemaninya, jadi tidak terasa sekali.Sambil menunggui Tegar yang sedang rebahan di lantai beralaskan karpet, Ziya dan Mbak Lastri saling bercerita. Tentang banyak hal. Dari masa kecil Mbak Lastri, kehidupannya di kampung dan sejak bekerja di rumah ini.Sedangkan Kiara sedang ada di luar rumah karena ada pertemuan dengan teman-temannya. Teman yang bagaimana juga Ziya tidak paham.Mbak Lastri mulai bercerita saat Ziya meninggalkan akad nikah waktu itu. Bagaimana perasaan dan semua kesedihan Kiara karena Lastri juga ikut menunggui di rumah sakit, apalagi saat Dokter berkata kalau detak jantung Kienan sempat menghilang. Kiara seperti orang gila yang tidak ingin kehilangan putranya.Seminggu setelah Kienan dinyatakan sehat dan keluar rumah sakit, masalah datang lagi di perusahaannya yang mengakibatkan Kienan harus masuk di ruang ICU lagi. Setahu Lastri masa
Sejak keluar dari rumah pagi-pagi dan memilih kantor untuk sekedar menenangkan dirinya yang sedang berkecambuk dalam kekesalan, Kienan belum juga melakukan apa-apa.Ya, Kienan sengaja berangkat ke kantor di pagi butanya, bahkan belum ada karyawan yang datang. Ketika di depan pintu masuk, seorang security juga terkesiap dengan kedatangan Bos nya yang tidak seperti biasanya. Setelah menyapa dan tersenyum, Arifin-security bersikap sewajarnya padahal dalam hatinya bertanya-tanya apa yang membuat sang Bos datang sepagi ini, jam menunjukkan masih pukul 06.00 dan jam kerja dimulai pukul 08.00.Kienan berjalan menuju ruangannya dengan tersenyum getir. Harusnya dia menikmati malam pengantinnya tapi belum-belum sudah ditolak oleh Ziya. “Mengenaskan!” batinnya sambil terus berjalan melewati pantry.Mendadak lelaki itu berhenti, memandang sebentar ruangan dengan pintu terbuka tersebut. Belum ada orang untuk di mintai tolong tapi dia ingin meminum yang hangat-han
“Nih, buat kamu!”Kienan menyodorkan amplop persegi panjang yang tadi ada di atas kasur, di sebelah taburan bunga.“Ini, apa, Mas?” tanyanya heran dengan alis terangkat.“Mau tahu? Buka dong!”Dengan ragu, Ziya membukanya dan saat matanya melihat isinya. Gadis itu terperangah sambil menutup mulutnya sendiri. Sungguh, ini adalah keinginannya sejak lama tapi belum bisa terwujud. Ini adalah kebahagiaan yang tidak ada tandingannya.“Gimana, kamu suka?”“Mas, bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ... aku tidak bisa membayar semua kebaikanmu!”Kienan tersenyum melihat Ziya bahagia membuatnya juga merasakan lebih kebahagiaannya. Kedua tangannya teralih untuk mengusap wajah Ziya. Menyapu sekilas bibir istrinya itu lalu mulai mendekatkan bibir keduanya sebelum berucap “Tetaplah di sampingku, apapun yang terjadi.”***Ziya terbangun oleh suara alarm di ponse
Ziya termenung, pandangannya hanya lurus ke depan. Memandang jalanan yang semakin ramai karena kondisi jam pulang kerja. Sementara Kienan yang sedang berada di sampingnya, hanya bisa sesekali melirik untuk melihat apa yang dilakukan istrinya itu tanpa mau menegur atau mengajaknya berbicara. Memberikan waktu sejenak untuk Ziya.Setelah drama tangis-tangisan itu, Kienan langsung membawa Ziya keluar, meninggalkan rumah sakit. Mengabaikan semua yang terjadi dan menganggapnya tidak terjadi apa-apa, itulah yang dilakukan suami dari Ziya dan menempatkan itu sebagai mimpi buruk saja.Kienan terhenyak, saat mendapati air mata istrinya itu jatuh di pipinya sedang Ziya sendiri seperti tidak peduli dengan hal itu. “Sayang, sudah ya, Mas jadi khawatir kalau kamu seperti ini.”Ziya menoleh pada Kienan dan menatapnya dengan sendu. Ada banyak yang dia rasa saat ini dan dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. “Mas, aku binggung ... bahkan kalau bisa aku min