Ara menatap secangkir teh hangat yang berada di tangannya. Uapnya mengepul perlahan, menciptakan garis-garis lembut yang menghilang di udara dingin ruang tamu. Suara hujan rintik di luar menjadi satu-satunya irama yang mengisi kesunyian.
Ia duduk di sofa dengan posisi tubuh sedikit meringkuk, seperti mencoba melindungi dirinya dari sesuatu yang tak terlihat.
Adrian duduk di kursi di sebelahnya, diam namun penuh perhatian. Ia tidak memaksakan Ara untuk bicara. Sudah cukup lama ia mengenal Ara untuk tahu bahwa gadis itu membutuhkan waktu untuk membuka diri.
"Raka dulu berbeda," kata Ara akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
Adrian menegakkan tubuhnya, memastikan ia mendengar setiap kata dengan jelas.
"Ketika kami pertama kali menikah," Ara melanjutkan, masih menatap teh di tangannya. "Dia... baik. Perhatian. Aku bahkan berpikir dia adalah jawaban dari semua doa yang aku panjatkan selama ini."
Adrian tidak menyela. Ia hanya menungg
"Apa yang kau pikirkan, Ara?" suara Adrian memecah keheningan ruang tamu. Ia duduk di kursi seberang sofa, kedua lengannya bersandar santai di pegangan kursi, tetapi sorot matanya penuh perhatian.Ara, yang duduk meringkuk di sofa dengan bantal di pelukannya, melirik Adrian dengan ragu. Di tangannya ada brosur kecil dengan tulisan "Konseling Trauma dan Pemulihan" di sampulnya."Aku tidak yakin," jawabnya pelan. "Aku belum pernah mencoba hal seperti ini sebelumnya. Rasanya aneh membayangkan duduk di depan orang asing dan menceritakan semuanya."Adrian tersenyum, lembut tetapi tidak memaksa. "Aku mengerti itu. Tapi terkadang, berbicara dengan seseorang yang netral—seseorang yang tidak mengenalmu secara pribadi—bisa membantu. Mereka tidak menilai. Mereka hanya mendengarkan."Ara mengangguk kecil, tetapi matanya tetap tertuju pada brosur itu. "Bagaimana kalau aku tidak tahu harus mulai dari mana? Bagaimana kalau aku malah merasa lebih buruk setela
"Adrian, kau pernah merasa takut tentang masa depanmu sendiri?"Pertanyaan Ara datang tiba-tiba saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Adrian. Udara malam terasa hangat, dengan aroma samar dari bunga melati yang tumbuh di pot-pot kecil di sudut balkon.Cahaya dari lampu jalan memantulkan siluet mereka di kaca jendela, memberikan suasana yang tenang dan intim.Adrian menoleh dari cangkir kopi yang sedang ia genggam, alisnya sedikit terangkat. Ia mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, terlihat santai tapi tetap karismatik."Tentu saja," jawabnya setelah beberapa saat. "Aku manusia biasa, Ara. Aku juga punya rasa takut. Tapi aku belajar sesuatu—tidak apa-apa merasa takut, selama itu tidak membuatku berhenti melangkah."Ara memandang Adrian, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Ia menyesap tehnya perlahan, membiarkan kehangatan cairan itu meresap di tenggorokannya."Kadang aku merasa... aku menghabiskan terlalu banyak w
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Namun, di hati Ara, perasaan tidak menentu tetap bertahan seperti awan gelap yang enggan pergi. Ia duduk di dekat jendela apartemen Adrian, secangkir kopi hitam di tangannya yang mungil.Aroma pahitnya menguar, tetapi tidak banyak membantu menenangkan pikirannya yang penuh kecemasan. Matahari pagi mulai menyapu langit dengan warna jingga lembut, memantulkan sinarnya di kaca jendela, namun itu tidak cukup untuk mengusir awan gelap di hatinya.Adrian keluar dari dapur, membawa dua potong roti panggang di atas piring. Dengan setelan kaus kasual dan rambut sedikit berantakan, ia tampak tenang seperti biasa. Namun, ia langsung menyadari bahwa sesuatu mengganggu Ara."Kau tidak biasanya bangun sepagi ini," katanya, duduk di meja kecil di seberang Ara.Ara mengangkat bahu, matanya masih terpaku pada langit di luar. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan. "Terlalu banyak yang ada di pikiranku."Adrian menga
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis yang membingkai jendela apartemen Adrian. Ara duduk di sofa dengan segelas jus jeruk di tangan, menikmati kehangatan cahaya yang menyelimuti ruangan.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ringan—seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya.Adrian muncul dari dapur, mengenakan kaus abu-abu sederhana dan celana jeans, membawa dua cangkir kopi. "Aku pikir kau akan butuh ini," katanya sambil meletakkan salah satu cangkir di meja kecil di depan Ara.Ara tersenyum, menggeleng pelan. "Aku rasa kopi itu lebih cocok untukmu. Aku sedang mencoba menikmati sesuatu yang manis pagi ini."Adrian tertawa kecil, duduk di kursi di seberangnya. "Itu ide yang bagus. Kau pantas mendapat sesuatu yang manis setelah semua yang kau lalui."Ara tertawa ringan, meskipun ada sedikit air mata di sudut matanya. "Rasanya aneh, Adrian. Aneh karena aku tidak lagi merasa takut. Seolah-olah aku telah lu
Langit malam itu cerah, dihiasi bintang-bintang yang bertebaran seperti taburan berlian di kain beludru hitam. Adrian sedang memeriksa detail terakhir di balkon apartemennya yang telah dihias dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip lembut.Meja panjang di sudut balkon dipenuhi piring-piring kecil yang tertata rapi, menyajikan makanan ringan, keju, buah-buahan, dan beberapa botol anggur yang dipilih dengan hati-hati.Di dalam, Ara berdiri di depan cermin, mematut diri dengan dress sederhana berwarna krem yang jatuh lembut di tubuhnya.Dress itu tidak mencolok, tetapi ada sesuatu dalam cara Ara memakainya malam ini—tatapan matanya yang lebih cerah, senyumnya yang lebih percaya diri—yang membuatnya tampak memancarkan aura berbeda."Apa aku terlalu biasa?" tanyanya sambil melirik Adrian yang baru saja masuk dari balkon.Adrian berhenti sejenak, matanya menatap Ara dari kepala hingga kaki. Senyum lembut muncul di wajahnya, sebuah senyum
Cahaya pagi menyusup melalui celah tirai, memeluk ruangan dengan lembut. Ara membuka matanya perlahan, membiarkan kehangatan sinar matahari membangunkannya sepenuhnya.Udara pagi terasa segar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Tidak ada kecemasan yang menggantung di dadanya, tidak ada ketakutan yang menghantui pikirannya.Ia menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidur, di mana secangkir teh dan sepiring kecil croissant menunggunya. Sebuah catatan kecil terlipat rapi di sampingnya. Ara meraih catatan itu, bibirnya melengkung ketika ia mengenali tulisan tangan Adrian.“Pagi, Ara. Aku menunggumu di balkon. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”Ara tersenyum kecil, rasa penasaran mulai merayap di hatinya. Ia melangkah keluar dari kamar, masih mengenakan sweater panjangnya, dan mendapati Adrian duduk di kursi dekat pagar balkon.Sebuah buku terbuka di pangkuannya, tetapi tatapannya tidak fokus
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang