"Kam dari mana saja?" tanya Ustaz Azzam pada putrinya tanpa basa-basi.
Sofia yang menyadari akan kesalahannya hanya bisa diam membisu. Dia takut jika ayahnya tahu ke mana dia sebenarnya.
"Kalau ditanya itu ya menjawab, Sofia. Jangan buat ayah geram."
"S-sofia dari stasiun, Ayah," ucapnya takut.
"Stasiun? Buat apa?"
Sofia mengepal kuat tangannya. Dia begitu sangat takut saat ini.
"Maaf, Ayah."
Baru saja Ustaz Azzam hendak bertanya, Bunda Halimah segera mencegahnya.
"Sofia, kamu masuk ke kamar dulu, Sayang."
"Bunda—"
"Biarkan anak kita istirahat dulu. Pikirannya sedang kalut."
Sofia gegas melangkah sembari menarik kopernya. Ustaz Azzam yang melihat itu semua kini sudah paham apa yang baru saja putrinya lakukan.
Bunda Halimah berusaha menenangkan suaminya. Dia tahu betul, suaminya sedang dikuasai amarah. Sofia menghilang sejak selepas shalat subuh. Wajar jika ayahnya begitu marah.
"Bun, tolong tanya anak kita. Apa yang terjadi sebenarnya," titah Ustaz Azzam sembari mendudukkan diri.
"Iya. Kita beri dia waktu sendiri."
Bunda Halimah menatap pintu kamar putrinya dengan perasaan yang sangat khawatir. Semenjak perjodohan itu direncanakan, senyum dan keceriaan Sofia lenyap seketika.
Bunda Halimah menyayangkan sikap Sofia yang tak mau terbuka. Pun pada dirinya. Harusnya dia terbuka bukan dengan memendamnya sendiri.
*"Sofia, apa yang sebenarnya terjadi, Nak. Kamu tidak ingin berbagi dengan bunda?" tanya Bunda Halimah dengan lembut khas seorang ibu.Sofia yang sejak tadi memilih duduk di dekat jendela kamar hanya bisa menoleh sekilas kemudian tersenyum samar.
Bunda Halimah mengerti akan hal itu. Menerima perjodohan saat hati sidah memilih bukanlah perkara mudah. Tapi, suaminya sudah berusaha berbuat adil dengan menyetujui kedatangan Rayyan untuk mempertahankan Sofia. Namun, yang ada justru Rayyan memilih mundur.
Bunda Halimah membelai sayang rambut putrinya.
"Bunda ingat saat kamu masih kecil. Dulu, kamu itu pendiam. Tapi, kadang juga sangat ceria. Kamu akan bahagia jika apa yang kamu imginkan bisa kami wujudkan. Lalu, kamu akan berubah menjadi pendiam saat keinginanmu tidak bisa kami kabulkan. Bunda sangat ingat ekspresi menggemaskanmu itu, Nak."
"Sayang, kami adalah orang tua yang masih belajar untuk menjadi idaman anaknya. Kami ingin bukan hanya sebagai orang tua di mata anak-anak kami, tapi sahabat yang bisa berbagi suka dan duka."
"Kadang kami cemburu pada sahabat kalian. Dengan ayah dan bunda kalian memendam urusan pribadi kalian. Tapi, dengan sahabat kalian, begitu bebasnya kalian mengekspresikan rasa. Kalau bisa memilih, kami ingin seperti sahabat kalian yang segalanya tahu tentang suasana hati anak-anaknya."
"Jangan biarkan kami menjadi orang yang terjahat di mata kalian."
Air mata Bunda Halimah menetes. Sofia yang menyadari itu gegas menghapus jejak air mata orang yang begitu dicintainya. Kini, Sofia sadar akan kesalahannya. Begitu kejam dia menyakiti orang tuanya selama ini. Padahal kasih sayang mereka begitu besar.
Sofia memeluk Bundanya begitu erat. Dilampiaskannya semua kegundahan hatinya. Bunda Halimah bersiap untuk menyimak isi hati putrinya.
"Bunda, maafkan Sofia. Mungkin apa yang Sofia lakukan hari ini adalah hal yang bisa membuat keluarga kita malu. Terlebih ayah."
"Apa yang membuatmu untuk melakukan hal itu, Nak?"
"Sofia sangat mencintai Rayyan, Bunda. Tapi, Rayyan justru menolak permintaanku."
Sofia akhirnya menceritakan semuanya tanpa tertinggal satu kata pun. Bunda Halimah yang menyimak tak bisa menyalahkan begitu saja.
Dia menyayangkan sikap anaknya tapi juga memuji sikap Rayyan yang mengerti apa yang harus dilakukan.
"Kamu sudah tahu jawabannya. Kalau memang tidak sepenuh hati menerima perjodohan ini, kami ungkapkan. Kenapa kamu malah menerima hingga proses nadzor?" sesal Bunda Halimah.
"Sofia takut, Bunda."
"Takut? Untuk apa jika itu akan membawa penyesalan seumur hidup, Nak? Menikah itu ibadah terlama. Bagaimana kamu bisa meraih ridho Allah, jika memulainya saja dengan hati yang terpaksa?"
Sofia tertunduk begitu dalam. Dia mengerti akan arti ucapan bundanya. Mereka secara tak langsung mengungkapkann akan kekecewaan kedua orang tuanya.
Sofia kini menyesal akan semua tindakan yang dia lakukan. Dia merutuki dirinya yang melangkah terlalu jauh hingga tak sadar telah meninggalkan jejak yang melukai banyak orang.
"Sekarang bunda tanya dan kamu harus jujur."
"Apa kamu akan membatalkan atau melanjutkan ke tahap pernikahan?"
Sofia terdiam begitu lama. Jika bisa jujur, dia akan meminta waktu untuk betul-betul berdamai akan semua ini.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Hari di mana Rayhan akan datang melamarnya secara resmi dengan keluarga besarnya sudah ditentukan.
"Bismillah, Sofia siap, Bunda."
"Kamu yakin?" Sofia mengangguk.
Bunda Halimah memeluk putrinya dengan penuh rasa bahagia.
Di depan pintu ustaz Azzam yang mendengarnya ikut terharu. Sofia tak tahu kalau sejak tadi ayanhnya mendengar semua isi hatinya.
*"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Muhammad Rayhan meminta izin kepada Ustaz Khairul Azzam dan Ustazah Halimah untuk meminang putri bungsunya Sofia Zahra untuk menjadikannya ratu di istanaku nanti. Saya berjanji di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala dan seluruh keluarga besar yang sempat hadir untuk membahagiakan Sofia nanti. Insya Allah saya tidak akan menyakitinya. Saya akan membimbingnya sebagaimana islam mengajarkan," ucap Rayhan mantap."Kami menyerahkan keputusan pada putri kami. Bagaimana, Nak?" tanya Ustaz Azzam selaku ayah Sofia.
Sofia ragu untuk menjawab. Matanya fokus tertuju pada sosok yang duduk di belakang Rayhan. Wajah itu diselimuti duka yang mendalam.
Tangan Sofia bergetar. Hatinya dilanda kecemasan luar biasa. Ragu kembali menghampirinya.
Wajahnya kembali menatap Rayyan yang tengah menahan agar air matanya tak jatuh. Mata itu begitu terluka dan Sofia tahu itu. Rayyan mengetahui hal itu mengangguk seraya berusaha menyunggingkan senyum.
"Bismillah, atas izin Allah dan kedua orangtuaku. Aku bersedia menerima lamaran dari akhi Muhammad Rayhan."
Hancur sudah harapan yang sudah menjulang tinggi terganti dengan dinding lembatas yang semakin kokoh.
Syafira yang ikut hadir tak bisa menyembunyikan rasa sedih yang mendalam untuk kisah keduanya.
Rayhan tersenyum bahagia begitu mendengar jawaban dari Sofia. Tinggal selangkah lagi maka apa yang diimpikan selama ini terjawab sudah.
Ustazah Aisyah selaku ibunda dari Rayhan menyematkan cincin di jari manis Sofia. Mereka kemudian saling berpelukan.
Sofia menitikkan air mata. Bukan karena lamaran ini, akan tetapi kisah cintanya harus benar-benar berakhir.Senyum di wajah Bunda Halimah yang sejak tadi mengembang perlahan memudar kala melihat ke arah Rayyan yang tertunduk saat Sofia menerima lamaran dari saudara kembarnya.
Rayyan memegang dadanya seraya mengucapkan, "Bersabarlah wahai hati."
Rayhan menoleh ke arah saudara kembarnya kemudian memeluknya begitu erat. Rasa bahagianya tak bisa dia sembunyikan. Namun, Rayhan tak pernah tahu, tangis yang ditamlakkan oleh Sofia dan Rayyan adalah tangis pilu penuh duka lara.
Sofia dan Rayyan saling berpandangan. Mereka sama-sama berbisik dalam hati mengungkapkan rasa perih yang tak terhingga.
Rayyan merogoh kantongnya kemudian mengirim pesan pada Sofia yang mungkin untuk terakhir kalinya.
'Selamat, Sofia. Aku turut berbahagia. Meskipun kita sama-sama tahu, ada hati yang tak bisa berbohong. Aku ikhlas melepasmu untuk saudaraku. Bahagiakan dia. Dialah kekasih sejatimu.'
"Saya terima nikah dan kawinnya Sofia Zahra binti Khairul Azzam dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Sah?" tanya Ustaz Azzam."Tidak Sah!" teriak Rayyan dengan lantang.Semua mata tamu yang hadir mengarah padanya. Rayhan yang sebagai mempelai laki-laki memasang wajah yang tak suka.Rayyan berjalan menuju tempat di mana ijab qobul dilaksanakan. Bisik-bisik dari para tamu pun sayup-sayup terdengar. Ustaz Azzam dan Ustaz Luthfi berdiri dengan wajah penuh amarah."Harusnya aku yang di sana, bukan Rayhan!""Apa maksudmu?" tanya Ustaz Luthfi."Abi, aku dan Sofia sudah lama saling mencintai. Lalu, dia kemudian datang menghancurkan semua! Harusnya kamu tidak perlu kembali!"Semua yang hadir tercengang dengan penuturan Rayyan. Sofia yang sejak tadi membisu kini ikut berdiri.Tatapan mereka bertemu. Rayyan mengulurkan tangan hendak menarik Sofia ke sisinya. Akan tetapi Rayhan mencegahnya.
Sofia terpaku mematut diri di cermin. Dia masih tak percaya semua berlalu begitu cepat. Mulai dari rencana perjodohan hingga hari ini dia sudah resmi menjadi istri Rayhan.Air matanya masih saja mengalir membasahi pipi. Hatinya masih belum sepenihnya menerima sosok yang lain di dalam hidupnya."Sofia, jangan menangis! Tamu sudah menunggumu sejak tadi. Kasihan suamimu melayani tamu sendiri," tegur Bunda Halimah."Sofia akan menyusul, Bunda."Sofia segera menghapus jejak air matanya. Sebisa mungkin dia berusaha menyamarkan bekas air mata yang masih menempel di wajah cantiknya.Sofia berjalan pelan menuju tempat resepsi di mana para undangan dan keluarga besar berkumpul. Kedatangan Sofia begitu menarik perhatian. Bagaimana tidak, seorang cucu kiyai pengasuh pondok pesantren ini memang terkenal sebagai bunga pesantren."Jadi, ini yang namanya Sofia? Masya Allah kamu memang pintar memilih, Han," puji seorang wanita y
"Sofia, saatnya shalat subuh."Rayhan mencoba untuk membangunkan Sofia. Jarum jam sudah menunjuk ke arah angka 5."Sofia."Digoyangkannya sedikit tubuh Sofia. Rayhan mengerti, mungkin karena terlalu kelelahan.Sebenarnya sejak tadi Rayhan ingin mengajaknya shalat malam bersama. Namun, urung dilakukan. Dia berpikir Sofia pasti sangat kelelahan."Sofia." Rayhan terus berusaha. Hingga Sofia mengerjapkan mata.Sofia tersentak saat mendapati sosok yang lain di depan matanya.Lama baru dia tersadar bahwa sekarang dan seterusnya akan ada Rayhan di sampingnya."Maaf, aku tahu kamu lelah. Cuma, sekarang waktunya shalat subuh," ucapnya seraya tersenyum.Sofia melirik ke arah jam yang menempel di dinding kamarnya. Segera diubahnya posisi menjadi duduk."Aku pergi dulu, ya. Sudah telat. Assalamu'alaikum," pamit Rayhan kemudian berlalu meninggalkan Sofia."Wa'alaikumussalam," li
"Sofia, bisa aku memelukmu?" bisik Rayhan saat malam semakin larut.Sofia yang mendengar itu sedikit gugup. Badannya gemetaran, tangannya mengepal kuat suasana berubah jadi panas.Rayhan masih menunggu jawaban istrinya. Biar bagaimana pun, dia lelaki normal. Setelah resmi menikah, hanya bersentuhan tangan dan baru dua kali mengecup kening istrinya.Rayhan paham, Sofia juga butuh proses. Maka dari itu, dia berusaha untuk bersabar hingga Sofia sudah siap."Kamu sudah tidur, ya?" tanya Rayhan lagi.Kali ini Sofia berani menjawab. "B-belum."Rayhan sedikit mendekat kemudian kembali bertanya. "Boleh mas memelukmu? Tenang saja, aku hanya memelukmu dari belakang. A-aku janji tidak lebih dari itu."Sofia berpikir sejenak. Tak ada salahnya jika hanya memeluknya. Toh, mereka juga sah.Sofia membalikkan tubuhnya lalu mendekatkan diri ke dalam tubuh Rayhan. Getaran terasa di antara ke duanya. Dengan sedi
"Sofia, bangun. Kita shalat tahajjud," bisik Rayhan di telingan Sofia.Sofia masih tertidur pulas. Rayhan menjadi tidak tega untuk membangunkannya kembali.Senyum terukir indah di wajah Rayhan. Dia begitu bahagia setelah ibadah bersama semalam.Rayhan melenggang pergi untuk mandi kemudian melaksanakan shalat tahajjud.*Sofia mengerjab kala sayup-sayup terdengar suara seseorang yang sedang melafazkan kalam Allah.Dipandanginya wajah yang beberapa hari ini menjadi suaminya. Kalau bisa jujur, di dalam hati Sofia belum hadir sedikitpun rasa cinta untuk Rayhan. Hatinya masih saja tertuju hanya untuk Rayyan.'Ragaku memang miliknya. Akan tetapi, hati ini masih milik Rayyan. Apa aku berdosa, Ya Allah?" bisik Sofia dalam hati.Sofia juga kadang tak mengerti apakah ini dosa atau bukan. Namun, menjalani biduk rumah tangga dengan seseorang yang sangat asing baginya sungguh sangat menyiksa. Terlebih
"Kamu kenal dia, Mas?" tanya Sofia saat mereka sudah menjauh dari Afifah."Kamu cemburu?" goda Rayhan. Hal itu membuat Sofia sedikit salah tingkah.Tidak. Sofia sama sekali tidak cemburu melihat kedekatan mereka. Hanya saja, Sofia tidak ingin mengetahui kenyataan bahwa Afifah adalah bagian dari masa lalu suaminya.Bagi Sofia, bisa jadi Afifah seperti Rayyan yang memiliki tempat khusus di hatinya.Siapa yang bisa menjamin bahwa tidak ada sesuatu di antara ke duanya. Melihat bagaimana tatapan Afifah pada suaminya dan pengakuan Afifah tentang sosok yang dia kagumi dulu."Apa kamu cemburu?" tanya Rayhan kembali. Sofia terhenyak dari lamunannya."Tidak. Aku hanya bertanya," jawabnya cepat.Rayhan menggenggam tangan istrinya begitu erat. Senyum di wajahnya terukir. Rayhan berpikir, Sofia sudah mulai sedikit membuka hatinya.Rayhan membawa istrinya duduk di taman dekat mesjid pesantren. Ditata
[Temui aku di perpustakaan]Rayyan mengembuskan napas kasar saat membaca sebuah pesan yang masuk dua puluh menit lalu.Tangan kanannya memijit kuat kepalanya. Berulang kali dia mencoba untuk berpikir jernih namun tak bisa. Akhirnya Rayyan memilih untuk mengabaikan pesan itu.*"Mbak, telurnya gosong," tegur salah satu santri ndalem yang sedang membantunya memasak.Sofia tersentak dari lamunannya. Tangaannya dengan cepat mematikan kompor. Bau hangus menyeruak di dalam ruangan.Sofia mundur perlahan kemudian digantikan oleh santri yang menegurnya tadi."Ada apa, Nak?" tegur Umi dengan lembut."Kamu sakit?" tanya Umi Aisyah lagi saat tam mendapag jawaban dari menantunya.Umi Aisyah memandangi wajah menantunya yang sedikit pucat. Segera dia membawanya ke meja makan untuk duduk sebentar.Umi Aisyah memanggil salah satu santri lalu menyuruhnya untuk membawakan segelas air putih. Umi mem
"Ada apa, Dek?" tanya Rayhan khawatir saat mendapati istrinya terduduk di lantai."Aku baik-baik saja, Mas."Rayhan tidak semudah itu percaya. Akhir-akhir ini Sofia terus menangis tanpa dia tahu apa penyebabnya.Rayhan membawa tubuh Sofia di dalam pelukannya. Sungguh, dia tidak tahu harus berbuat apa."Rindu bunda?" tanyanya lagi.Sofia tetap memilih diam. Saat ini hatinya begitu terluka. Pertanyaan dari suaminya pun dia abaikan.Rayhan dengan sabarnya tetap menunggu jawaban dari istrinya. Baginya, dia harus mencari tahu penyebab Sofia akhir-akhir ini menangis.*Sofia gegas menuju ruang makan setelah membersihkan diri. Berulang kali dia mengecek matanya yang tambak sedikit membengkak karena terus-terusan menangis. Dia tidak ingin mertuanya tahu.Setelah yakin semua tampak baik-baik saja, Sofia melangkah dengan penuh keyakinan.Di ruang makan tampak para santri ndalem
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu