"Sofia?" Alis Sofia mengkerut kala membaca sebuah nama yang terukir indah di sebuah buku usang milik suaminya. Jantungnya berpacu dengan cepat. Apakah yang dimaksud suaminya adalah dirinya atau justru perempuan lain? Sosok yang memiliki nama yang sama dengan dirinya. Tangannya mendadak bergetar hebat. Dadanya mulai terasa nyeri. Bagaimana jika nama itu bukan dirinya?Pikirannya melalang buana kala ingatannya tertuju pada ucapan suaminya saat mereka masih berstatus pengantin baru. "Apa dia perempuan yang dimaksud Mas Rayhan dulu?" Tangannya langsung menutup buku usang itu. Matanya mulai berembun. Sesak di dalam dadanya semakin terasa. Air mata itu lolos begitu saja. Tiba-tiba tangan mungil menyentuh pipinya. "Ummah nangis?" tanya bayi tiga tahun itu. Sofia berusaha mengulas senyum. Tangannya dengan cepat menghapus jejak air matanya. "Tidak, Jagoan! Ummah tidak menangis."Sofia memutuskan untuk melupakan saja tentang nama yang mirip dengan namamya itu. Dia kembali merapikan buk
"Tulisan ini ...."Sofia memperhatikan barisan huruf serat gaya penulisannya. Dia seperti sangat mengenal siapa pemilik tulisan tangan di kertas berwarna merah muda.Sofia mulai membaca kata demi kata yang tertulis di dalamnya. Semakin dia membaca tulisan itu semakin dia merasa seolah terbawa ke masa lalunya.Dia seolah begitu mengenal isi di dalam surat itu."Ini kan ...." Sofia menutup mulut tak percaya.Kertas berwarna merah muda itu terjatuh di tangannya. Jantungnya berpacu dengan cepat.Tangannya dengan cepat membuka satu persatu kertas yang terlipat berbentuk hati itu. Sofia membaca dan memperhatikan setiap untaian kalimat di dalamnya."Dari mana Mas Rayhan dapatkan surat-suratku dulu?"Sofia tak menyangka surat yang pernah dikirimkan untuk Rayyan, ada pada Rayhan."J-jadi selama ini Mas Rayhan sudah tahu hubungan kami? Kenapa dia seolah belum tahu?"Teka-teki kini t
"Mas tidak pernah sekalipun merebut kamu dari Rayyan. Mas justru merebut kembali cinta pertamaku. Wanita yang kuperjuangkan selama ini adalah kamu, Sofia.""Aku?""Ya, surat-surat itu, Mas lah pengirimnya."Duar.Bagai dihantam keras oleh bebatuan yang begitu besar saat mendengar penuturan Rayhan.Sofia perlahan mundur. Tubuhnya bergetar disertai jantung yang berpacu. Wajahnya berubah pias."Mas tidak sedang bercanda kan?" tanya Sofia ragu.Akal sehatnya menolak kenyataan yang ada. Padahal bagi Rayhan ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya."Buat apa?""Untuk menarik perhatian kamu?" Sofia memilih bungkam."Kenapa baru sekarang?" Kini, Rayhan yang memilih diam."Jadi, selama ini ....""Ya, akulah cinta pertama kamu yang sebenarnya. Bukan Rayyan."Sofia terduduk. Akal dan hatinya masih belum menerima kenyataan yang ada."So
"Hari ini setelah membentuk susunan kepanitiaan, kita langsung bergerak ya?" ucap laki-laki yang berperawakan tinggi dengan kopiah putih."Siap, Kak!" jawab kami serentak."Insya Allah sekarang H-14, kita harus kerja ekstra demi menampilkan hasil yang terbaik. Saya butuh kerjasama kalian.""Baik, Kak!"Laki-laki yang ditunjuk sebagai ketua panitia tadi mulai membagi tugas kami masing-masing.Sosoknya begitu bersahaja dan santun. Ketika ada yang bertanya, dia akan menjawab dengan tenang. Aku hanya bisa menyinak setiap penjelasan darinya."Ukhty, namanya siapa?" tanyanya lembut.Aku tersentak dari lamunan kala sosoknya berdiri tepat di depanku."A-aku?" tanyaku ragu. Dia mengangguk pelan."Sofia Azzahra," jawabku gugup.Jujur saja, ditatap seperti itu membuatku salah tingkah. Jantung ini beroacu dengan cepat. Tubuhku bergetar.Dia lantas tersenyum lalu mulai men
"Sofia. Nama yang indah," gumamku sendiri kala para panitia membubarkann diri. Tinggal aku sendiri.Aku mengulas senyum kala membayangkan kembali wajah cantiknya."Astagfirullah."Aku tidak boleh seperti ini. Bukankah membayangkan wajah yang bukan mahram kita adalah dosa?Segera kutepis banyangannya dan terus beristigfar. Lisan ini tak berhenti memohon ampun hingga kaki yang tadinya melangkah menjauh dari aula, berhenti sejenak."Sofia?"Kuedarkan pandangan di sekitar. Sepi. Jarak aula memang berada paling belakang.Entah dorongan dari mana aku justru memanggilnya."Ukhty!"Ah, sial! Ini salah bukan? Bahkan aku menghampirinya.Aku sebenarnya mengenal dia. Cucu Kiyai Abdullah. Putri bungsu Ustaz Khairil Azzam.Aku mengajaknya berbincang hingga lisan ini berani mengatakan akan membawa namanya ke dalam doa.Ah, bukankah ini berlebihan atau aku yang terlalu
Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini semenjak dia ada di sekelilingku. Dia hadir dengan penuh kejutan lalu kemudian pergi begitu saja tanpa jawaban.Dia selalu begitu. Hadir secara tiba-tiba kemudian pergi meninggalkan sejuta tanya. Apa dia sengaja membuatku terus memikirkan tentang dia?Seperti saat ini, tiba-tiba dia memintaku untuk menemaninya mengurus sisa persiapan untuk pentas nanti. Bukankah ini tugas seorang laki-laki? Bukankah dia itu sangat menjaga batasannya dengan seseorang yang bukan mahramnya?"Kamu kenal dekat dengan Harun?"Aku yang sedang serius mengamati kinerja rekan-rekan panitia tersentak begitu mendengar suara bariton yang kukenal.Saat aku menoleh mataku menangkap sosok dengan pandangan yang begitu dingin. Ya, Siapa lagi kalau bukan sosok ketua panitia yang diidam-idamkan oleh para akhwat."Aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku hanya tahu dia adalah salah satu panitia di sini. "Rayhan tidak menggubris ja
"Rey, aku mau minta tolong dong," ucapku kala kami sedang duduk di bawah pohon."Apa?" tanyanya dengan tatapan yang begitu dingin.Begitulah dia, wataknya emang jauh berbeda denganku."Aku sedang dekat dengan seseorang. Dia adalah Sofia, cucu dari Kyai Abdullah.""Lalu apa hubungannya denganku?""Aku ingin kamu menjadi kurir untuk kami berdua."Rayyan yang sejak tadi fokus membaca buku karya Habib Umar bin Hafidz menoleh padaku."Maksudnya?""Iya, selama ini kami sering mengirimkan surat-surat. Ya, selama ini kami melakukan itu secara sembunyi-sembunyi. Aku takut suatu hari nanti kalau ketahuan, aku dan Sofia pasti dihukum lalu aku harus apa?"Aku pun menjelaskan apa yang harus dia lakukan. Dia harus menjadi kurir untuk kami.Setelah melalui beberapa perdebatan, akhirnya dia menyetujui juga tentunya dengan iming-iming dariku. Setelah menulis surat itu, aku menyerahkan pada Rayyan. Dia dengan tata
Semenjak pertemuan itu dia terus mengirimkan surat-surat padaku. Berbagai lantunan puisi dan untaian kata-kata yang indah menghiasi hari-hariku.Aku bahagia. Hari-hariku terasa indah semenjak kehadirannya di dalam hidupku. Dia mampu merubah hidupku yang awalnya biasa saja berubah menjadi indah.Seperti hari ini dia menyelipkan secarik kertas itu di bawah pohon rindang. Lebih tepatnya di bawah tumpukan batu. Seperti biasa saat sore menjelang, ketika kegiatan hari ini kosong, aku bergegas berjalan menuju pohon rindang itu.Sebelum mengambil kertas itu aku harus memastikan, apakah keadaan sekitar sudah aman atau tidak. Setelah terasa cukup aman, tanganku perlahan membongkar satu persatu tumpukan batu dan muncullah kertas itu.Senyum terukir di wajahku kala melihat namanya tertulis indah di sampul."Rehan," gumamku. Aku segera mengambil kertas itu lalu berlari kecil menuju kamar.Saat ini suasana rumah begitu sepi.
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu