~Ujian apa yang datang pada manusia tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana manusia itu menyikapi setiap ujian yang datang~
Proses pencarian Sagita sangat amat menguras tenaga dan pikiran. Mereka semua memang tidak ingin menyerah, walau pada kenyataannya petunjuk dimana Sagita belum juga didapatkan. Ada beberapa orang yang dicurigai sebagai Sagita. Bahkan salah satunya mayat yang ditemukan di sungai. Untungnya mayat itu memang bukan Sagita. Orang suruhan papa Delia memang sudah mengkonfirmasinya."Ini memang melelahkan. Tapi kita jangan putus asa." Dino yang sedang menyetir berkata. Ada Doni di sampingnya dan ada Risa yang duduk di kursi belakang. Risa tengah sibuk mengecek sosial media. Guna mengetahui sejauh mana banner online tentang hilangnya Kak Sagita itu efektif. "Bagaimana Risa? Apa ada info dari media sosial? Siapa tahu ada yang melihat Sagita." Doni bertanya pada Risa. "Tidak ada. Meskipun fo~Orang yang jahat terkadang sudah tahu jika yang ia lakukan adalah kejahatan dan merugikan orang lain, namun memang begitulah mereka~Ckrek!Pintu kamar tempat Sagita disekap terbuka. Kini terang sudah bagi Sagita siapa tamu yang datang. Tamu itu jelas bukan bala bantuan bagi Sagita. Justru sebaliknya, tamu itu adalah orang yang sangat diwaspadai Sagita selama ini. Ibu dan bapaknya Danar. Sagita menahan napas begitu melihat kedua orang ini."Hai, menantu kesayangan kami. Apa kabar? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu merindukan kami? Kurang ajar sekali kamu ya. Kamu sudah buat hidup Danar menderita, hidup kami menderita, dan sekarang kamu mau menikah sama Jidan? Yang juga teman suamimu itu? Aduh Sagita. Kamu ini benar-benar kurang ajar. Selama ini ternyata kamu selera juga dengan Jidan. Gila kamu ya!" Ibunya Danar berkata seperti itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah kepala Sagita. Sagita hanya diam, ia tidak berniat untuk adu argumen dengan wani
~Hal buruk bisa terjadi kapanpun, lebih baik membereskannya daripada hanya marah-marah~"Kamu mau makan apa Ris?" Dino bertanya pada Risa. Risa menggeleng."Loh, jangan gitu dong. Kamu harus makan. Mencari Kak Sagita kita butuh tenaga." Dino berkata dengan lembut. Di sampingnya duduk Doni yang malah sudah sibuk mengambil emping dan kacang. Ia mulai mengunyah. Saat itu mereka memang tengah ada di salah satu rumah makan Padang."Aku enggak selera. Kalian saja yang makan.""Kamu jangan gitu Ris. Ini sudah malam. Sudah waktunya makan malam. Setelah makan malam ini, kita lalu lanjutkan pencarian sejenak, setalah itu kita pulang kembali mengantar kamu ke rumah Kak Delia."Risa mengerutkan dahinya seolah dia tidak senang dengan apa yang dikatakan oleh Dino barusan. Dino yang melihat ekspresi Risa langsung jadi salah tingkah. Ia sampai menggeser duduknya lebih dekat ke arah Doni. Doni juga jadi ikut salah tingkah.
~Wanita memang sangat sensitif perasaannya. Sulit bagi mereka mengandalkan logika dalam situasi genting dan menyedihkan~"Teman kamu itu kenapa sih Dek? Lagi ada masalah ya?" Seorang polisi yang tubuhnya paling gempal bertanya pada Dino."Iya Pak. Kami ini sedang mencari teman kami yang hilang. Namanya Sagita. Bapak tahu tentang kasus itu?" Dino akhirnya buka suara."Oh, itu. Saya tahu. Wanita yang hilang pas pergi beli obat itukan? Kami tahu dong, kami semua langsung diberitahu jika ada informasi tentang orang hilang. Apalagi yang namanya Sagita itu, dia sepertinya punya kenalan orang penting di sini. Buktinya komandan kami sampai memprioritaskan untuk mencari dia. Tapi ya memang begitu, untuk mencari seseorang yang hilang butuh waktu dan kesabaran. Karena orang yang hilang itu bisa ada dimana saja dan petugas polisi kita juga terbatas jumlahnya dan apalagi tugas kami ini bukan cuman hanya mencari orang hilang." Polisi gembul itu berk
~Berusahalah sampai batas mampu, sampai dimana tidak ada lagi upaya yang harus diupayakan. Menyerah bukan pilihan bagi orang-orang yang masih punya harapan~"Kamu harus kasih makan dia juga Danar, jangan sampai dia mati atau penyakitan. Nanti harganya jadi murah. Kamu juga yang rugi." Ibunya Danar memberi saran pada Danar. Danar yang sedang siap-siap untuk tidur mendengarkan. Mereka memang tidur di satu ruangan yang sama. Ruangan tengah. Itu karena memang hanya ada ruangan itu yang tidak dipakai selain ruangan yang dipakai Sagita, dapur dan juga kamar mandi. Selain itu, bersama seperti itu juga akan memudahkan mereka pergi jika tiba-tiba ada bahaya yang mengancam mereka."Itu benar kata ibu kamu Danar. Sebaiknya kamu kasih saja Sagita makan sekarang pakai sisa-sisa nasi yang tadi kita makan. Kasih minum juga biar ginjalnya tidak sakit. Kalau ginialnya sakit bahaya juga kita, sepertinya itu yang paling mahal.""Tidak Pak. Bukan ginjal y
~Pertolongan yang datang di waktu yang tepat layaknya sebuah keajaiban~Malam itu kembali Sagita harus tidur dengan tangan terikat. Danar kembali mengikat tangan Sagita dengan kencang. Setelah itu, ia lalu tidur. Kini ia bisa tidur dengan tenang karena menurutnya tidak mungkin Sagita bisa kabur. Marah-marah pada Sagita seharian ternyata juga membuat dirinya lelah. Danar memjamkan mata dan tidur dengan lelap. Ibu dan bapaknya juga. Bahkan mereka tidak terganggu dengan suara Danar dan Sagita yang tadi sempat berisik.Sagita tidak sama dengan Danar. Matanya masih terbuka. Matanya masih enggan untuk diajak tidur. Ia masih mengingat momen saat ia tidak sengaja malah melihat ke arah bola mata Danar. Bola mata yang menurut Sagita penuh api kesadisan.Kresek! Kresek! Kresek!Sagita tersentak, ia seperti mendengar sesuatu. Ia seperti mendengar suara seseorang yang menginjak rumput. Sagita segera mendekatkan diri ke dekat jendela deng
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat