“Pa-pak Genta.”Ketika Rindu menyudahi pertemuannya dengan beberapa orang yang ada di pameran mobil, tiba-tiba ia mendapati sosok Genta telah berdiri tepat di hadapannya. Rindu mundur satu langkah sembari memberi senyum canggung.Kilasan kalimat Reno mengenai siapa ayah Rindu, mendadak muncul di kepalanya. Itu berarti, Genta adalah menantu dari pria yang sudah dibunuh oleh ayah Rindu dahulu kala.“Saya mau ke sana dulu,” ujar Rindu seraya mengangguk dan mengarahkan telunjuknya ke sembarang arah. Rindu tidak pernah menduga, kalau akan bertemu dengan Genta di pameran mobil seperti sekarang. Namun, jika dilihat lagi, Genta memang memiliki beberapa showroon mobil yang tersebar di ibukota. Jadi, mungkin karena itu Rindu bisa bertemu dengan Genta di tempat tersebut.“Permisi, Pak,” pamit Rindu ingin segera melarikan diri dari pria itu.“Ett!” Genta merentangkan satu tangan lalu menahan tubuh Rindu yang baru hendak pergi darinya. “Kita ngobrol bentar.”Genta kembali menempatkan Rindu di hada
“Ibuu …” teriak Rindu ketika baru membuka pintu rumah yang memang tidak pernah dikunci sehari-hari. Rumah hanya akan terkunci rapat, ketika tidak ada seorang pun di dalam rumah. “Di mana?”“Di belakang.”Mendengar teriakan balasan dari sang ibu, Rindu segera melangkah menuju ke tempat asal suara. Ia mendapati Tiara, tengah menyetrika setumpuk pakaian di belakang.“Bu …” Rindu menghela seraya menyandarkan tubuh pada bingkai pintu.“Sudah makan belum?” tanya Tiara melihat Rindu sekilas, kemudian meneruskan kegiatannya. “Ibu masak sayur asem sama ikan goreng, ada sambal juga.”“Nggak laper,” jawab Rindu lalu merosot dan mendudukkan dirinya di lantai ubin dengan bersila. Masih bersandar, sembari menelisik wajah Tiara yang mulai dipenuhi dengan guratan tua karena usia.“Rindu.” Tiara menegakkan setrikanya dan langsung mencabut steker dari stop kontak. “Coba kamu ngaca ke kamar Lita sekarang. Kamu itu tambah kurus. Jangan ngurusi kerjaan aja, sampai lupa makan. Nanti kalau sakit, kamu sendi
Setelah pergi menemui sang ibu, hati Rindu tidak menjadi lebih lega. Justru, Rindu semakin berkutat dengan banyak pertentangan yang sedang bergulat di dalam dada. Satu yang Rindu sadari ketika ia berpisah dengan Dewa, yakni hatinya sudah menjadi milik pria itu. Namun, satu fakta yang tidak bisa sama sekali Rindu terima, membuat semuanya begitu sulit untuk dijabarkan.Lantas, bagaimana caranya Rindu mengikhlaskan semua itu? Rindu bukan Tiara, yang bisa sabar karena sudah berada di zona nyamannya. Menutup mata dari masa lalu, yang benar-benar sudah dibuang jauh dari ingatan. Sementara Rindu, ia masih tidak sanggup untuk melakukan hal tersebut karena tumpukan ego yang masih bergejolak pada gadis seusianya.Sampai akhirnya, Rindu membelokkan roda duanya menuju gedung apartemen tempatnya dahulu tinggal bersama Dewa.Rindu memasuki lobi, dan meminta access card pada resepsionis yang sudah sangat hafal dengan dirinya dahulu kala. Rindu rasa, ia tidak perlu menghubungi Dewa sama sekali untuk
“Ergh …” Saat geraman tertahan itu terlontar dari mulut Dewa, di situlah Rindu tersadar. Fokus akan warna kemeja Dewa yang berubah warna, seketika terpecah. Rindu dengan cepat menarik pisau tersebut, hingga terjatuh di lantai begitu saja. “Dokter!” Rindu berseru panik dengan sekujur tubuh tremornya. Ini kali pertama, Rindu melihat darah segar yang merembes tepat di depan mata. Terlebih, Rindu juga punya andil besar dalam hal tersebut. “Ambulans! Rumah sakit!” Rindu yang hendak berlalu dari hadapan Dewa untuk mencari pertolongan, segera dicekal oleh pria itu. Dewa menggeleng kesakitan sembari mencengkram tangan Rindu. Perlahan, tubuhnya merosot jatuh, lalu bersandar pada kitchen island dengan membawa Rindu bersamanya. “Aku panggil orang dulu!” Bingung bercampur panik, karena darah yang berada di sisi perut Dewa semakin melebar di kemeja putihnya. “Nggak, nggak!” Rindu menarik tangannya agar terlepas dari Dewa secepat mungkin. Ia meraih satu tangan Dewa dan merentangkan di balik k
“Lukanya nggak dalam,” ujar sang dokter yang tengah menjahit luka sayatan di sisi perut Dewa. “Miring sedikit, kelar hidup, lo, Wà!”“Berengsek!” maki Dewa hendak tertawa, tapi harus menahan nyeri pada perutnya.Beberapa menit yang lalu, Reno datang membawa seorang dokter yang juga termasuk dalam circle keluarga Lee. Reno membawa Rindu untuk menunggu di luar, meninggalkan dokter yang datang membersihkan, dan menangani luka Dewa, hanya berdua di dalam kamar.“Cewek baru?” tanya Yoga, dokter yang saat ini duduk di samping Dewa.“Hm,” jawab Dewa dengan menggumam singkat.“Berantem?”“Hm.”“Toxic, Wà! Belum jadi istri sudah main tusuk.” Yoga menggeleng dan tetap berkonsentrasi dengan jahitannya. “Ini, lo, ngindar atau gimana?”“Gue yang toxic, Ga,” ralat Dewa tidak ingin Rindu tampak buruk di mata sang dokter, yang sudah bergabung dengan Lee Grup sejak lima tahun yang lalu. “Gue yang nusuk diri gue sendiri.”“Pantas.” Akhirnya Yoga terkekeh setelah mengetahui jawaban Dewa. “Lo, nusuknya
Rindu berdiri canggung, tapi hatinya sungguh merasa lega karena melihat Dewa yang masih membuka mata. Maniknya lalu berlari pada selembar kertas yang ada di nakas dan mengambilnya. “Ini resep dokter?” tanya Rindu sembari mencoba membaca tulisan yang tidak dimengerti olehnya. Namun, belum sempat Dewa memberikan jawaban, Rindu langsung berbalik dan pergi ke arah pintu. Membukanya, dan melihat Reno berdiri tepat di depan sana bersama Yoga. “Kenapa, Rin?” tanya Reno mendadak gugup. Ia khawatir, kalau pembicaraan mereka barusan terdengar oleh Rindu. “Ini resep obatnya.” Rindu memberikan secarik kertas pada Reno, lalu menganggukkan kepalanya sejenak pada Yoga. “Tolong minta beliin siapa gitu, Pak. Secepatnya, ya, biar obatnya bisa diminum sama pak Dewa.” “Ohh ….” Riko langsung membuang napas lega dan mengambil kertas tersebut dari tangan Rindu. “Oke, oke, biar aku suruh orang beli sekarang.” Rindu mengangguk. “Makasih, ya, Pak. Kalau bisa cepetan.” Rindu kembali menutup pintu, lalu me
“Dewa … Sorry!”Reno segera memundurkan langkahnya, dan kembali menutup pintu dengan rapat. Harusnya, Reno mengetuk pintu terlebih dahulu ketika hendak masuk ke dalam kamar. Namun, karena ia terburu-buru, akhirnya Reno langsung saja membuka pintu tersebut, dan melihat sebuah adegan yang cukup membuat kedua matanya tercemar.Sementara itu, Rindu langsung berdiri seketika saat mendengar suara Reno yang tiba-tiba membuka pintu. Wajahnya langsung memerah malu, dan menunduk salah tingkah untuk menyembunyikan semua itu dari Dewa.“A-ku keluar bentar,” ujar Rindu lalu melangkah cepat ke arah pintu dan membukanya. Tepat di depan pintu, ada Reno yang meringis lebar dan terlihat salah tingkah. Bukankah, harusnya Rindu yang bersikap demikian?Rindu lantas berdehem sejenak untuk membuang rasa canggungnya. “Pak Reno mau ke dalam? Apa obatnya sudah ada?”“Oh, nggak, nggak,” ujar Reno mengibaskan satu tangannya ke arah Rindu. “Aku cuma mau pamit. Aku mau siap-siap … ada undangan. Tolong bilang Dewa,
“Aku perlu waktu.” Respons Rindu tersebut, langsung membuat Dewa membuang napas panjang. Sepertinya, Dewa harus lebih bersabar lagi agar bisa memiliki Rindu seperti dahulu kala. Saat ini, Dewa tidak bisa seenaknya mengancam Dewa, karena ia tidak ingin menambah rasa benci di hati gadis itu. Semua yang dilakukan Dewa di masa lalu, sudah cukup mematahkan dan menghancurkan hati Rindu menjadi serpiha debu, Untuk itu, Dewa harus mengatur cara lain, yakni dengan mengambil simpati sang istri agar mereka bisa bersama kembali. “Hubungan kita, sedari awal memang sudah salah.” Dewa sedikit menggeram ketika berusaha bangkit dari duduknya. Ia berdiri sejenak, untuk menghela napas dan menikmati rasa nyeri di sisi perutnya. Mungkin, saat ini Reno sedang memaki atas kebodohannya. Namun, seorang Reno yang tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun, tidak akan bisa mengerti apa yang Dewa rasakan saat ini. “Biar aku bantu.” Rindu pun ikut berdiri dengan terburu, ketika melihat Dewa yang tib
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l