Share

2. Ingatan Lampau

Penulis: Bill
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-20 13:31:55

Cukup lama mereka memecah batu penjadi puing-puing kecil. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah, perlu tenaga lebih dan kesabaran tinggi pula. Penjual batu sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari, demi beberapa gunduk garam yang bisa mereka gunakan untuk menyambung hidup.

Seusai memecah batu dan tenaga terkuras habis, mereka berdua makan terlebih dahulu sebelum beranjak ke kota. Sang kakak menyiapkan bahan untuk membuat makanan, sedangkan sang adik bertugas untuk membuat api.

Ashoka memanggang daging rusa kering itu sembari menabur garam supaya lebih berasa. Askara hanya diam melihat apa yang dilakukan kakaknya. "Kau tidak sayang dengan garamnya? Kita bisa beli kapak baru dengan garam itu."

"Aku sengaja sisakan sedikit untuk bumbu makanan. Lagipula kita akan jual batunya. Setidaknya kita akan mendapatkan lagi garam, jangan khawatir." Ashoka menghidangkan makanannya diatas daun pisang, dan menyodorkannya kepada Askara untuk mereka makan bersama.

"Waahh! Shoka, makanannya sangat lezat ... I-ini benar-benar ... Benar-benar ..." Askara menyeka air air matanya yang tiba-tiba berbulir setelah menyantap makanannya. Ashoka sampai heran dengannya.

"Kenapa tiba-tiba kau menangis?"

"Ini benar-benar mengingatkanku pada Ibu." Askara menyembunyikan wajah di lipatan siku lengannya. Namun segera ia mengusap air matanya. "Ah, tidak ada waktu untuk menangisi itu. Yang penting makanan ini enak dan aku kenyang," ujarnya sembari menghabiskan daging panggangnya.

"Sekarang aku mengerti kenapa daging bakar buatan Ibu selalu enak. Aku sudah menemukan rahasianya."

"Kau bisa membuatnya lagi?"

"Ya nanti. Cepat habiskan, kita harus ke kota sekarang. Kau mau daging seperti ini lagi 'kan?"

"Baiklah." Askara kembali mengigit dagingnya. "O ya, lusa kemarin ada anak perempuan berumur lima tahun yang ingin mainan dari kerikil batu. Hari ini kita tawarkan batu ini ke rumahnya, kasihan kemarin kehabisan."

"Wah, syukurlah kalo begitu."

"Eh Shoka, apa kau ingat masa kecilmu? Jujur aku tidak ingat apapun dulu," tanya Askara.

Ashoka berhenti makan sejenak. Benar juga, ia sendiri tidak ingat bagaimana masa kecilnya. "Entahlah, ini cukup membingungkan. Aku sendiri tidak ingat. Yang kuingat hanyalah Ibu yang sering menceritakan dongeng cindaku."

"Aku juga heran, aku sama sekali tidak ingat saat dulu masih kecil. Apa mungkin kita hilang ingatan?" tanya Askara lagi.

"Rasanya tidak mungkin jika kita hilang ingatan. Ibu bahkan tidak mengatakan kita pernah kecelakaan atau semacamnya," bantah Ashoka.

"Apa ini ada hubungannya dengan Ayah yang tidak pernah kembali dari rantauannya?" Askara mulai menerka, pasalnya ia sangat merindukan sang ayah juga yang belum kembali.

"Kurasa tidak. Lagipula jika perantau belum pulang juga dan tidak ada kabar setelah lima tahun, tradisi kampung ini menganggap si perantau itu sudah meninggal." Ashoka mengambil minum dari ruas bambu yang sempat ia buat dua buah. "Sudahlah, jangan kau bahas lagi soal Ayah. Perantauannya sudah lebih dari tujuh tahun, Ayah sudah meninggal." Lelaki itu menekankan pembicaraannya.

Askara terdiam sejenak. Ia menolak percaya jika Ayahnya meninggal. Ditambah Ibunya juga belum kembali, lelaki itu berharap sang Ibu pulang tahun ini. "Ibu ... Cepatlah pulang, sudah hampir lima tahun kau menyusul Ayah dan tak ada kabar. Aku yakin selarang kau baik-baik saja disana," gumamnya lagi. Ashoka hanya menatap sendu sang Adik yang gundah akan kegelisahannya itu.

Ayah Ashoka dan Askara pergi merantau. Sebelum pergi, pria itu mengatakan hendak menyebrang lautan selat sunda guna menuju pulau yang kayak akan emas. Pulau itu terkenal dengan 'Swarnabhumi', tetangga dari pulau pasundan. Tujuan sang Ayah bukan hanya emas saja, ada satu hal yang harus dilakukan guna keberlangsungan hidup kedua anaknya.

Hanya itu patah kata yang mereka dengar, namun sejak saat itu Sang Ayah belum kunjung kembali bertahun-tahun sampai Ashoka dan Askara beranjak remaja. Karena itulah Ibu mereka menyusul kepergian sang Ayah. Namun pencarian itu seperti buntu, bertahun-tahun kemudian si Ibu maupun si Ayah tidak pernah kembali. Hal ini menuntut kedua saudara itu hidup mandiri dan diharuskan mencari makan sendiri.

"Sudahlah jangan dibahas. Kau habiskan saja sana makanannya. Biar kita bisa segera ke kota." Ashoka menghentikan pembicaraan ini. Keduanya pun kembali fokus memakan makanannya.

"Shoka ..." panggil Askara beberapa saat kemudian, keduanya berhenti makan seketika. "Jika kita pergi kota besok saja, bagaimana?"

"Hah? Kenapa? Tak biasanya." Ashoka kembali memakan makanannya. "Masalahnya kita kehabisan makanan, besok kita bisa kelaparan."

"Begitu ya, padahal aku ingin jalan-jalan bersamamu ke pegunungan," keluh Askara.

Ashoka hanya terkekeh mendengarnya. "Bukankah kita sudah tinggal di kaki pegunungan?"

"Pegunungan Chakrabuana itu luas, Shoka. Kita belum pernah ke area hutan Lemah sugih. Katanya disana sangat subur sampai dijuluki Lemah sugih, artinya juga tanah yang kaya. Kaya karena saking beragamnya bahan makanan. Banyak pohon gandaria juga, buah sangat enak sekali. Kita bisa mengumpulkannya untuk bahan makanan," jelas Askara antusias.

"Nanti saja, sekarang kita harus bekerja. Ayo bergegas!" titah Ashoka sambil menjewer telinga adiknya.

"Ouh, telingaku tak perlu ditarik juga 'kan?" Askara dengan cepat menghabiskan daging santapan paginya. 

Entah kenapa ia malas untuk berniaga ke kota hari ini. Ia ingin menjelajahi pegunungan Cakrabuana yang konon katanya dipenuhi pohon gandaria yang enak buahnya. Jika mereka pulang dari kota nanti, Askara berniat mengajak Ashoka ke sana. Buah gandaria bisa jadi penambah persediaan makan pengganti daging buruan.

Yang jelas hari ini, Askara ingin terus bersama Ashoka. Mimpi menyeramkan itu telah mengingatkan Askara pada kedua orang tuanya yang tidak kunjung kembali dari rantauan. Karena itulah hari ini Askara malas berniaga. Meski begitu ia tetap harus bekerja, padahal ia ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama sang kakak.

Entah kenapa hari ini perasaan Askara diliput kecemasan sampai-sampai enggan pergi ke kota.

Bab terkait

  • Cindaku Sang Penguasa   3. Fakta dari Mitos

    Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan. Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu. "Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka. "Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu. Pemuda itu mulai cemas, ka

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Cindaku Sang Penguasa   4. Tragedi Terburuk

    Cindaku!? 'Tidak mungkin, monster itu benar-benar ada? Ini mimpi. Ini pasti mimpi!' Askara melangkah mundur. Jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Lelaki itu beradu netra dengan mosnter itu. Askara kian mundur seiring apa yang di depanya melangkah maju. Saat badannya terjerembab karena tanaman rambat yang membelit, disana Askara merasakan sakit. Berarti ini bukan mimpi. Sialan! Kenapa kejadiannya sama persis dengan mimpinya semalam? Dimana dirinya mencoba lari dari cindaku namun tanaman lilit menjadi penghambat karena membelit kakinya. Tiba-tiba anak panah melesat dan mendarat tepat di bola mata makhluk itu. Seketika terdengar raungan yang menggelegar di seisi hutan. Bersamaan dengan itu, Ashoka datang menghampiri adiknya sambil memotong tanaman rambat yang melilit kakinya. "Ayo lari!" pekik Ashoka menyeret Askara supaya lari menjauhi monster itu yang sepertinya benarlah

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Cindaku Sang Penguasa   5. Ilham Kekuatan

    Ashoka banyak memuntahkan darah, saat cindaku memotong sebagian organnya. Gigi-gigi itu maju perlahan mengunyah tubuh Ashoka dari kaki hingga ke perutnya, menyisakan dada, kepala, dan dua tangan yang menggelantung. "La--ri ... A-as-ka ..." rintih Ashoka saat kondisinya sedang sekarat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang. Meskipun begitu, ia masih mengingat Askara dan berusaha menyerunya dalam bentuk rintihan yang mustahil terdengar langsung oleh adiknya. Glek ... Tubuh Ashoka yang tersisa ditelan bulat-bulat dalam mulut makhluk itu. Darah sang kakak terlihat bercipratan di mulut cindaku itu. Seperti tidak menyia-nyiakan makanan lezatnya, cindaku itu menjulurkan lidah panjangnya dan menjilat bercak darah di wajahnya. "T-tidak mungkin ... Sho--ka ...?" Askara membisu, dadanya terasa sesak sampai tak sanggup berkata kala melihat jasad sang kakak tewas tepat deapn matanya. Sampai air m

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Cindaku Sang Penguasa   6. Sang Penyelamat

    Setelah melalui kehampaan yang diselimuti gelap, Askara berhasil terbangun. Ia merasakan pegal-pegal dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia menyadari punggungnya tengah terbaring di atas kayu, terasa agak geli karena kulitnya menyentuh langsung pembaringan keras nan padat itu. Askara terhentak sesaat setelah melihat kondisinya yang tak mengenakan pakaian atas. Telanjang dada sampai ke pusar. Pemuda itu mengedarkan pandangan guna mencari apapun untuk menutup tubuh kurusnya. Hanya saja setiap sendi bergerak, otot-ototnya terasa sakit sampai-sampai dirinya tak mampu bangkit bahkan untuk duduk sekalipun. Askara meringis kesakitan, tulang-tulang tubuhnya serasa remuk, menggerakan kepala pun harus disertai tenaga. Lelaki itu berakhir menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya, ia putus asa dan siap mati kapan saja. "Jangan banyak bergerak, Nak. Kau belum pulih." Askara sedikit terke

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Cindaku Sang Penguasa   7. Manusia Terpilih

    Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar. "Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang. "Apa itu?" Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?" Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah. Lagi-lagi Dwara ters

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Cindaku Sang Penguasa   8. Darah Ksatria

    "Kau manusia terpilih, Nak." Askara terkejut dengan apa yang dikatakan Dwara. Bukan hanya itu, mata biru pria itu membuatnya sedikit gentar. Warna mata yang tak lazim, biru berlian dengan garis pupil memutar dan bersinar. "Anda s-sebenarnya siapa?" Askara beringsut mundur dari balok ranjang kayu yang ia duduki. Mata Dwara kembali terkatup, ia membuang nafas sambil terpejam. Beberapa saat kemudian matanya kembali menjadi normal dan seperti sedia kala. "Aku sepuh pendekar Adiwira," katanya saat mata biru itu menghilang. "Pendekar Adiwira?" Alis Askara mengkerut, antara percaya dan tidak dengan pengakuan pria itu. "Jadi tokoh pendekar melegenda itu benar-benar ada?" Setelah mendengar hal itu, Dwara pun beranjak menghampiri sebuah bak air yang letaknya di bibir gua. Pinggir-pinggirnya terdapat obor api dengan asap yang lumayan mengepul. Airnya sangat jernih sampai bisa dipergunakan untuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21
  • Cindaku Sang Penguasa   9. Senjata Kujang

    "Jadi anda adalah sesepuh adiwira?" tanya Askara. Dwara lagi-lagu terkekeh mendengarnya. "Sesepuh itu bisa dikatakan tetua. Peringkatku belum setinggi itu, aku hanya melatih adiwira pemula seperti dirimu." "Lalu, aku harus memanggil anda apa?" "Kau bisa memanggilku sepuh saja," ujar Dwara. Askara yang bingung karena kesulitan membedakan kata sepuh dan sesepuh hanya bisa mengangguk asal saja. "Baiklah sepuh --Dwara." Dwara kemudian menyerahkan pakaian berbahan katun itu pada Askara. "Pakailah, dan setelah ini ikuti aku," suruhnya. Awalnya Askara menghabiskan waktu karena mengagumi pakaiannya. Pernak-pernik yang mengkilap sangat menakjubkan sampai ia sendiri ragu untuk memakainya. Lengan panjang disertai celana lembut lengkap dengan kiping kain luarannya menambah kesan indah pakaian itu. Setelah pakaian itu ia kenakan, bukan lagi pakaiannya yang ia kagumi melainkan kini beralih pada dirinya sendiri. Tukang batu yang memanfa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21
  • Cindaku Sang Penguasa   10. Tuntutan Darah

    "Jadi senjata yang akan kubawa adalah kujang?" "Yah, ini memang sedikit aneh. Belum pernah aku melatih adiwira pemula yang memegang kujang. Tapi tak apa, anggap saja aku juga latihan saat melatihmu." Dwara mulai melangkah keluar gua. "Maaf, Sepuh." Askara menghentikan langkah Dwara sampai lelaki paruh baya itu nenoleh ke belakang. "Maaf jika saya lancang bertanya. T-tapi, saya penasaran senjata apa yang sepuh pegang selama menjadi adiwira?" Merasa lucu dengan pertanyaan muridnya, Dwara malah mengulum senyum menanggapinya. "Nanti juga kau tau. Sekarang kau ikutlah denganku, kau akan masuk latihan pertama." "Baik, sepuh." Mengikuti langkah pria yang baru saja resmi menjadi gurunya itu, Askara dibawa ke pinggir sungai selepas keluar dari gua. Dwara langsung berdiri di atas batu besar yang sekilas pinggirnya terlihat memiliki ukiran yang unik. Ada dua buah batu besar yang lebih mencolok d

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21

Bab terbaru

  • Cindaku Sang Penguasa   142. Salah Tingkah

    Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La

  • Cindaku Sang Penguasa   141. Jangan Pergi

    Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se

  • Cindaku Sang Penguasa   140. Keturunan Istimewa

    Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b

  • Cindaku Sang Penguasa   139. Menebus Dosa

    Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti

  • Cindaku Sang Penguasa   138. Tahap Pemulihan

    "Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?

  • Cindaku Sang Penguasa   137. Tanda Segel Pundak

    Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany

  • Cindaku Sang Penguasa   136. Raja Ghaib

    "Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting

  • Cindaku Sang Penguasa   135. Tanda Menjalar

    Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu

  • Cindaku Sang Penguasa   134. Perkelahian Sesama Rekan

    "Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam

DMCA.com Protection Status