LOGINJessica has been married to Zander for three years, but their marriage has gone from sweet to cold. Jessica decides to do something to save their love. However, she catches Zander cheating on her with his secretary, Serena. Heartbroken, she files for divorce. However, this invites even more violent retaliation. It turns out that Zander married her only for revenge. He cupped her chin and said coldly, "Your father owes me that." Completely disillusioned, Jessica finds her real father and recovers her original identity. It turns out that she's the billionaire mafia boss's daughter. Zander panics and begs Jessica to come back......
View MorePenthouse itu terlalu sunyi.
Dari balik dinding kaca setinggi langit, kota di bawah sana terhampar seperti lautan cahaya. Aksa berdiri di sana dengan jas hitam yang bahkan tidak pernah ia sentuh sebelumnya, sementara empat bodyguard berjas gelap berjajar di belakangnya.
Seorang pria paruh baya dengan rambut memutih membungkuk hormat.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda. Rapat pembagian warisan sebentar lagi dimulai.”
Tuan muda?
Warisan?
Dua kata itu seakan tamparan.
Sebelumnya Aksa hanyalah mahasiswa miskin yang tidak mampu membayar biaya operasi neneknya. Sebelumnya ia bahkan tidak memiliki cukup uang untuk makan, apalagi menyentuh dunia yang berkilau seperti ini.
Sekarang?
Semua orang menunduk saat ia lewat.
Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. Hatinya berdesir oleh sebuah ironi pahit.
Beginilah awal semuanya terjadi…
***
“Nenek! Bangun, Nek!”
Aksa berlari di lorong rumah sakit, matanya merah, napas tersengal. Dua perawat mendorong ranjang beroda membawa neneknya yang tak sadarkan diri. Reno dan Dita mengejar dari belakang, ikut panik.
Begitu tiba di depan ruang ICU, perawat menahan mereka.
“Maaf, hanya pasien yang boleh masuk.”
Aksa memohon, “Saya cucunya, tolong izinkan saya—”
“Mohon tunggu di luar,” ujar perawat itu tegas, lalu pintu tertutup.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah serius.
“Pasien harus segera dioperasi. Ada penyumbatan di otak. Kalau tidak sekarang, risikonya besar.”
Aksa menelan ludah.
“Operasi? Tapi saya... saya nggak punya uang, Dok. Bisa nanti saya bayar setelahnya?”
Dokter menggeleng pelan.
“Maaf, harus ada uang jaminan dulu. Dua puluh lima juta untuk biaya awal.”
Dunia Aksa seolah berhenti. Reno dan Dita saling pandang, tak tahu harus berkata apa.
“Saya janji akan cari uangnya malam ini,” kata Aksa dengan suara bergetar.
Reno menepuk bahunya. “Kamu yakin mau keluar sendiri?”
“Kalau aku nggak cari sekarang, Nenek bisa pergi, No…”
Motor butut pinjaman Reno melaju di tengah udara malam yang dingin. Lampu-lampu jalan memantul di genangan air. Aksa berhenti di depan rumah besar bercat putih. Di teras, dua pria tampan berpakaian mahal sedang duduk. Mereka adalah Tristan dan Saka, teman kuliahnya yang kaya.
“Eh, anak beasiswa datang malam-malam,” ejek Tristan.
Aksa menunduk. “Aku butuh bantuan. Nenekku harus dioperasi malam ini. Aku mohon pinjam uang.”
Tristan tertawa keras. “Sudah dikasih beasiswa oleh papaku, sekarang mau pinjam uang juga? Kamu pikir kami siapa? Sudah jelek, miskin pula. Hidup jangan ngelunjak bro! Harus tau diri!”
Saka menatapnya tenang, lalu mengeluarkan kotak hitam kecil. “Kalau kamu mau uang itu, antar kotak ini ke Restoran La Vina, Jalan Kenanga nomor 18. Kasih ke meja tujuh. Selesai, uang langsung kutransfer.”
Tristan berbisik kaget, “Kamu mau suruh dia antar barang itu?”
Saka tersenyum dingin. “Kalau ketahuan, biar dia yang diseret polisi.”
Aksa menggigit bibir. Ia tahu ini tak benar, tapi waktu neneknya menipis.
“Baik. Aku akan antar.”
***
Gerimis turun saat motor butut itu menembus jalanan sepi. Aksa memeluk kotak hitam itu erat di dada.
“Demi Nenek... aku harus sampai,” gumamnya.
Namun dari belakang, suara mesin mobil mendekat cepat. Lampu menyilaukan mata. Belasan motor muncul mengepungnya.
“Apa ini?!” Aksa berteriak, berhenti mendadak.
Beberapa pria turun, mendekat tanpa suara. Sebelum ia sempat kabur, karung hitam menutupi kepalanya. Tubuhnya diseret kasar, dilempar ke dalam mobil.
“Lepasin aku! Siapa kalian?!”
Tak ada jawaban.
Seseorang menahan lengannya, lalu...
Ssst!
Jarum suntik menembus kulitnya.
Aksa mencoba melawan, tapi pandangannya mulai kabur.
Aksa tersadar di sebuah ruangan kaca yang sangat dingin, seolah berada di dalam laboratorium rahasia. Uap tipis keluar dari napasnya. Ia hanya mengenakan selembar kain tipis dengan infus menancap di tangan. Dalam keadaan bingung dan lemah, yang terlintas pertama kali adalah neneknya. Ia harus keluar dari tempat itu.
Dengan tubuh gemetar, ia menemukan pakaian medis dan mengenakannya. Panel pintu kaca merespons sidik jarinya dan terbuka, namun alarm langsung meraung dan lampu merah menyala. Suara langkah kaki terdengar terburu-buru mendekat.
Tanpa pilihan lain, ia berlari menyusuri lorong dingin yang panjang hingga menemukan sebuah ruangan luas dengan kolam air kehijauan dan perahu otomatis di atasnya. Ia melompat ke dalam perahu, menekan tuas percepatan tepat ketika pintu baja mengecil.
Perahu itu melesat keluar.
Beberapa detik kemudian, pulau yang baru saja ia tinggalkan bergetar hebat, bangunan runtuh, air bergolak, dan seluruh pulau tenggelam ke dasar laut. Gelombang besar menghantam perahu, melemparkan tubuh Aksa hingga ia terhempas ke gelap tanpa kesadaran.
Aksa terbangun dengan kepala berat. Matanya membuka. Cahaya putih menyilaukan. Tiga gadis muda berdiri di sisinya, berpakaian minim, menatapnya dengan senyum menggoda. Ia refleks menegakkan tubuh.
“Siapa kalian? Di mana aku?”
Perempuan-perempuan cantik dan seksi itu tidak menjawab, malah terlihat seperti terpesona padanya.
“Dia tampan sekali…”
“Kalau dia mau, aku rela.”
“Jangan-jangan dia malaikat?”
Aksa membelalak. "Tampan?" pikirnya. Dia mencari cermin dan betapa terkejutnya melihat wajahnya sudah berubah menjadi sosok asing yang tidak dikenalinya. Wajahnya yang dulu kurang menarik di mata perempuan kini terlihat begitu tampan dan putih, begitu pun kulit tubuhnya tampak mulus seperti aktor-aktor yang rutin melakukan perawatan.
Aksa panik sendiri. "Tidak? Kenapa wajahku jadi berubah?" Aksa teringat saat terbangun di laboratorium itu. Dia yakin itu tempat yang mengoperasinya menjadi seperti itu. Lalu berjuta pertanyaan muncul. "Siapa yang mengubahku menjadi seperti ini? Apa jangan-jangan yang menculik aku waktu itu? Kalau iya, apa tujuannya?"
Seketika pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah elegan. Rambut disanggul, bibir merah menyala, gaun satin keemasan memantulkan cahaya.
“Kalian ngapain di sini? Keluar semua!” bentaknya.
Ketiga gadis itu menunduk dan keluar tergesa, masih sempat menatap Aksa penuh kagum. Hening.
Wanita itu menatapnya tajam. “Kamu sudah sadar. Saya yang menemukanmu di pantai dua hari lalu. Katanya, pulau di tengah laut itu tenggelam. Tak ada yang selamat.”
Aksa menatapnya lekat. Kata-katanya menancap dalam. Pulau tenggelam? Ia tahu itu bukan sekadar bencana. Ada sesuatu yang disembunyikan.
Sorot matanya naik ke wajah wanita itu dan darahnya seperti berhenti mengalir.
Nyonya Rani.
Ia ingat betul wanita ini. Sang mucikari yang dulu menjadi penyedia “hiburan” bagi Tristan dan gengnya. Ratu malam yang pernah mempermalukannya di depan semua orang.
Kilasan masa lalu muncul: tawa Tristan yang mabuk, gadis-gadis yang menolak Aksa dengan jijik, suara ejekan yang tak pernah ia lupakan.
“Aku nggak mau… dia jelek banget.”
Suara itu bergema di kepalanya lagi, menusuk hati yang dulu nyaris mati.
Namun kini, situasi berbalik. Wajah barunya membuat dunia menunduk. Gadis-gadis yang dulu akan menertawakannya kini rela menyerahkan segalanya tanpa bayaran. Tapi Aksa justru merasa mual. Dunia ini palsu.
Ia menatap wajah di cermin. Wajah sempurna. Seolah diciptakan.
“Siapa aku sebenarnya?” Aksa terinhat lagi neneknya. Ia berdiri. “Terima kasih sudah menolong saya. Tapi saya harus pergi.”
"Tunggu!" pinta Nyonya Rani.
Aksa menoleh. "Ada apa?"
"Tas kamu ketinggalan," jawab Nyonya Rani. "Aku menemukan kamu berikut tas itu."
Aksa heran lalu mengambil tas hitam di pojok ruangan itu. Dia memeriksa isinya, bertapa terkejutnya saat dia menemukan kartu identitas bernama: BENI PRAMUDITA, yang foto wajahnya sama seperti wajahnya.
"Kenapa wajahku mirip sekali dengan nama di kartu identitas ini?"
Lalu Aksa menemukan buku rekening. Saat dibuka, matanya membelalak saat melihat isi rekening atas nama yang sama seperti di kartu identitas itu berisi triliunan rupiah.
"Apa? Tidak mungkin?"
Nyonya Rani menatap Aksa yang kebingungan dengan heran. Namun Aksa langsung saja pergi keluar. Begitu pintu terbuka, tiga gadis tadi menunggu di lorong. Mereka langsung berebut mendekat, menahan lengannya sambil tertawa genit.
“Ayo, Kak, main sama kami.”
“Gratis, loh…”
“Cuma sebentar aja.”
Aksa menatap mereka datar. “Maaf,” katanya tenang. “Aku bukan lelaki seperti yang kalian pikirkan.”
Mereka terdiam. Tatapan kagum berubah jadi bingung. Aksa berjalan melewati mereka, menuju pintu keluar besar di ujung lorong. Di depan, jalan berdebu membentang, mengarah ke pelabuhan kecil. Ia baru sempat mengatur napas ketika mendadak langkahnya terhenti.
Lima pria berjas hitam berdiri di depan gerbang. Tubuh-tubuh besar, kacamata gelap, ekspresi kaku. Tatapan mereka tajam dan terlatih.
Aksa memicingkan mata, tubuhnya menegang. “Siapa kalian?”
Salah satu maju, suaranya tenang tapi penuh wibawa. “Tenang, Tuan Muda. Kami datang bukan untuk mencelakai Anda.”
Aksa menahan diri, tapi otot-otot tangannya sudah siap. “Tuan Muda?”
Pria itu mengangguk sopan. “Kami diperintahkan menjemput Anda. Anda adalah anak kandung Tuan Damar Pramudita. Beliau yakin Anda adalah putranya yang hilang.”
Nama itu membuat dunia Aksa berhenti sesaat. Udara seperti berhenti bergerak.
“Damar… Pramudita?”Pria itu menatapnya yakin. “Benar. Pengusaha terkaya di kota ini. Beliau telah mencari Anda selama bertahun-tahun.”
Aksa membeku. Otaknya menolak percaya, tapi jantungnya berdetak kencang seolah mengenali nama itu jauh sebelum bibirnya menyebut.
“Tidak mungkin…” gumamnya. “Kalian pasti salah orang.”
Genevieve's POVSunlight streamed through the restaurant windows, casting mottled patches of light and shadow on us. "How about it? Not bad, huh? I checked other people's reviews on Facebook to choose this restaurant," I said triumphantly."Mm, not bad," Jessica glanced around and casually remarked.I sensed that something was off with Jessica. I looked at her curiously and asked, "Jess, what's wrong? You seem distracted today."She just lightly pursed her lips, silent, those closed lips like a tightly shut city gate, locking her thoughts securely inside.I couldn't let her off the hook so easily, so I nudged her arm. "What's going on? I'm worried about you."She lifted her head, looked at me, and then said, "Haven't you seen today's entertainment news?"I quickly took out my phone from my bag, eager to open Twitter, my fingers swiftly scrolling on the screen. Soon, the trending topic about Harrison Group's chairman, Zander, allegedly having a new lover caught my eye.My eyes widened
Zander's POVA strange panic gripped me as my intense kisses ignited a desire within me. I longed for Jessica, yearned to possess her. Unlike the last time, this time my heart was filled with a desire to destroy. The strange tingling sensation gripped my body once again as I began to get rougher. The soft, gentle kisses turned hard and rough. Warmth spread through me as I pressed my chest against hers. The thundering heartbeats set a new life in me."Wait," a small, breathless whisper escaped her lips as she tried to stop me, but there was no going back now. I pulled away for a moment and then stared down at her bare breasts exposed under my wicked grasp. "I said, you can only be mine," I said as I wrapped a hand around her throat and pushed her against the headboard on the sheets. A loud scream escaped from her lips as my tongue dipped between her legs. Clearly, the sudden excitement and pleasure almost sent her over the edge. Her hips thrusted in a steady rhythm against my mouth. I
Jessica's POVI looked at his back, clad in a tailored suit and his meticulously styled hair. He was a man of precision, yet sometimes his extremes were terrifying. I looked at him and said, "We're divorced. I don't have the duty to play the loyalty game with you anymore. I'm leaving."However, his cold fingertips, like a snake's tongue, slithered down my cheek, showing no intention of letting me go. During our relationship, he had one rule: no betrayal. But now that we were divorced, his possessiveness had not decreased, but instead had reached a pathological level."Zander, let me go," I said.Zander pressed my body against the cold wall, his smile chilling. "Jessica, if I hold you, will you not be cold?""Zander! Are you insane?"His body was hot, pressed tightly against mine. The atmosphere between us immediately became ambiguous. Zander whispered in my ear, "Jessica, even after the divorce, you can only be my woman.""Let me go. There's nothing between Sigmund and me," I said, tr
Zander's POVAs my words fell, everyone at the table froze instantly, as if the entire space had been paused. The atmosphere solidified into ice. Naturally, everyone understood that I was threatening. The oppressive silence spread like a tidal wave, enveloping everyone.Life after the divorce has been like a long, painful nightmare for me. Jessica vanished so resolutely, traveling and relaxing with Genevieve as if she had forgotten everything we once had. I, on the other hand, was trapped alone in the ruins of our broken relationship, unable to extricate myself.When Tawny invited me to this banquet, I immediately refused. What a ridiculous class reunion! However, when Dwayne reported back to me and mentioned the name of the school, it was Jessica's alma mater. That lingering attachment deep within my heart, like a spark in the darkness, drove me here.Yet, I never expected that when Jessica saw me, her gaze was as if looking at a stranger. Her indifference felt like a heavy blow to m






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
reviews