Usai dari kamar Aksara, Celine menuju kamar anak asuhnya. Lelaki kecil itu membuka matanya sambil tersenyum sumringah menatap babysitternya.“Selamat pagi, Dek Denim? Semalam mimpi indah ya?” tanya Celine yang mendekat. Ia membuka gorden kamar, sehingga sinar mentari yang baru beranjak itu pun masuk ke ruangan. Lalu duduk di bibir ranjang bersprei superhero dan mencium dahi anak asuhnya.“Ganteng banget muka bantalnya. Masih wangi pula.”“Ate, main,” ucap Denim sambil menunjuk permainannya yang tersimpan rapi di rak.Celine menggeleng, "Enggak sekarang ya! Kita mandi dulu. Lalu mamam. Habis itu main. Ok.”Denim terdiam, mengikuti perintah babysitternya. Turut menurut dengan apa yang diperintah.“Angkat tangannya,” ucap Celine dengan nada tegas bak seorang komandan kepada bawahannya. Denim menurut dan gadis itu mulai mengenakan pakaiannya. Di detik berikutnya mereka saling tertawa.Hal yang biasa dilakukan ketika hendak mandi dan ganti baju, terasa membahagiakan untuk anak seumuran Den
“Me-ni-kah, Tuan?” tanya Celine tergagap. Ia tidak menyangka mendapatkan pernyataan seperti itu.“Iya, kenapa? Kamu tidak berkenan?”“Apa ini perintah?”“Maksudmu?”“Apa ini perintah untuk menebus semua hutang-hutangku kepada tuan, seperti yang dilakukan juragan tanah itu?” tanya Celine polos.“Tidak. Bukan seperti itu, Celine. Aku ingin menikahimu karena punya rasa sama kamu. A-aku mencintaimu," ucap Aksara dengan mengkukuhkan segala keberanian. Ia tak menyangka mengucapkan rasa itu begitu susah. Lidah terasa kaku, tidak bisa diajak berkompromi. Celine terkekeh, ditutupnya tawa kikuk itu dengan telapak tangan.“Apa ada yang lucu, Celine? Kamu mentertawakan saya?”“Bukan seperti itu, Tuan.”“Apa jawaban kamu atas semua perasaan saya? Kamu pasti beranggapan saya tua-tua tidak tahu diri.”“Saya juga tidak berfikiran seperti itu.”“Lalu? Apa jawaban untuk pertanyaan saya?”“Pertanyaan yang mana dulu, Tuan? Pertanyaan untuk menikah dengan tuan atau pernyataan cinta tuan.”“Memang jawaban
“Ini makanan apa, Tuan?” tanya Celine yang tampak memperhatikan makanan di atas meja.“Kamu nggak pernah makan?”Celine menggeleng, “Lihatnya saja baru sekarang.”“Ini namanya steak, Sayang.”“Sayang?’ tanya Celine kaget. Ia terkejut dengan nama sebutan baru dari Tuannya.“Iya, apa saya tidak boleh memanggil itu? Hari ini kita jadian. Kita resmi jadi kekasih.” Aksara merogoh saku celananya, kini ia menampakkan sebuah kotak bludru berwarna merah yang telah lama dibelinya. Cincin tersemat di dalamnya, sebagai pengikat cinta yang telah timbul di hati keduanya. Aksara dulunya berpikir, kalau cincin itu tak akan tersemat di jari mana pun. Namun kali ini, ia sudah menemukan wanita itu. Wanita yang berhasil meluluhkan hatinya yang beku. Wanita yang berhasil mengembalikan hatinya yang mati.“Itu apa, Tuan? Untuk siapa?”Aksara menarik tangan Celine, membuka benda tersebut dan menyematkan cincin emas putih itu ke jari manis gadis di depannya, “Cincin ini sebagai bukti kalau kamu adalah milik s
“Sepuluh atau sebelas anak rasanya cukup.”“Apa, Tuan?” tanya Celine dengan membelalakkan mata. Aksara terkekeh melihat reaksi wanitanya. “Saya hanya bercanda.”“Syukurlah! Jika itu perintah, mau tidak mau saya harus melakukannya.”“Tapi saya rasa memang seru. Apalagi kalau laki-laki semua, bisa jadi kesebelasan.”“Lebih seru lagi kalau ada perempuannya, Tuan. Saya bisa kuncir dan mainin rambut mereka.”Aksara tersenyum tipis menatap wajah Celine yang kemerah-merahan. Meskipun tanpa blush on, gadis itu terlihat merona sejak pertama kali berjumpa. Lebih tepatnya ketika Aksara menyatakan perasaannya.“Itu artinya kamu bersedia? Kenapa mesti nunggu sih, Celine? Bukannya kamu sudah punya kartu tanda penduduk? Kita bisa menikah secepatnya.” Lelaki itu terlihat kesal.“Iya, Tuan. Maaf.”“Boleh tahu alasannya kenapa?”“Saya masih takut untuk begituan, Tuan,” ucap gadis itu polos.“Begituan apa?”“Itu, hubungan itu.”Aksara terkekeh, “Kamu itu lucu. Andai kamu tahu rasanya pasti bakal nagih.
“Celine, dengar tidak? Saya kesusahan mengaitkan kancing lengan ini,” ucap Aksara.“Baik, Tuan.” Gadis itu mulai memegang lengan baju Tuannya, di mana tubuhnya mendadak gemetar. Apalagi ketika ia menyadari manik mata Aksara mengarah ke wajah lugunya. Celine salah tingkah. Hal yang terasa mudah justru malah begitu lama. Beberapa kali ia memasukkan kancing itu ke lubangnya, sekali, dua kali belum juga berhasil. Mbok Atun cukup tahu diri, ia sengaja kembali ke dapur dan mencari kesibukan di sana, membiarkan tuan dan sahabat seprofesi itu untuk berduaan.“Apa susah?”Celine tersenyum. Disuguhi senyum Aksara yang indah itu membuat fokusnya justru menghilang.“Sayang, kamu deg-degan?” tanya Aksara dengan tangan kanan yang memegang lengan gadisnya. Sudut bibirnya tertarik sambil memperhatikan wajah lucu kekasihnya, “Tangan kamu dingin sekali.”“Maaf, Tuan. Ini sudah bisa,” ucap Celine malu yang langsung menarik lengannya. Ia menundukkan pandangan, bingung harus berbuat apa. Sebelumnya, ia
Aksara kembali menarik sudut bibirnya. Lagi-lagi sikap konyol Celine mampu menghadirkan tawa di wajah kakunya.“Apa-apaan sih, Sayang? Kenapa ada Mpok Nori dan Susi Similikiti segala?” Lelaki itu memijat pelipisnya.Kesehariannya bekerja dengan jadwalnya yang penuh sedikit reflek dengan hiburan kecil kekasihnya.Aksara : Sayang, apa-apaan itu? Kenapa ada nama tetanggamu. Harusnya nama kita.Aksara mengirim pesan dengan bualan mautnya. Ia bak anak ABG yang tengah kasmaran dan baru merasakan indahnya cinta.Celine : Nama kita?Aksara : Ya, dalam buku undangan.Celine yang tengah bermain bersama Denim tersenyum membaca balasan Chat dari Tuannya.Aksara : Kenapa gak dibalas, SayangAksara : Bekal makanku juga nasi sisaCeline : Bukan sisa, Tuan. Kan sudah Celine bilang, itu nasinya baru. Ikannya juga sudah digoreng.Tak membalas, Aksara langsung melayangkan panggilan. Ia rindu wajah lugu Celine, juga suaranya yang ceria.“Tuan,” ucap Celine sambil menunduk, tak berani menatap wajah Aksara
Celine duduk lemah di sofa tamu. Ia masih menunggui tuannya sekaligus kekasihnya itu. Beberapa kali ia melihat jam yang tertulis di ponselnya, sambil terus menatap pintu. “Tuan, kenapa lama sekali?” tanya gadis itu bermonolog. Celine: Tuan pulang jam berapa? Kenapa belum pulang sampai sekarang?kalimat yang sudah tertulis panjang itu akhirnya kembali dihapus, tidak jadi dikirim. Ia takut akan mengganggu aktivitas Aksara. Apalagi jika pekerjaannya berantakan karena chatnya yang seakan menunggu. Masih dengan posisi menyandarkan punggungnya di sofa, ia terlelap.“Tuan, kenapa pulang telat?” tanya Celine sambil menerima tas kerja tuannya. “Itu karena ....” Lelaki itu menggantungkan kalimat, hingga di detik kemudian seorang wanita cantik itu mendekat ke arahnya, “Karena istri saya sudah kembali. Saya tidak butuh kamu lagi, Celine.”“Tuan,” ucapnya kaget dengan jantung yang berdetak tak karuan. Pelupuk matanya membuka, dan kini ia mendapati Tuannya tengah duduk di sebelahnya.“Wanita t
“Selamat pagi, Dek Denim. Semoga hari ini menyenangkan,” ucap Celine sambil membuka gorden kamar anak asuhnya. Ia duduk di bibir ranjang sambil menatap lelaki kecil yang tengah mengucek matanya. “Dek Denim masih ngantuk?” tanya Celine menatap riang bocah kecil itu.“Kita mandi dulu yuk! Tante ada kapal untuk peneman main Dek Denim,” ucap celine sambil menunjukkan kapal kertas buatannya.“Yuk, kita mengarungi samudra bersama kapal ini.”“Apal.”“Iya, Dek Denim sudah pernah naik kapal gak? Kalau tante sih sudah, kapal kampung. Manggilnya gethek.”Gadis itu tersenyum sendiri mengingat kenangan masa kecilnya. Desanya yang terkena banjir parah, membuatnya bermain gethek untuk sampai ke tempat pengungsian. Hal yang tak pernah dilupakan oleh wanita cantik berambut panjang itu. “Apal.”“Iya, Dek Denim pengen naik kapal nggak? Tante sih iya. Tapi, mau kemana juga naik kapal.”Lagi-lagi gadis itu tersenyum sendiri. “Bulan madunya ke Bali, jadinya kita bisa naik kapal.” Suara dengan nada khas
“Itu tadi lihatin saya.” Aksara tersenyum smirk, “Kamu itutidak pandai berdusta, Sayang. Terlihat dari matau,” ucapnya kembali.“Iya-iya, Mas. Celine ngaku kalau lihatin Mas Aksara.”Wanita itu masih menunduk tidak berani menatap. Diingatkan tentang hal sepertiini membuatnya malu.“Kenapa tidak jujur dari awal? Lagian, gak ada masalah kankalau kamu pandangin saya. Saya juga sering melakukan itu ke kamu. Karena sayasayang sama kamu.” Aksara memegang kedua pipi istriya dan mendongakkan wajahitu untuk menatapnya, “Kita sudah menikah, Sayang. Untuk apa harus malumengakuinya? Kita seorang suami istri, bukan masa pacaran lagi.”Celine tersenyum. Wajahnya masih memerak bak buah tomatlayak panen.“Ini tuh yang buat saya semakin sayang sama kamu. Wajahmulangsung memerah ketika tersipu.”“Tuh kan digodain mulu.”“Saya tampan kan sampai kamu lihatin terud tadi?”“Iya-iya mas Aksara itu tampan.”Pria itu puas dengan jawaban istrinya. Lalu melepas bajukerja dan celana yang dipakainya. Terlihat tela
“Kenapa sayang? Sah-sah saja kan, sepasang suami istri beli baju dinas seperti itu?”“Mas Aksara emang agak lain, kalau Denim bertanya tentang baju kurang bahan itu bagaimana?”“Saya berniat hanya makan berdua bersama kamu. Sekalian kita kencan. Kamu tahu, kita sudah lama sekali tidak berjalan berdua.”“Ngak-nggak, Celine gak setuju. Denim dan Danisa harus ikut, Mas.”“Sayang ... Danisa masih terlalu kecil. Gak bagus terkena angin malam.”“Ya sudah, kalau begitu Denim saja yang ikut.”“Ok lah. Dari pada kamu menolak makan malam bersama saya.”“Mas Aksara tuh yang aneh-aneh. Di rumah saja, makanan dan lauk banyak, tapi tetap saja ingin makan di luar.”“Ganti suasana saja, Sayang.” Aksara membubuhkan kecupan di dahi istrinya. Tak lupa di kedua pipi berisi yang terasa candu untuk pria bertubuh kekar itu. “See you, Baby. I love you.”“I lop you too, Mas,” ucap Celine dengan logatnya yang terasa kaku berbicara bahasa Inggris. *** Celine kembali berjibaku dengan aktifitasnya seperti biasa
“Kenapa diam saja, Sayang? Kenapa pernyataan cinta saya tidak dibalas.”“Memang wajib dijawab kah, Mas? Bukankah itu bukan pertanyaan.”“Ya terserah.” Aksara mengacak rambut istrinya. Mendaratkan kecupan di pipi tembem itu dan bergegas masuk ke kamar mandi. Tidak selang lamasuara nyanyian dengan suara fals terdengar di ruangan tersebut. Seakanmenyiratkan betapa bahagianya Aksara saat ini. Lirik-lirik nyanyian cinta keluar dari bibirnya dengan semangat.Sementara itu, Celine terus tersenyum kala mengingatmalamnya bersama suami. Ia seperti orang tidak waras yang kadang kala berbicarasendiri. Umur pernikahan yang tidak dibilang muda lagi, nyatanya tidakmengurangi kadar cinta keduanya. Celine menyiapkan pakaian untuk Aksarabekerja. Ia memilah puluhan pakaian yang menggantung di almari.“Ambil yang mana ya?’ tanyanya bermonolog sambil menyibaksatu persatu pakaian itu.Hingga tiba-tiba, ia dikejutkan dengan lengan yang melingkardi perutnya dari belakang. Aksara memeluknya dengan kepala yang
“Papa mau main?”“Mas Aksara mau main?” tanya Celine dan Denim dalam waktu bersamaan.“Iya. Kenapa?” tanya Aksara menoleh ke arah istri dan anaknya bergantian.Wanita berambut pendek itu pun tertawa lebar. Begitu pun dengan anak prianya yang tengah memegang pistol mainan. “Door ... door ... door ... kejar aku papa! Papa jadi Pak Ladushing.” Denim mengarahkan pistolnya ke arah Aksara lalu berlari menjauh. Sedangkan Aksara menoleh ke arah istrinya dengan menaikkan alis hitamnya. Paham dengan maksud Aksara, Celine tersenyum dan memberikan pistol yang dipegangnya. “Pak Ladushing itu polisi India. Tokoh di serial Shiva. Orangnya gendut, hitam, kumisnya tebal.”Aksara memegang kumisnya yang tumbuh tipis. “Apa saya seburuk itu?”Celine meringis.“Apa maksud senyummu adalah iya?’ tanyanya kembali.“Ya gak lah, Mas. Mas Aksara itu ganteng.”“Apa? saya tidak mendengarnya, Sayang. Sepertinya indra pendengaran saya kembali bermasalah,” ucap aksara yang memang sengaja menggoda. Kalimat yang teru
“Mas, jangan yang itu. Untuk apa?” protes Celine ketika suaminya mengambil sebuah boneka besar berwarna merah muda.“Ya untuk main Danisa lah, Sayang.”Celine menggeleng. Ia mengembalikan boneka yang dipegang suaminya ke tempat semula.“Kenapa sih, Sayang? Apa karena harganya? Uang saya lebih dari cukup untuk membeli boneka itu bersama pabriknya.”“Mas, Danisa itu baru berumur beberapa hari. Belum pahamboneka sebesar itu. Mending ini saja,” ucap Celine sambil memperlihatkan sebuahmainan bayi dengan pegangan dan suara gemerincing.“Suara ini untuk menstimulus indra pendengarannya.” Celinemembunyikan suara mainan itu dengan menggerakkan ke kanan dan kiri.“Pegangan ini untuk menstimulus indra perabanya, Mas. Bonekajuga bisa. Tapi, gak sebesar itu.” Celine tersenyum. “Bukan karena Mas Aksarapunya banyak uang, terus membeli sesuatu yang tidak penting. Itu namanyamemubadzirkan sesuatu, Mas. Bisa menghambat rejeki.”Aksara tersenyum tipis. Kalimat dari istrinya yang panjangkali lebar dan te
“Pak, ini tidak mungkin,” ucap Celine masih tidak percaya.Ia mencubit lengannya sendiri berharap apa yang terjadi saat ini adalah mimpi.“Mbak Celine ada apa?” tanya Asih- babysitternya Danisa. Iamendapati wajah nonanya seputih susu.“Mbak Asih, tolong panggilkan Pak Baskoro,” ucap Celinedengan pandangan kosong. Wanita cantik itu dihantui rasa bersalah. Semua jauhdari apa yang dimimpikan. Semalam Aksara menelfon kalau ia hendak memberikejutan. Nyatanya, kejutan itu berhasil membuat Celine terperangah. Kejutanyang menggoreskan luka yang menganga.Seorang pria berlari menuju kamar Danisa. Baskoroterengah-engah. Ia menatap sendu ke arah majikannya, “Bu, Pak Aksarakecelakaan.”Entah, kabar itu didengar Baskoro oleh siapa. Meyakinkantentang kabar buruk yang tidak ingin didengar oleh Celine.Wanita itu masih tidak merespon. Hanya butiran air beningyang ke luar dari sudut matanya.Hening. Semua dalam kebisuan. Terkecuali Danisa yang kinimenangis dengan suara yang melengking.“Saya ijin ke lo
Dua hari berlalu, di mana koper Aksara telah dipersiapkan oleh Celine. Sedang pria itu masih terjaga dalam mimpinya. Tidak seperti hari biasa yang akan bangun pagi di tiap jam kerja. Sudah beberapa kali Celine membangunkan. Aksara tidak beranjak. Hanya menyaut “iya” tapi dengan mata tertutup. “Mas Aksara, nanti ketinggalan pesawat, Mas. Baju Mas sudah Celine siapkan, juga dengan perlengkapan lain di dalam koper.” Untuk kesekian kali, wanita cantik itu menggoyang lengan suaminya. “HM ....” Sautnya dengan mata yang enggan membuka.“Mas, jangan ham-hem aja. Ayo bangun!” Kali ini, Celine mengelus lembut pipi Aksara. Sedikit jambang yang membuat pria itu terlihat mempesona di mata wanita. Celine akui, terlalu banyak perempuan yang menginginkan suaminya. Saat ia berada di kantor Aksara, selentingan wanita yang mengagumi sosok Aksara terus terdengar di indranya. Sebagai wanita sederhana dan kolot, ia yakin sekali kalau perempuan di sana banyak yang luar biasa cantiknya dan kecerdasannya. M
“Ada-ada aja deh. Lagian, mana mungkin saya tega gigit MasAksara.”“Mencakar sampai berdarah saja biasa, Sayang. Apalagi hanyasekedar menggigit.”“Mas Aksara.” Wanita cantik itu mendelik.“Saya serius. Lihat saja lengan saya,” ucap Aksara sambilmemperhatikan tangan yang dimaksud. Beberapa bekas cakaran masih membekas.“Kenapa harus bahas itu lagi? Kan Celine gak sengajamelakukannya. Celine juga sudah minta maaf.” Celine merasa bersalah.“Iya, iya, Sayang. Maaf. Saya hanya bercanda.”“Nggak mau maafin.” Celine pura-pura marah. Ia melipattangannya di dada, sambil sedikit menghindar dari wajah suaminya.“Kamu itu gak pandai berbohong, Sayang. Kamu gak pandaimarah.” Aksara terkekeh dan mendaratkan ciuman di pipi istrinya. Seketika,wajah Celine memerah layaknya buah tomat layak panen. “Tuh kan, wajahnyalangsung memerah.”“Mas ...” Celine berucap manja sambil memegang keduapipinya. Menutup warna merah alami yang ke luar ketika ia tersipu.“Buka mulutnya! Kamu nanti gak bisa tidur kalau belu
Celine meminta Babysitter Danisa untuk ke luar kamar. Ia merasa risih jika harus menyusui dengan orang lain berada di sebelahnya. Celine menatap wajah Danisa dan membelai rambutnya yang tebal. Celine tidak menyadari ada sepasang mata yang tengah memerhatikan di ambang pintu.“Mas Aksara,” ucap Celine kaget ketika ekor matanya menangkap seorang pria berdiri bersandar di pintu.Ia sedikit bergeser. Supaya posisinya yang tengah menyusuitidak terlihat.“Kenapa harus ditutupi, Sayang? Saya kan sudah tahu.” Aksaratersenyum dan mendekat ke arah istrinya.“Mas Aksara tuh sedang haus. Celine takut kalau Mas Aksaratergoda.”Pria itu terkekeh. “Hm, seburuk itu saya di mata kamu?”“Kok buruk? Itu bukan buruk, Mas. Hanya saja, Celine belumbisa menuruti keinginan Mas Aksara.”“Saya juga tahu, Sayang. Mana mungkin saya meminta itu,sedangkan kamu baru saja melahirkan. Saya bukan jalang.” Pria itu turut dudukdi sebelah Celine dan membelai rambut anaknya. “Danisa cantik sekali ya.”“Ya. Bundanya kalah,