Sejak Arjuna kembali dari luar untuk mengecek siapa gerangan yang membuat keributan di depan ruangan istrinya, ia mendadak seperti orang yang kebingungan.“Siapa tadi, Mas?”“Nadia, tapi kok dia seperti orang yang ketakutan. Kamu tahu Dek, kakinya aja sampai gemetar. Orang jalan aja susah, sampai megangin tembok.” Prily justru tertawa saja.“Kenapa kamu tertawa, Sayang?”“Dia baru saja berteriak-teriak di ruangan ini, bahkan menantang kita untuk melaporkannya dan sekarang dia bisa tiba-tiba ketakutan.”“Kamu berpikir dia hanya pura-pura?”“Enggak begitu, aku cuma heran. Apa yang membuatnya ketakutan sampai seperti itu. Lagi pula bukannya seharusnya Mas nolongin?” Prily sengaja memasang wajah datar.“Nanti istri Mas cemburu. Masalahnya Dek, Nadia itu bukan tipe orang yang mudah takut sama orang. Makanya heran aja, siapa yang bikin dia sampai begitu.”“Mas kayaknya ngerti banget ya,” ucap Prily dengan bibir yang sedikit mengerucut.“Cemburu lagi.”“Enggak tuh.” Arjuna terdiam hanya mata
“Jangan sembarangan bicara Akbar! Aku tidak suka orang yang memanfaatkan suasana hanya untuk mendapat keuntungan,” ucapku pada Akbar yang masih berdiri di balik pagar. Sedangkan, aku sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah dan mengunci pagar itu agar dia tak punya kesempatan untuk berdekatan denganku.“Aku serius, aku bisa pastikan semua yang kuucapkan adalah kebenaran.”“Lalu, dengan apa aku harus membayarnya jika aku setuju?” Akbar tak lantas menjawabnya pria itu justru mengukir senyum. Aneh, aku hanya sedang berandai-andai dan ekspresinya menunjukkan kalau aku memang serius.“Menikahlah denganku?” Aku hanya mampu menggeleng sambil menatapnya dengan senyuman yang entah. Bagaimana laki-laki gagah dan kaya harta itu, justru memaksa seorang perempuan bersuami untuk menikah dengannya.“Banyak wanita di luar sana? Kenapa kamu tidak menikah saja dengan orang lain. Akbar, aku mungkin miskin, tetapi dia mengajarku banyak hal. Termasuk bagaimana caranya menghargai dan berterima kasih. Dia, l
“Boleh kok,” ucap Mas Juna dengan mata yang mendadak membulat. Aku memang sengaja terus menerus memancingnya agar mau terbuka sedikit saja tentang penyakitnya itu. Sayangnya, ia masih saja menutupi semuanya, bahkan untuk hal-hal kecil seperti makanan apa yang boleh dan tidak boleh dia makan. Aku harus lebih banyak membaca artikel, hanya agar tidak sampai memperburuk keadaannya.“Dek, kok makannya belepotan gitu sih?” tanya Mas Juna saat aku asyik menjilat es krim memutar dari sisi kanan ke kiri. Aku yang abai membuatnya menggenggam kedua pundakku lalu memaksa agar aku menghadap kesisinya. Perlahan tangan kekar itu menyeka kotoran es krim di bibirku, begitu hati-hati hingga membuatku salah tingkah sendiri. Apa lagi saat beberapa pembeli yang hilir mudik, melempar pandang ke arah kami. Tak cukup hanya itu, Mas Juna bahkan menjilat sisa es krim yang masih tertinggal di telunjuknya, diabahkan tak merasa jijik dengan hal itu. Padahal sepengetahuanku, dia adalah tipe orang yang memiliki kep
“Mas sudah kubilang ‘kan enggak perlu ke sini. Mereka enggak akan menerima kita,” ucapku. Mas Juna masih diam tanpa berniat mengajakku keluar rumah, padahal aku sudah benar-benar tak tahan dengan semuanya. Mereka benar-benar keterlaluan. Bukannya mendapat kekuatan dan pelukan dari mereka, jelas-jelas aku masih sehat. Bisa-bisanya dengan lantangnya mereka anggap aku telah meninggal.“Istighfar Pak, Prily masih ada di sini, enggak baik mengatakan orang yang masih hidup sudah meninggal.” Aku berusaha menahan lengan suamiku yang hendak berdiri.“Mas Juna sudah,” lirihku, bahkan sekarang rasanya lidahku begitu kelu. Sesalah itukah pilihanku di mata mereka. Saat itu aku melihat bagaimana Mas Juna mendesah, sebelum akhirnya kedua lenganna mengepal erat.“Saya sudah bilang ‘kan sebelumnya. Kenapa kamu masih saja nekat ke sini.” Mendengar perkataan Ibu, Mas Juna seketika menatapku dengan tatapan iba.“Mereka sering bilang ini ke kamu?”Aku hanya mengangguk lemah, tetapi saat itu Mas Juna lang
PoV Arjuna“Kamu bohong ‘kan, Mas?” Aku bisa melihat Prily menarik ujung bibirnya ke atas. Aku tahu itu bukanlah senyuman. Lebih pada upaya menguatkan dirinya. Aku sudah tak bisa lagi menhindar. Sekeras apa pun aku mencobanya. Hatiku tetap luluh, pada setiap pengorbanan yang Prily lakukan. Sepertinya akhir-akhir ini seseorang telah memberi tahunya fakta tentang penyakitku. Terlihat dari seberapa seringnya dia menyindirku dengan kalimat-kalimat yang memojokkanku.“Sayang ….” Aku mencoba menguatkannya dengan memegang kedua tangannya yang sudah gemetar. Belum lagi saat wajahnya berubah sendu, hingga kedua manik coklat itu mulai mendung.“Please bilang kalau itu bohong. Kumohon.” Dia menggeleng dengan kedua tangan yang menggenggam erat tanganku. Prily bahkan sampai mengangkatnya setinggi dada, lantas menciumnya sambil menggelengkan kepala. Aku bisa merasakan saat tanganku menjadi basah.“Sayang, hey. Kamu baik-baik aja. ‘kan?”“Prily, ah!” Sudah kuduga kalau dia akan begini. Seharusnya se
PoV Arjuna“Aku antar Mas periksa ya, hari ini jadwalnya ‘kan?”“Mas sendiri aja deh, kamu baru aja pingsan loh tadi. Nanti kalau di sana ngedrop lagi bagaimana?”“Aku kuat kok.”“Kita ke sana habis makan,” ucapku mengakhiri perbincangan kami. Setelah membereskan sisa makanan dan cuci piring. Kami lantas bergegas untuk pergi ke rumah sakit. Di mobil tampak jika Prily begitu gelisah, sesekali bahkan terdengar dia melafalkan istigfar. Mungkin sebagai upaya menenangkan diri.“Sayang, aku atau kamu yang sakit? Kenapa jadi kamu yang merasa khawatir?”“Memangnya kelihatan ya?”“Ekspresi kamu itu enggak bisa disembunyikan.” Prily malah tersenyum saja, bahkan telapak tangannya menjadi basah, saat aku sengaja meraihnya.“Jangan terlalu khawatir, kamu juga enggak boleh terlalu stres, enggak baik buat kondisi kamu.” Aku sengaja menghentikan laju kendaraan, lalu mengecup keningnya. Aku merasa Prily sudah mulai muncul tanda-tanda panic attack. Aku mulai mengintrusikannya untuk menarik dan mengelu
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala
“Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam
“Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod
Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha
“Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut
Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se
“Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka
Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma
“Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second
“Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala