Henggar berjalan terburu-buru ketika melewati koridor kelas Bahasa. Jika biasanya ia akan santai, namun kali ini ia tengah memiliki janji dengan seseorang. Dan orang itu sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan.
“Gar!” panggil seseorang membuat Henggar menghentikkan langkahnya. Lelaki itu memutar badan menghadap Sendi yang berjarak lima meter darinya.
Sendi berjalan mengikis jarak di antara keduanya. “Mau kemana? Buru-buru amat,” Tanya Sendi kemudian merangkul bahu Henggar. Mengajaknya jalan bersama menuju parkiran.
“Ada janji sama orang,” jawab Henggar singkat.
Sendi mengernyitkan keningnya dalam. “Siapa?” tanyanya ingin tahu.
Henggar tampak berdecak kemudian menonyor pelan kepala Sendi yang sedikit lebih pendek darinya. “Kepo!” ketusnya.
Sendi tersenyum jenaka kemudian menunjuk-nunjuk wajah Henggar. “Mau ketemuan sama cewek lo, ya?” ledek lelaki itu sambil memain
Seorang gadis tengah berdiri di tepi pembatas rooftop sekolah. Rambutnya yang terurai berterbangan karena tersapu angin. Matanya terpejam menikmati hembusan angin sore ini. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu. Namun tampaknya gadis itu enggan beranjak untuk pulang.Helaan nafas berat begitu terdengar dari gadis itu. Pikirannya bercabang tak tentu arah. Rasa penyesalan kembali menghantui benaknya. Menciptakan sesak yang begitu menyakitkan untuknya.Kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Bukankah itu terlalu menyedihkan?Ingatannya kembali terlempar ke masa lalu. Masa dimana semuanya masih begitu indah. Masih begitu berwarna membuatnya seakan lupa bagaimana caranya bersedih.Dua tahun yang lalu…Gadis berseragam putih biru tengah berdiri di dekat halte bus yang letaknya tak jauh dari gerbang sekolahnya. Gadis itu tampak menyampirkan tas di bahu sebelah kanannya. Tangannya terlihat tengah mendekap bebe
Malam yang tampak cerah ditemani dengan ribuan bintang yang gemerlapan di angkasa. Lampu-lampu kota terlihat berpendar menerangi setiap sudut ibukota. Banyak pasangan muda-mudi yang berlalu lalang, menghabiskan waktu bersama. Mereka tampak seperti pasangan paling bahagia. Taman kota selalu ramai pengunjung saat malam tiba. Biasanya, kebanyakan anak lelaki yang sering nongkrong di sini. Berkumpul, duduk melingkar sambil memainkan gitar. Menyanyikan banyak lagu-lagu galau yang sempat booming di era tahun 90-an. Ditambah lagi dengan beberapa cemilan untuk menemani malam mereka. Benar-benar menyenangkan. Sama seperti kebanyakan orang, sepasang muda-mudi tengah berjalan sembari bergandengan tangan seolah enggan terpisahkan. Keduanya tampak bahagia. Saling melemparkan tawa satu sama lain. Tatapan penuh cinta terpancar jelas di mata keduanya. “Lo mau beli apa?” tanya sang lelaki sambil membenarkan anak rambut gadisnya yang tampak berterbangan ke depan karena tersapu
Seorang gadis berpakaian kasual tampak berjalan seorang diri di keramaian taman kota malam ini. Pandangan gadis itu tampak lurus ke depan. Tatapannya kosong. Seperti ada kehampaan dalam hidupnya. Tak ada binar semangat yang terpancar dari kedua bola matanya. Persis seperti orang yang kehilangan semangat untuk hidup. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung yang ia temukan beberapa hari yang lalu di tangga rooftop. Kemudian pandangannya menurun, menatap kalung itu. “Kalung siapa? Cantik banget,” ujarnya sembari menatap setiap sisi kalung berliontin setengah hati itu. Adelia, gadis itu mengernyit heran. “Ini kayak kalung couple,” ujarnya lagi. Pasalnya, liontin kalung hanya berbentuk setengah hati. Kalau menurut logika, tidak mungkin, kan, kalung seperti ini hanya dijual setengah saja? Pasti ada satu lagi. Dan yang menjadi pertanyaan Adelia adalah siapa pemilik kalung ini? Jika mengingat ia menemukannya di tangga rooftop, waktu itu yang berada
Suara sirine ambulan menggema di penjuru jalan. Para pengendara pun memberi akses untuk mobil itu. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini. Termasuk lelaki yang berada di dalam mobil. Air matanya tidak berhenti mengalir menatap gadis yang kini terbaring lemah di atas bangkar. Mata gadis itu terpejam. Nafasnya tampak tersengal. Nadiv, lelaki itu menggenggam erat tangan Adelia. Bayangan-bayangan masa lalu dengan gadis itu seolah terus berputar di otaknya bagai kaset rusak. Tawa, senyum, dan canda gadis itu seolah terus menari-nari di kepalanya tiada henti. Hatinya teriris kala menyaksikan gadis itu mengorbankan nyawa demi dirinya. Rasa bersalah menggerogoti relung hatinya. Andai saja tadi ia lebih berhati-hati, tidak mungkin kejadian ini terjadi. Andai saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia akan mengajak Adelia untuk pergi dari tempat ini. Andai saja ia bisa melihat masa depan, mungkin Adelia tidak terbaring mengenaskan seperti saat ini. Terlalu banyak kata anda
Hari mulai gelap. Mentari sudah kembali ke peraduannya. Lampu-lampu rumah sudah mulai menyala, menerangi disetiap jalur jalan. Di taman bermain yang mulai sepi, tampak tiga remaja tengah duduk sembari mengawasi pos petugas keamanan yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat mereka duduk. Pandangan mereka menatap intens ke pos itu. Berharap agar petugas itu lengah dan mereka memiliki akses untuk masuk ke dalam pos itu. “Lama banget dah perginya,” celetuk Sendi yang sudah mulai bosan karena terlalu lama menunggu. Jika dihitung, mungkin sudah empat jam mereka berada di sini. Henggar mendecak kemudian menyentil pelan lengan lelaki itu. “Ngapain ikut kalo lo nggak sabaran kayak gini,” sinisnya sembari melirik Sendi dengan ekor matanya. “Gue pengen bantuin adik gue,” ujar Sendi kalem. Henggar memutar bola matanya kesal. “Ngaku-ngaku,” cibirnya. Sendi tidak membalas lagi. Lelaki itu memilih untuk membuka ponselnya, berniat mengecek pukul berapa saat
Mentari mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu di ufuk timur. Kicauan burung pun telah terdengar saling bersahutan. Membuat gadis yang kini tengah bergelung manja di bawah selimut itu terganggu. Gadis itu menggeliatkan badannya kemudian tangannya meraba jam beker yang ada di atas nakas. Gadis itu mengucek matanya kemudian mengerjap pelan. “Jam 06.00 WIB, harusnya sih hari ini gue sekolah,” ujarnya kemudian memilih untuk bangun dari tidurnya. Meski terasa malas, namun ini adalah hari pertama dia sekolah setelah di skors selama seminggu. Gadis itu tertunduk lesu, hari terakhir di skors, ya? Sama saja dengan hari terakhir ia sekolah karena sampai saat ini Henggar belum menemukan bukti tentang pembunuhan Rehan. Rallin sebenarnya tidak tega membiarkan lelaki itu mencarinya sendiri, namun Henggar selalu melarangnya untuk turut andil. Ia tidak mau Rallin terlibat appaun lagi. Beruntung bukan memiliki kakak seperti Henggar? Rallin mengulas senyum tipisnya. Bagi R
Rallin menarik Henggar agar menjauh dari Ayuna. Bukannya apa, ia hanya kasian melihat wajah Ayuna yang sudah ketakutan karena di intimidasi oleh Henggar. Tidak ada lagi yang bersuara setelah itu. Semuanya bungkam, tidak mau mencari masalah dengan Rallin atau mereka akan berurusan dengan Henggar.Kini dua orang itu berjalan menuju kelas Henggar, lelaki itu ingin mencari Sendi, katanya. Sesampainya di sana, sudah banyak pasang mata yang menatap sinis ke arah Rallin. Hanya sekedar menatap tanpa berani mengeluarkan suara.Tampak Sendi sedang duduk di bangku pojok sembari bermain ponsel. Sepertinya lelaki itu tengah bermain game. Henggar berjalan mendekati Sendi. Merundukkan badan kemudian membisikan sesuatu pada lelaki itu. Sendi sempat menatap Rallin sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Entah apa yang mereka bicarakan, Rallin juga tidak tahu.Disisi lain, Didan dan juga Rangga yang tadi sedang mengobrol pun mereka kompak menatap Rallin. Kemudian berjalan mendekati
Rallin berjalan lesu di koridor sekolah. Di tangannya tergenggam surat pengeluaran murid. Hati gadis itu sangat hancur. Pendidikan yang begitu ia agung-agungkan kini harus kandas di tengah jalan. Semua impiannya tentang sekolah yang telah disusun dengan baik harus ia kubur dalam-dalam.Hengga menatap sendu punggung gadis yang kini tengah berjalan di depannya. Gadis kesayangannya tampak rapuh. Tidak ada binar bahagia di kedua iris matanya. Tidak ada senyum manis di bibirnya. Tidak ada raut ceria di wajahnya. Semuanya redup karena dirinya.Rallin menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Henggar. “Gar?” panggil gadis itu.Henggar menatap balik mata Rallin. “Hm?” sahutnya.“Ke ruang band sebentar, ya? Gue mau pamit sama anak-anak.” Gadis itu meminta. Henggar tersenyum tipis kemudian mengangguk.Kini keduanya pun berjalan menuju ruang band. Kunci ruangan itu yang semula di pegang oleh Rallin, sekarang d
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia