Honda Brio merah semakin mendekat. Alisku mengernyit. Memikirkan alasan kenapa Tamara kemari? Bukankah yang kukirimi pesan David. Ada apa?
Mobil berwarna merah itu berhenti tepat di sampingku. Suara mobil dimatikan, pintu mobil terbuka David dan Om Pramudya keluar.
"Mobil gue lagi di bengkel. Kebetulan ada mobil Tamara nganggur. Gue pakai aja sekalian," jelas David saat turun. Ia mungkin mengerti kenapa aku menatap mobil itu sedari tadi.
"Om, lama gak ketemu. Apa kabar?" Aku memeluk Om Pramudya sebentar.
"Om sehat. Ada masalah apa sampai kamu menyuruh Om dan David datang ke rumah nenekmu ini?" Wajah Om Pramudya terlihat penasaran.
"Sepertinya akan ada
"Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit Alex." Jhonny menatapku tajam. Si b*d*h itu tak mengerti kata-kataku."Tes DNA, aku ingin kamu melakukannya. Buktikan bahwa kamu benar-benar darah daging Papaku."Jhonny dan Paula Stephanie saling pandang, "Mas Bram …." Paula Stephanie memandang Papa dengan tatapan memelas, ingin dibela.Papa hanya diam. Bagaimana pun juga ini adalah satu cara untuk mengetahui kebenarannya. Sekian lama Paula Stephanie dan anaknya itu mengambil kesempatan dari keluarga Ibrahim. Berapa banyak jumlah uang yang ia nikmati dari kerja keras Papa."Baiklah kalau begitu." Paula Stephanie menatapku dengan angkuh, "Kami bersedia melakukan Tes DNA.
Aku mengedikkan kedua bahu. Tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan David. Andai aku bisa membaca pikiran Jhonny dan ibunya sekarang. Aku takkan mengajak mereka tes DNA. Langsung kuantar mereka ke penjara saja. "Jika terbukti Jhonny bukan anak kandung Papamu, dia tak berhak memiliki saham The One Property. Lagi pula dia harus terpilih di rapat dewan direksi juga para pemegang saham jika ingin memimpin The One Property," terang Om Pramudya. "Berhati-hatilah Lex, Jhonny sangat licik," peringat David kemudian. Aku melemparkan pandang ke luar jendela. Menatap awan putih berarak di atas sana. Namun, pikiranku terus mencoba menebak apa yang akan dilakukan Jhonny dan Mamanya itu. Hampir dua jam berkendar
Tiba di sebuah ruangan kami kembali menunggu tak berapa lama seorang perempuan keluar, "Saya minta satu helai rambut dari saudara Alex, Jhonny juga Pak Ibrahim."Perawat itu meminta sehelai rambutku, papa juga Jhonny. Masing-masing dimasukkan ke dalam plastik transparan dengan kode berbeda.Perawat itu segera masuk ke dalam ruangan. Pintu ditutup, entah apa yang mereka lakukan di dalam. Sample rambut tadi pasti diberikan pada Dokter yang bertugas."Mau ke mana kamu?" Aku merentangkan tangan di depan pintu masuk ruangan dokter. Aku tahu apa yang akan dilakukan Jhonny. Segera mencegahnya masuk.Dia tak menjawab. Manatap tajam padaku, matanya bersemburat merah, "Pergi kamu dari sini, jangan menggangguku," desis Jhonny
"Terimakasih tumpangannya." Aku melambaikan tangan menatap kepergian mobil David. Papa, Mama juga Nenek sudah sampai terlebih dahulu. Hari ini kami menang. Sudah membuktikkan bahwa Jhonny bukan darah daging Papa. "Tutup pintunya, Pak! perintahku ketika melewati pintu gerbang. Melangkah dengan lebar. Kedua security mengangguk dengan patuh. Terdengar suara roda yang berderit. Pintu gerbang berwarna putih perlahan bergeser dan menutup. Mulai hari ini Nenek akan tinggal bersama kami. Ada banyak kamar kosong, meninggalkannya sendiri di rumah sebesar itu sangat mengkhawatirkan. Entah kapan Jhonny atau Paula Stephanie kembali datang membuat keribut
***CEO Yang Hilang Ingatan*** Aku membopong Nenek menaiki anak tangga satu persatu. Tak kusangka tubuhnya sangat ringan. Sungguh berbeda dengan beberapa waktu lalu, saat ia memaksaku bertunangan dengan Melissa. Saat itu ia terlihat lebih berisi dan energik. "Apa Nenek tak pernah makan? Kenapa badan Nenek seringan ini?" Nenek hanya mengedipkan mata, tak bersuara. "Cepat Alex." Mama sudah berjalan lebih dulu. Ia membukakan pintu. Aku mempercepat langkah. Memasuki kamar Wulan. Membaringkan Nenek di ranjang. Tubuhnya terlihat ringkih dan sangat lemah. Mama menatap nenek dengan iba. Wu
***CEO Yang Hilang Ingatan***"Apa yang Bik Asih, lakukan?""Maaf, Neng.""Sudahlah, Wulan."Sayup-sayup kudengar suara keributan di luar. Sepertinya Wulan sedang mengomel. Entah dengan siapa.Kusibakkan selimut yang menutupi badan. Berjalan menuju pintu kamar.Kamar yang ditempati Wulan dan Nenek terbuka. Ada Bik Asih berdiri dengan menundukkan kepala di samping ranjang. Sementara Wulan dan Mama menatapnya dengan aneh."Ada apa ini?" Aku berjalan mendekat."Ini, bubur
Aku membelalakkan mata. Menatap dengan tajam pada wanita paruh baya di depanku. Tangan kanan masih memegang erat ponselnya.Bik Asih semakin terdesak. Keringat di keningnya semakin kentara, menetes hingga pipi."Angkat teleponnya, berbicaralah!" kataku dengan gerak bibir. Nyaris tak mengeluarkan suara."Ha-halo …," terbata Bik Asih mengucap salam."Ada apa lagi, Bik?"Suara itu terdengar sangat familiar di telinga. Mungkinkah? Aku merogoh saku mengambil ponselku sendiri. Mencari fitur untuk merekam suara.Bik Asih kebingungan. Ia menatapku dengan gugup. Tak tahu harus berkata apa.
"Tolong ambilkan brankar!" Begitu menginjakkan kaki di depan lobi rumah sakit aku berteriak dengan suara nyaring.Ada tiga orang perawat laki-laki datang dengan terburu. Wulan membantu mengangkat bagian kepala nenek. Dua orang lelaki mengangkat bagian kaki dan punggung. Seorang lelaki berpakaian hijau kebiruan memegangi brankar agar tidak berpindah tempat.Mereka segera mendorong brankar masuk. Aku dan Wulan mengikuti dari belakang."Apa yang terjadi pada, Nenek?""Setelah makan buburnya tadi, tiba-tiba keluar cairan kental berwarna merah dari hidungnya.""Sebenarnya apa yang dimasukkan Bik Asih, ke dalam bubur itu!"