"Panggil aku Bu Thasia saja." Thasia berkata dengan acuh tak acuh, "Rasanya aneh kamu tiba-tiba menggunakan panggilan lain. Lagi pula, saat ini sedang ada banyak orang."Tony tidak mengerti kenapa Thasia dan Jeremy merahasiakan hubungan mereka, jelas-jelas mereka ini suami-istri.Namun, hal ini urusan mereka, dia tidak mau ikut campur.Dia hanya mengikuti permintaan Thasia. "Oke, Bu Thasia."Thasia sudah selesai makan, mereka pun pergi ke area lelang.Saat di jalan, Thasia menabrak seseorang, karena sudah biasa bersikap formal dia pun berkata duluan, "Maaf.""Nggak apa-apa, Nona Thasia, terima kasih untuk minumannya tadi."Thasia mendongak, ternyata orang yang dia tabrak adalah Angel.Thasia dengan sopan menyapanya, "Nona Angel."Angel tersenyum tipis, dia menjabat tangan Thasia dengan ramah. "Nona Thasia, kamu sungguh cantik hari ini, pantas saja Pak Jeremy terpesona padamu."Thasia segera menjelaskan hubungan mereka, "Bukan begitu, Nona Angel, jangan salah paham, aku hanya sekretaris
Batu permata itu beratnya mungkin sepuluh karat, lalu ada mutiara tambahan yang beratnya lebih dari satu karat.Sebuah perhiasan yang patut dijadikan koleksi.Thasia menoleh dan melihat Lisa menatapnya, gadis itu tersenyum menantang padanya.Lisa memang memiliki alasan untuk memamerkannya.Sejak Thasia menikah dengan Jeremy, Yasmin tidak pernah membelikannya apa pun.Namun, sekarang Yasmin malah membeli barang seharga 60 miliar untuk wanita lain tanpa merasa sayang duit.Ketika perhiasan itu diberikan kepada Lisa, begitu banyak orang yang melihatnya, sehingga Lisa merasa terhormat dan cukup senang. "Cantik sekali. Bibi, seleramu sungguh bagus."Yasmin menatapnya dengan sayang dan berkata, "Kalau kamu suka, aku pun senang."Lisa memegang perhiasan itu, orang-orang di sekitarnya merasa sangat iri, mereka pun berkata, "Lisa disayang sekali oleh Nyonya Yasmin, Lisa sudah seperti putrinya sendiri.""Bukan, lebih seperti menantunya.""Bukannya Pak Jeremy bilang dia sudah menikah? Mana mungki
Di dalamnya ada gelang giok hijau yang Lisa sukai.Thasia berjalan masuk, melihat mereka semua di sana, dia pun menyapa Jeremy dengan hormat. "Pak Jeremy, ada apa kamu mencariku?"Jeremy menatapnya. "Sini."Thasia berjalan mendekat.Jeremy mengambil kotak di atas meja dan membukanya. Di bawah tatapan semua orang, Jeremy mengeluarkan gelang hijau yang dia beli tadi dan memakaikannya di tangan Thasia.Saat ini, ekspresi Lisa pun berubah.Yasmin tertegun dan berkata, "Jeremy, kamu bukan membeli gelang itu untuk Lisa?"Jeremy berkata, "Bukannya dia sudah dapat darimu?"Yasmin merapatkan bibirnya, dia merasa sangat kesal.Thasia merasa terkejut. Tangannya tiba-tiba terasa lebih berat. Gelang ini seharga 200 miliar, mana mungkin dia bisa menerima barang semahal ini.Thasia belum pernah memakai barang semahal ini, seketika dia merasa tidak pantas. "Aku nggak bisa menerimanya, ini terlalu mahal. Bagaimana kalau terbentur dan rusak nanti saat aku pakai?"Thasia ingin melepasnya.Namun, Jeremy m
Begitu mendengar ini, Thasia langsung tercengang.Aura dingin merambat dari kakinya, membuat seluruh tubuhnya dingin dan kaku.Apa yang dimaksud Bibi?Jeremy menikahinya demi saham di tangan kakek?Sinar di mata Thasia menjadi redup, dia berbalik dan melihat pemandangan di dalam melalui celah. Dia melihat Karen berdiri di sana dengan kesal.Sedangkan Jeremy duduk di sofa dengan kaki disilangkan, sorot matanya tidak menunjukkan emosi apa pun."Ya," jawab Jeremy dengan singkat.Wajah Thasia pun menjadi pucat, dia terlihat terkejut.Pantas saja pria itu mau menikahinya, ternyata ada syarat di balik semua itu.Tidak heran saat malam pernikahan mereka, Jeremy berkata tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengannya dan memintanya untuk tahu diri.Pria itu dari awal menjadikan dirinya sebagai alat tawar-menawar.Setelah dapat, pria itu baru akan melepaskannya, sehingga masa kontrak mereka ditetapkan selama tiga tahun.Karen berkata, "Aku tahu kamu bukanlah orang yang mau mendengarkan nasihat
Thasia sudah terengah-engah, dia membiarkan angin dingin menerpa tubuhnya, tapi wanita itu tidak merasa dingin atau menggigil, dia hanya tetap berlari.Entah sudah berapa lama Thasia berlari, dia pun berhenti dengan terengah-engah.Dia memeluk lututnya, tanpa sadar air matanya jatuh ke bawah.Pada saat ini, Thasia menyadari bahwa wajahnya sudah berlinangan air mata, air mata hangatnya berubah menjadi dingin dan jatuh ke wajahnya.Kenapa hal ini harus terjadi?Kenapa hal ini harus terjadi?Thasia bertanya dalam hati kenapa semua kebaikan itu berubah menjadi kebohongan.Dia mengingat kembali sosok Jeremy yang melembut sehingga membuatnya tersentuh, ternyata semua itu hanya demi menembus rasa bersalah pria itu padanya.Thasia akhirnya mengerti apa yang dimaksud Lisa.Jeremy menikahinya hanya untuk memanfaatkannya.Pria itu tidak merasa kasihan padanya ataupun merasa tertarik sedikit pun.Thasia berjongkok di jalan, dia merasa sangat kecewa, dia memeluk tubuhnya erat-erat dengan kedua tang
Pihak lawan merasa ragu-ragu. "Seseorang melihat Nona Thasia di kantor, tapi nggak ada yang tahu apakah dia di sana semalaman atau nggak."Sungguh misterius.Dia sempat bertanya pada Thasia waktu itu.Seingatnya Thasia selalu menjaga sikap di depannya dan tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, sehingga Jeremy tidak terlalu ragu.Jika mengingatnya kembali, saat itu Thasia tampaknya cukup panik.Thasia satu-satunya wanita yang bisa mendekatinya.Jeremy yakin orang itu bukanlah Lisa.Jeremy menutup telepon, menutup komputer, lalu berjalan keluar dari ruang kerja.Ketika sampai di kamar tidur, di dalam cukup terang, tapi Thasia tidak ada di sana.Bahkan ponselnya ada di ranjang.Jeremy melihat ke sekeliling, tapi tidak melihat sosoknya, jadi dia bertanya kepada pembantu, "Di mana Thasia?"Pelayan itu menjawab, "Aku tadi melihat Bu Thasia turun ke bawah."Thasia tidak ditemukan di vila, juga tidak membawa ponselnya. Hal ini membuat Jeremy khawatir dan segera menelepon seseorang. "Thasia
"Suami istri sudah biasa bertengkar, nanti juga akan membaik. Aku akan memberi tahu Kak Jeremy bahwa kamu ada di rumah sakit, jadi dia nggak khawatir padamu."Thasia segera melarangnya, "Jangan beri tahu dia.""Kamu nggak dengar perawat tadi menyuruhmu memberi tahu anggota keluarga. Kalau kamu nggak memberi tahu keluargamu, kamu nggak akan bisa pulang."Thasia memandang Ricky. "Nggak perlu mengurusi urusanku."Thasia terlihat sangat kesal dan keras kepala, tapi cara bicaranya sama persis dengan Jeremy. Mereka memang pasangan suami istri.Ricky berkata, "Kak Jeremy sudah mencarimu ke mana-mana. Aku telah menghubunginya, dia akan segera datang ke rumah sakit."Thasia menutup bibirnya dan merasa tidak terima, tapi Ricky adalah teman baiknya Jeremy, sudah pasti pria ini lebih membela Jeremy.Ricky takut Thasia akan melarikan diri, jadi dia pun terus menjaga Thasia sampai Jeremy tiba di rumah sakit.Jeremy terengah-engah. Saat melihat Thasia, dia pun merasa lega dan melangkah mendekat. "Apa
Seharusnya Thasia tidak mengharapkan apa-apa, dia ingin hubungan mereka kembali ke titik semula.Inilah yang harus Thasia lakukan.Jeremy merasa ada yang tidak beres, tapi kalau dipikir-pikir lagi sepertinya juga tidak. Melihat wajah Thasia yang pucat, dia tidak tega bertanya terlalu banyak padanya, tapi dia tetap berkata, "Lain kali jangan keluar sendirian, seenggaknya bawa ponselmu atau bawa orang bersamamu, jadi aku bisa menemukanmu sesegera mungkin."Thasia tersenyum pahit. Untuk apa pria ini berpura-pura.Apakah Jeremy berpura-pura peduli padanya untuk menebus kesalahannya?Haruskah dirinya juga berpura-pura dan mengikuti alurnya?"Aku mengerti, aku akan menuruti kata-katamu," jawab Thasia dengan patuh.Jeremy mengambil kursi dan duduk di hadapannya. Matanya yang gelap memantau tubuh Thasia untuk memastikan wanita itu baik-baik saja.Pria itu pun bertanya lagi, "Thasia, apakah kamu masih ingat kejadian malam itu?"Thasia bertanya dengan bingung, "Malam kapan?""Malam saat aku mene
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak