Ada postingan dari anonim yang mengupload video yang langsung dikenali oleh Nara."Apa ada cctv di sana?" gumam Nara tanpa sadar dan itu terdengar oleh Rani."Jadi video itu benar?" tanya Rani dengan ekspresi terkejut."Itu gak seratus persen benar," ucap Nara dengan murung.Pantas saja dari tadi pagi dia merasa pandangan orang terlalu sinis, lebih dari hari-hari sebelumnya."Sebenarnya apa yang terjadi di video ini?" tanya Rani penasaran. Pasalnya dalam video berdurasi kurang dari dua puluh detik ini menangkap posisi Nara sedang dipeluk oleh Agas. Padahalnya yang sebenarnya itu hanya sebagian kecil dari apa yang terjadi saat itu. "Ini gue hampir jatuh ke tangga pas jenguk Bima yang lagi sakit kemarin," jawab Nara sengaja tidak memberitahu kalau sebenarnya dirinya itu didorong oleh Riri. Dia tidak mau menambah masalah yang tidak perlu."Jadi Pak Agas cuman bantuin lo waktu itu?" Nara mengangguk membenarkan. "Gue gak tahu gimana bisa ada video ini? Apa ini cctv rumah Agas?"Rani kem
Agas membaca berkas di tangannya sekali lagi untuk memastikan apakah tadi dia sudah salah lihat. Namun saat dia membacanya lagi tetapi tetap tidak berubah."Nara ngajuin resign?" ujar Agas cukup kaget."Iya Pak. Baru tadi pagi dia mengajukannya," ucap Aldi menjelaskan."Minta dia ke sini sekarang juga," perintah Agas dengan ekspresi tidak bisa diganggu gugat."Tapi Pak. Bagaimana dengan tanggapan orang—""Masa bodo! Saya gak peduli. Cepat panggil dia!" potong Agas dengan nada tidak sabar.Aldi mengangguk mengerti dan segera pergi memanggil Nara."Kenapa Pak Agas memanggil saya, Mas Aldi?" tanya Nara ketika tiba-tiba didatangi Aldi saat jam kerjanya."Soal permintaan resign kamu," jawab Aldi singkat.Nara tidak lanjut bertanya dan hanya mengikuti langkah Aldi yang berjalan menuju ke ruangan Agas.Sampai di depan ruangan Agas, Aldi mempersilakan Nara masuk sendiri sementara dia malah kembali ke meja kerjanya. Nara melemparkan tatapan bertanya pada Aldi. Kenapa Aldi tidak ikut masuk?Nam
"Kenapa? Apa gue gak boleh ada di sini?" ujar orang yang datang ke rumah Nara ini."Maksud gue, ada perlu apa lo dateng ke sini?" ujar Nara memperjelas apa yang dia tanyakan. "Omong-omong, dari mana lo tahu rumah gue?""Gue tahu dari Agas." Nara manggut-manggut mengerti. "Ayo masuk dulu."Nara membuka pintu rumahnya yang terkunci lalu mengajak tamunya masuk ke ruang tamu. "Ervan, mau minum apa?" tanya Nara yang ternyata tamunya itu Ervan, teman SMP Nara selain Agas."Apa aja," jawab Ervan singkat.Nara meninggalkan Ervan sejenak di ruang tamu untuk membuat minuman di dapur. Kemudian Nara kembali lagi dengan membawa dua gelas es sirup."Diminum dulu," ujar Nara setelah memberikan segelas es sirup pada Ervan, lalu gelas lainnya untuk dirinya sendiri.Nara dan Ervan sama-sama meminum es sirup mereka. Lalu perhatian mereka menjadi fokus."Jadi, ada apa?" tanya Nara penasaran, karena sedari tadi Ervan tidak kunjung bicara."Lo udah dapet kerjaan lagi?" Ervan langsujg menanyakannya apa yan
"Tante cantik?!" teriak Bima yang bersemangat ketika melihat ada Nara di kantin sekolahnya. "Tante kok bisa ada di sini?"Nara sedikit terkejut melihat Bima. Dia sama sekali tidak tahu kalau Bima ternyata bersekolah di sini. Bahkan Ervan pun tidak pernah memberitahukan soal ini padanya.Tidak tahu lagi bagaimana perasaannya saat ini. Ada perasaan senang karena bisa melihat Bima lagi tetapi di sisi lain, Nara pun merasakan kecemasan. Padahal dia sampai mengambil keputusan berhenti dari Tama Group dengan tujuan ingin menjaga jarak dengan keluarga Agas. "Kamu mau makan pake lauk apa, Bima?" tanya Nara.Sebenarnya dia ingin memeluk Bima sekarang juga untuk melampiaskan kerinduannya pada anak itu. Tetapi dia sadar sekarang ini dirinya sedang di tempat kerja. Dia tidak bisa mengabaikan orang lain yang datang untuk mengambil makan siang mereka."Tante gak mau ketemu lagi Bima?" tanya Bima dengan nada sedih karena merasa Nara sedikit menghindar.Nara agak terkejut dengan ucapan Bima. Segera
Nara mengusap kedua kelopak matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya benar atau tidak? Namun pandangannya ternyata tidak salah. Orang yang dia lihat memang Riri, istri Agas, sedang berduaan dengan seorang pria yang bukan Agas. "Apa cuman teman?" gumam Nara, tapi saat melihat mereka berangkulan dengan mesra membuat Nara curiga. "Apa selingkuhan?"Setelah terdiam sekian lama, menebak-nebak apa yang sedang dilihat. Nara mempunyai tebakan kalau pria itu selingkuhannya Riri.Tetapi dia belum tentu benar. Nara tidak mau asal menuduh orang. Meskipun dia mencintai Agas tetapi bukan berarti dia menginginkan rumah tangga Agas ini berantakan.Karena yang terpengaruh bukan hanya Agas saja tetapi juga Bima. Nara tidak tega membiarkan Bima berada dalam keluarga yang 'broken home'. Dia berharap Bima bisa mempunyai keluarga yang utuh."Ah, jangan nebak-nebak sembarangan deh," ucap Nara pada dirinya sendiri.Dia berhenti memperhatikan dua orang yang sedang memilih tas bermerek di sana dan lebih
"Ayah?" ucap Nara dengan tatapan kagetnya.Ya, memang yang sedang ada di depannya saat ini adalah ayah kandungnya sendiri. Prayoga Sunjaya. Orang yang mengusir Nara saat tahu kalau Nara hamil di luar nikah. Sudah delapan tahun lamanya sejak terakhir kali Nara bertemu dengannya. Tidak pernah sekalipun ayahnya mengambil inisiatif untuk menemuinya.Memang Nara yang lebih muda, yang harusnya lebih dulu bertindak tetapi Nara takut ditolak lagi. Takut dipandang dengan tatapan benci oleh ayahnya sendiri. Maka dari itu Nara tidak bisa menghubungi ayahnya lebih dulu meskipun dia sangat merindukannya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Prayoga dengan nada masih berwibawa seperti biasanya."Aku kerja di sini, Ayah." Nara menjawabnya dengan nada yang tetap sopan meskipun dia telah dicoret dari KK. Setelah Nara menjawabnya, tidak ada lagi pertanyaan dari sang ayah. Tetapi Nara masih tetap ditatap dengan intens sampai Nara tidak berani mengangkat pandangannya."Minggu depan ulang tahun adikmu yang
Apa yang dibisikkan Lia membuat Nara terkejut sampai dia kembali menanyakannya pada Lia. "Mbak Lia beneran menerima lamaran Mas Aldi?"Lia mengangguk malu, tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang tersipu."Wah selamat ya Mbak," ucap Nara dengan senyuman bahagia. Senang karena Lia telah mengambil keputusan dengan berani untuk memulai jalan hidup baru."Aku harap pilihanku ini enggak salah," ucap Lia penuh harap."Aku doakan ini yang terbaik untuk Mbak Lia," timpal Nara sambil memeluk Lia, memberikan pelukan ekspresi kebahagiaan."Makasih Nara," ucap Lia. "Tapi ada sesuatu yang ingin kuminta bantuan darimu, Nara. Maukah kamu melakukannya?""Tentu saja. Apa yang perlu kubantu, mbak? Katakan! Aku akan berusaha melakukannya dengan baik," jawab Nara dengan pasti. Tentu saja dia tidak berniat menolak permintaan Lia karena selama ini Nara terus-terusan dibantu Lia. Jadi ketika ada kesempatan untuk membalasnya, tidak mungkin Nara lewatkan."Mau gak jadi bridesmaid-ku nanti?"Nara memandang Lia
Yang dilihat Nara di tempat parkir, tidak lain adalah Agas dan Riri. Tampaknya mereka sedang memperdebatkan sesuatu dan Nara tidak mau mendengarnya sama sekali.Nara berjalan dengan hati-hati dari sisi kanan mereka, mencoba mengatur pijakannya sendiri agar tidak mengeluarkan suara, karena dia tidak mau kehadirannya itu disadari oleh mereka berdua. Bisa berakhir canggung atau bahkan mungkin bisa memancing pertengkaran yang tidak perlu mengingat tabiat Riri.Namun sayang, Nara masih harus mendengarkan isi pertengkaran mereka meski dia tidak berniat menguping. Salah satu hal yang mereka bicarakan, ada yang membuat Nara agak terkejut. Sampai dia menghentikan langkahnya."Saya tahu kamu sering main sama laki-laki lain di belakang saya, tapi siapa yang mengijinkan kamu membawanya ke rumah? Kamu tahu sendiri di rumah itu ada Bima, apa kamu tidak bisa mempertimbangkan psikologisnya sebagai seorang ibu," ucap Agas yang terdengar oleh Nara."Kenapa aku harus peduli sama anak itu! Kamu aja tidak
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar