Semua orang berbaju hitam itu meminta agar Hara dan Bisma melepaskanku. Namun, mereka berdua menyembunyikanku tepat di belakang tubuh mereka, agar para bedebah itu tidak bisa menyentuhku.
“Siapa kalian?” tanya Bisma menatap tajam semua orang berpakaian hitam itu satu persatu.
“Pergilah jika kalian tidak ingin terluka,” ucap salah satu dari mereka kemudian memulai perkelahian.
Mereka kemudian bertarung satu sama lain. Sementara kami kalah jumlah, aku harus turun tangan kali ini. Ketika hendak maju, Hara mengisyaratkanku untuk tetap di sana dan tidak terlibat. Namun, sesuatu yang sangat ku benci terjadi.
“Hei, gadis muda. Kenapa kamu sangat jual mahal seperti ini?” tanya salah seorang pria sengaja manarik rambutku dari belakang.
“Hentikan, berani sekali kamu menyentuku,” larangku menatapnya marah sembari mengusap rambut yang dia pegang.
“Harum juga
Dadaku terasa sesak dan pengelihatanku mulai kabur. Gerombolan itu makin mendekat, kali ini mereka tidak akan melepaskan kami. Namun, aku tidak bisa membantu Hara, mengingat kondisiku yang tidak kunjung membaik.“Caramel, kita akan pergi ke sini setiap liburan.”“Papa janji kepadamu.”Suara itu terus-menerus datang tanpa diundang. Hara kemudian menyuruhku untuk meminum obat pemberian Rosa, agar kondisiku lebih membaik. Kemudian dia berlari untuk menghadang gerombolan itu, agar tidak mendekatiku.“Caramel, sadarlah. Cepat pergi dari sini, aku akan menghadang mereka,” perinta Hara kemudian berlari menuju gerombolan itu.Sedikit demi sedikit kesadaranku mulai kembali. Aku bisa melihat jelas keadaan saat ini, begitu pun ketika ponselku mulai berdering.“Halo, Caramel. Kamu di mana?” tanya Rosa dengan nada cemas.
“Mama.” Wanita itu menusuk mama dengan belatih yang sama, seperti yang di pegang pria dari gerombolan itu. Darah mulai mengalir bersamaan dengan aliran air hujan yang membasahi tempat itu.“Tolong, biarkan putriku hidup,” pinta mama dengan seluruh kekuatannya sembari memegang luka tusuk itu.“Untuk apa aku membiarkan putrimu hidup?” tanya wanita bertudung itu kemudian melempar belatih dan mulai menarik kasar rambut mama.“Setidaknya, jika kamu membunuh induk rusa, biarkan anaknya hidup,” jawab mama sembari menahan rasa sakit.“Tidak mungkin. Anak itu, akan menjadi ancaman terbesarku setelah kematianmu,” ucap wanita itu kemudian berdiri dan berjalan mendekatiku yang duduk tanpa melakukan apapun.“Kamu akan menyesal melakukan ini. Langit tentu akan menghukummu atas setiap tetes darah yang kau tumpahkan demi keserakahanmu,” tutur mama meninggikan suara kemudian pingsan tidak sadar
Tanpa berpikir panjang, aku pun melepas selang infus dan mulai beranjak dari tempat tidur. Darah akibat tercabutnya infus dengan kasar itu, darah mulai menetes dan membuat bercak di lantai.“Mama,” ucapku kemudian berjalan keluar dari ruangan sembari berpegangan pada dinding rumah sakit.Aku masih melihat wanita itu, wanita yang memiliki wajah yang sama dengan mama. Aku pun merasakan keakraban ketika melihat wajah itu walau pun baru pertama kali.“Ahh…,” keluhku memegangi kepala yang mulai terasa nyeri.Ketika aku mulai berjalan dan mengamati wanita itu, dia sudah menghilang dari pandanganku. Karena panik, aku pun berjalan lebih cepat kali ini. Beberapa perawat yang melihatku terheran-heran karena dalam kondisiku yang seperti ini aku bisa berjalan bahkan berlari kecil.***“Aku akan membelikan Caramel salad, kalian bisa pergi dahulu,&rd
Mendengar ucapanku itu, Rosa seakan tidak percaya dengan jawaban yang ku lontarkan. Pengakuan itu, sama sekali terasa tidak dibuat-buat. Rosa adalah satu-satunya sahabat yang tahu persis bagaimana watakku.Aku tidak akan berbohong hanya untuk menutupi permasalahan sepele itu. Namun kali ini, Rosa melihat begitu banyak harapan sejak aku menyebut kata itu. Mata yang tadinya tidak pernah mengharapkan kasih sayang, kini berubah sejenak setelah aku mengetahui bahwa orang tuaku masih hidup.“Bagaimana kamu yakin, dia adalah Mamamu?” tanya Rosa kemudian duduk di depanku dengan pandangan yang penuh tanda tanya.“Ingtanku, perlahan kembali,” jawabku pelan sembari memegangi kepala yang masih terasa sakit.“Ceritakan kepadaku,” pinta Rosa kemudian memegang kedua tanganku dengan keyakinan.Aku menceritakan semua ingatan yang perlahan ku ingat kepada Rosa. Aku mempercayainya dengan ke
Aku bertanya-tanya kepada semua organ di dalam diriku, apakah aku pernah mengenal pria ini sebelumnya. Namun, tidak ada satu pun ingatan yang tersisa untuknya saat ini, persis saat sebuah ingatan kecil tentang mama muncul kembali.“Aaa…,” keluhku tiba-tiba memukul kepala karena nyeri yang datang secara tiba-tiba.“Kita harus ke rumah sakit,” ajak Raka kemudian mengambil ponselnya dan bersiap untuk pergi.“Tidak, bisakah kamu mengantarkanku pulang,” tolakku sekaligus permintaanku ketika bangkit dan menatap Raka dengan mata yang berusaha menahan rasa sakit.Dia pun menyetujui permintaanku dan segera mengantarkanku pulang. Tidak lupa juga, Raka menebus obat untukku dan memastikanku masuk ke dalam apartemen dan pergi ketika aku mematikan lampu malam itu.***Caramel… kamu harus lari… kamu tidak boleh mempercayai siapa pun… larilah&hellip
Melihatku terjatuh tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, Bisma kemudian menghampiriku dan terus melontarkan pertanyaan.“Caramel, ada apa?” tanya Bisma dengan tatapan panik melihatku terjatuh.“Ah, aku tidak apa-apa. Kalau begitu, aku permisi,” jawabku kemudian berdiri dan segera pergi ke kasir untuk membayar semua belanjaanku.Tidak ingin Bisma ikut campur lagi dalam masalah pribadiku, menghindar adalah satu-satunya jalan yang ku miliki. Seusai membayar semua itu, aku bergegas keluar dan pergi.Tepat ketika berhenti di halte bus, aku melihat Bisma berlari mendekatiku. Untung saja, bus datang lebih cepat dari langkah kakinya. Aku pun naik dan berusaha tidak melihatnya menghampiriku.“Syukurlah,” gumamku dalam hati kemudian bersandar di kursi bus.Aku memikirkan hal itu, ingatan yang terus menghantuiku. “Aish… kenapa ingatanku menjadi tidak
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Rasa syukur mungkin terus terungkapkan ketika matahari mulai muncul. Semua orang menyatukan kedua telapak tangan sembari tersenyum, atau bahkan menangis untuk memuji Tuhan.Sama seperti semua orang, aku menjalani pagi ini dengan berdoa kepada Tuhan seraya menyerahkan semua hasil yang akan ku dapatkan hari ini kepadanya. Berjalan melalui lobi kantor ini, membuatku sedikit gugup sekaligus Bahagia.“Baiklah, kita akan mulai interview untuk gelombang pertama. Bagi nomor urut 1 sampai 5, silakan ikut saya,” ucap seorang wanita dengan tubuh langsing dan setelan yang terlihat cocok untuknya.“25.” Aku melihat nomor yang ada pada id card kemudian menghela napas. Ini adalah kesempatan emas bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terbesar se Asia.Kring…kring…kring…“Ada apa menelponku pagi-pagi seper
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan
Melihatku terjatuh tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, Bisma kemudian menghampiriku dan terus melontarkan pertanyaan.“Caramel, ada apa?” tanya Bisma dengan tatapan panik melihatku terjatuh.“Ah, aku tidak apa-apa. Kalau begitu, aku permisi,” jawabku kemudian berdiri dan segera pergi ke kasir untuk membayar semua belanjaanku.Tidak ingin Bisma ikut campur lagi dalam masalah pribadiku, menghindar adalah satu-satunya jalan yang ku miliki. Seusai membayar semua itu, aku bergegas keluar dan pergi.Tepat ketika berhenti di halte bus, aku melihat Bisma berlari mendekatiku. Untung saja, bus datang lebih cepat dari langkah kakinya. Aku pun naik dan berusaha tidak melihatnya menghampiriku.“Syukurlah,” gumamku dalam hati kemudian bersandar di kursi bus.Aku memikirkan hal itu, ingatan yang terus menghantuiku. “Aish… kenapa ingatanku menjadi tidak
Aku bertanya-tanya kepada semua organ di dalam diriku, apakah aku pernah mengenal pria ini sebelumnya. Namun, tidak ada satu pun ingatan yang tersisa untuknya saat ini, persis saat sebuah ingatan kecil tentang mama muncul kembali.“Aaa…,” keluhku tiba-tiba memukul kepala karena nyeri yang datang secara tiba-tiba.“Kita harus ke rumah sakit,” ajak Raka kemudian mengambil ponselnya dan bersiap untuk pergi.“Tidak, bisakah kamu mengantarkanku pulang,” tolakku sekaligus permintaanku ketika bangkit dan menatap Raka dengan mata yang berusaha menahan rasa sakit.Dia pun menyetujui permintaanku dan segera mengantarkanku pulang. Tidak lupa juga, Raka menebus obat untukku dan memastikanku masuk ke dalam apartemen dan pergi ketika aku mematikan lampu malam itu.***Caramel… kamu harus lari… kamu tidak boleh mempercayai siapa pun… larilah&hellip
Mendengar ucapanku itu, Rosa seakan tidak percaya dengan jawaban yang ku lontarkan. Pengakuan itu, sama sekali terasa tidak dibuat-buat. Rosa adalah satu-satunya sahabat yang tahu persis bagaimana watakku.Aku tidak akan berbohong hanya untuk menutupi permasalahan sepele itu. Namun kali ini, Rosa melihat begitu banyak harapan sejak aku menyebut kata itu. Mata yang tadinya tidak pernah mengharapkan kasih sayang, kini berubah sejenak setelah aku mengetahui bahwa orang tuaku masih hidup.“Bagaimana kamu yakin, dia adalah Mamamu?” tanya Rosa kemudian duduk di depanku dengan pandangan yang penuh tanda tanya.“Ingtanku, perlahan kembali,” jawabku pelan sembari memegangi kepala yang masih terasa sakit.“Ceritakan kepadaku,” pinta Rosa kemudian memegang kedua tanganku dengan keyakinan.Aku menceritakan semua ingatan yang perlahan ku ingat kepada Rosa. Aku mempercayainya dengan ke