"Kemana kamu, Syahdu?" Ditengah kekalutanku tiba-tiba petugas keamanan mengabariku.
"Mas, ada gadis yang yang menggendong anak kecil sedang berteriak-teriak memanggil Mas Banyu.""Iya, Pak. Itu Syahdu. Dimana, Pak?""Di tempat pemberhentian kereta di dekat pintu masuk."Buru-buru aku dengan diantar petugas keamanan menuju tempat yang di maksud. Terlihat Syahdu duduk di dekat loket sambil mendekap Dinda dengan wajah kelelahan dan ketakutan. Melihatku, buru-buru dia menghambur ke pelukanku dan menangis sesenggukan."Kenapa kamu tinggalin Mas Banyu? Kan Mas Banyu sudah pesan, jangan kemana-mana!""Tadi Syahdu kebelet pipis jadi Syahdu nyari kamar mandi. Tapi nggak ketemu jadinya Syahdu ngompol, Mas. Lalu ada kereta berhenti, Syahdu naik aja. Syahdu takut. Syahdu nggak ketemu Mas Banyu," jelasnya kemudian menangis lagi."Sudah, diam nangisnya. Kan sudah ketemu Mas Banyu sekarang. Ayo pulang, ya. Sampai sudah sore begini. Kamu lapar kan? Kita sampai belum makan siang gara-gara kamu hilang."Keluar dari Mekar Sari aku pun mengajak Syahdu dan Dinda mampir ke toko pakaian untuk membelikan Syahdu baju ganti karena nggak tahan dengan baunya. Lalu kami mencari tempat makan sekalian menunggu magrib. Setelah Maghrib baru kami melanjutkan perjalanan pulang. Tapi baru saja mobil melaju, terlihat kemacetan yang sangat panjang entah karena apa. Mobil sama sekali tidak bergerak. Untunglah Dinda nggak rewel, anteng tertidur pulas. Justru ibunya yang rewel."Syahdu capek, Mas. Kenapa nggak nyampe-nyampe. Syahdu pengin tiduran, kepala Syahdu pusing."Kubiarkan saja dia merengek-rengek dan akhirnya tertidur pulas sendiri. Menatap wajahnya yang tertidur, seperti menatap seorang perempuan normal. Ketidaknormalannya hanya terlihat kalau dia bicara.Meski kecapekan, tapi kecantikannya tetap memukau bagiku. Seraut wajah yang tak pernah sirna dari pikiranku dan semakin membekas setelah hari ini pertama kalinya aku berkomunikasi dengan Syahdu. Setelah hari ini, entahlah apa aku tega meninggalkannya, berangkat ke Jepang.Jam 10 malam akhirnya kami sampai di rumah Syahdu dengan diiringi hujan yang sangat deras dan petir yang menyambar-nyambar. Perjalanan yang harusnya cuma 1 jam harus ditempuh berjam-jam karena macet parah disebabkan kecelakaan beruntun."Syahdu, bangun. Sudah sampai," lirihku."Sampai malam begini, Mas Banyu?" tanya Mbok Nah sambil meraih Dinda dari pangkuan Syahdu."Iya, Mbok. Ceritanya panjang. Saya numpang istirahat dulu sebentar ya, Mbok. Lumayan capek tadi di jalan kena macet.""Sudah, Mas Banyu nginep di sini saja. Sudah malam begini, hujannya juga deras sekali. Jalanan di Jonggol sepi, Mas. Takut kenapa-napa.""Tetapi, Mbok ...,""Pulang besok habis subuh saja, Mas. Lebih aman.""Iya, Sih, Mbok. Saya juga ngantuk dan capek ini.""Saya siapin kamar dulu ya, Mas.""Saya tidur di ruang tamu saja, Mbok.""Nggak, ada kamar Mbak Syahdu kosong kok. Mbak Syahdu tidurnya di kamar Neng Dinda."Aku akhirnya manut lalu diantar Mbok Nah ke kamar Syahdu."Nah, ini kamarnya, Mas.""Terima kasih, Mbok. Itu kok ada pintu di dalam kamar, Mbok?""O iya. Itu pintu menghubungkan ke kamar Neng Dinda. Sudah ya Mbok tinggal dulu. Mas Banyu istirahat.""Mbok Nah percaya sama saya untuk tidur di sini?""Iya, Mbok Nah percaya. Mas Banyu tidak mungkin menyakiti Mbak Syahdu.""Sekali lagi, terima kasih ya, Mbok."Karena capeknya, setelah kutelepon Arumi, aku pun tertidur pulas tak ingat apa-apa. Aku terbangun ketika seseorang berteriak kencang lalu memukul wajahku."Banyu! Apa-apaan ini! Apa yang kamu lakukan disini? Kurang ajar kamu! Dan kamu Syahdu dasar wanita jalang!"Aku yang masih belum pulih benar kesadarannya, merasa bingung dengan apa yang terjadi. Kenapa Syahdu bisa tidur di sampingku dan aku memeluknya."Syahdu, kenapa kamu tidur di sini?" tanyaku penuh selidik pada Syahdu yang juga terduduk kebingungan karena nyawanya belum pulih tapi Ayah menarik lengannya lalu berkali-kali menampar pipi Syahdu."Hentikan, Yah! Ini tidak seperti yang Ayah lihat. Ayah telah salah sangka. Ayah lihat kan kami masih berpakaian utuh. Kami tidak melakukan apa-apa, Yah. Aku jamin itu.""Dasar, anak tak tahu diuntung! Jadi dari kemarin kamu seharian tidak di rumah bahkan tidak pulang itu karena kamu di sini, Banyu?! Apa maumu? Kamu menyukai Syahdu? Jawab Banyu!""Ayah yang harus menjawab pertanyaan Banyu! Apa yang sudah Ayah lakukan pada Bapaknya Syahdu?!""Apa maksudmu?" Terlihat wajah Ayah yang tiba-tiba pucat ketakutan."Banyu sangat menyesal, Ayah sudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta! Sampai harus membunuh bapaknya Syahdu!""Lancang mulutmu, Banyu! Ayah mulai mengangkat tangannya mau menamparku lagi tapi kucekal lengannya."Benar kan, Yah?" "Siapa yang mencekoki kamu dengan fitnah it
Ternyata itulah pertemuan terakhirku dengan Ayah. Di hadapanku dan karenaku Ayah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Kebencianku pada Ayah yang berapi-api seketika luntur. Pada kenyataannya aku tetap merasa kehilangan. Ada rasa sedih yang mendalam, rasa bersalah dan menyesal."Maafkan Banyu, Yah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah."Dan Ibu yang terlihat begitu shock. Menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Bahkan Ibu sama sekali tak menyadari keberadaan Syahdu dan Dinda di antara kami. Syahdu yang begitu terpuruk, menangis tanpa jeda. Bukan karena kepergian Ayah tapi karena kehilangan Mbok Nah, sosok yang sudah dianggap Syahdu seperti seorang ibu. Entah kemana Mbok Nah pergi. Aku sudah tidak punya waktu untuk mencarinya karena harus mengurus Ayah. Dengan terpaksa Syahdu dan Dinda akhirnya kubawa pulang ke rumah tanpa tahu, bagaimana aku akan menjelaskan pada Ibu dan Arumi."Siapa perempuan dan anak ini, Mas?" Cerca Arumi menatap curiga Syahdu yang
"Jangan sekarang ya, Rum. Kita masih dalam suasana berduka. Tapi aku janji nanti akan aku ceritakan semua padamu dan Ibu.""Kami ingin penjelasan sekarang juga, Mas Banyu! Iya kan, Bu?""Iya, Banyu, jelaskan sekarang! Siapa dia?""Dia ... Dia istri Ayah," jawabku yang membuat Arumi dan Ibu tersentak kaget."Apa maksudmu, Banyu? Kamu bercanda, kan?""Tidak, Bu. Dia memang istri simpanan Ayah." Ibu menangis dan berteriak histeris."Tega kamu, Yah. Biadab! Suami tak tahu di untung! Pengkhianat!""Sudah, Bu. Maafkan Ayah. Ayah sudah tidak bersama kita lagi. Setiap manusia pernah melakukan khilaf. Kita maafkan Ayah ya, Bu, supaya Ayah tenang di sana." Kubiarkan Ibu menangis sepuasnya di pelukanku."Kenapa Ayahmu tega membohongi Ibu, mengkhianati Ibu, Banyu? Ibu pikir Ayah suami baik-baik. Tapi ternyata ... Jadi ini alasan Ayah jarang di rumah. Kenapa Ibu tidak menyadarinya sama sekali. Ibu kembali menangis sambil memukul-mukul dadaku meluapkan kemarahannya pada orang yang sudah tidak ada.
"Banyu minta maaf, Bu. Kali ini Banyu terpaksa jadi anak durhaka. Banyu akan mempertahankan Syahdu untuk tetap tinggal di rumah ini. Syahdu akan jadi tanggung jawab Banyu.""Kamu lebih memilih perempuan yang baru saja kamu kenal dan sudah merebut Ayahmu itu, Banyu, daripada Ibu dan istrimu?!""Ibu dan Arumi yang tidak punya hati. Lihat Syahdu, Bu. Dia seorang perempuan cacat yang layak kita kasihani. Tolong mengertilah, buka sedikit saja hati kalian buat dia. Banyu mohon.""Anak tak tau diri kamu, Banyu!""Maafkan Banyu, Bu. Dan aku juga sudah putuskan, Rum. Untuk sementara aku tidak akan kembali ke Jepang. Aku mau berhenti kuliah dulu, Bu, Rum. Atau mungkin untuk selamanya.""Karena perempuan jalang itu juga kan, Mas? Mas Banyu tidak mau meninggalkan dia! Iya, kan?""Jaga ucapanmu, Rum. Dia bukan perempuan jalang. Dia punya nama. Syahdu namanya! Kamu harusnya bisa lihat situasi. Ayah sudah nggak ada. Siapa yang akan membiayai kuliahku di Jepang. Aku juga memikirkan Ibu dan adikku. Ak
"Baiklah, Bu. Kalau itu keputusan Ibu. Sebentar ya, Banyu mau keluar dulu cari makan.""Nggak perlu! Syahdu yang akan menyiapkan sarapan kita. Ini tugas pertama buat dia sebagai pembantu di rumah ini!""Syahdu belum bisa, Bu. Harus di ajarin dulu. Dan tidak sekarang. Belajarnya mulai besok saja. Sudah, kita DO makanan saja.""Syahdu, kamu lapar, kan?!" tanya Ibu dengan nada membentak."Iya, perutku keroncongan," jawab Syahdu sambil memegangi perutnya."Pergi ke dapur! Bikin mie instan dan telur ceplok sekalian buat kita semua!" perintah Ibu."Biasanya yang bikinin Mbok Nah. Syahdu nggak bisa.""Nggak ada Mbok Nah disini! Mulai sekarang kamu yang akan jadi Mbok Nah di sini!" bentak Ibu."Mas Banyu, Syahdu mau pulang. Syahdu mau Mbok Nah. Syahdu laper.""Tuh, urus ibu tirimu itu, Banyu!" perintah Ibu."Baik kalau kalian tidak mau, biar Banyu yang ngajari Syahdu. Ayo, Syahdu, Mas Banyu ajarin cara bikin mie dan ceplok telor." Syahdu akhirnya membuntutiku menuju dapur, lamat-lamat masih
"Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku.""Dia itu perempuan begini, Ngga," ucap Ibu sambil memiringkan jari telunjuk di dahinya."Ibu! Apa-apaan, sih!" Sungguh, aku tak rela Syahdu dicemooh Ibu."Sinting maksud Tante?" tanya Rangga yang sepertinya justru semakin penasaran dengan Syahdu."Iya.""Tapi nggak pa pa, Tante, aku cuma butuh wajah dan tubuhnya. Suka dengan wajah innocent nya. Lihatin deh, Tant. Dia dalam pose begitu saja sudah terlihat fotogenic apalagi kalau dipoles dan diarahin dikit.""Rangga ... Rangga ... matamu itu normal nggak sih. Perempuan model begitu kamu bilang fotogenic. Coba kamu lihatinnya dari deket sana. Jangan-jangan matamu siwer," cibir Arumi.Tapi jujur saja, apa yang dikatakan Rangga itu memang benar. Wajah dan tubuh Syahdu itu memang fotogenic."Nggak usah repot-repot, Ngga. Syahdu akan tetap jadi pembantu di sini. Kamu kayak nggak ada perempuan lain aja. Pembantu mau kamu embat juga," ujarku, m
Pagi buta bergegas aku menuruni tangga, netraku menyapu sekeliling ruangan mencari Syahdu yang biasanya jam segini sedang bersih-bersih di ruang tengah. Tapi pagi ini tak kelihatan batang hidungnya. Kususuri semua ruangan dan halaman tetap tak ada."Masak iya jam segini Syahdu belum bangun, tidak biasanya." Lalu aku menuju kamarnya, ternyata dia masih tertidur, meringkuk dengan tubuh menggigil."Syahdu! Ya Allah tubuhnya panas sekali. Syahdu, kamu sakit?" Sambil kupegang dahinya yang panas, kubangunkan Syahdu pelan. "Dinda! Jangan sakiti Dinda!" Dengan suara parau buru-buru dia mendekap Dinda yang terbaring di sampingnya."Siapa yang mau menyakiti Dinda, Syahdu? Ini Mas Banyu. Kamu mimpi buruk ya?" Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan seperti ketakutan. "Aku nggak mau kehilangan Dinda, jangan sakiti dia!""Iya, tidak ada yang akan menyakiti Dinda. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Kamu kecapekan ya. Hari ini kamu istirahat dulu. Nggak usah ngerjain kerjaan rumah. Sebentar, Mas
POV Syahdu Satu tahun kemudian "Mama, Dinda pengin didongengin.""Sst ... jangan berisik, adik sudah bobok.""Tapi Dinda nggak bisa bobok kalau nggak didongengin.""Sini, mama usap-usap punggung Dinda ya biar bisa bobok."Dinda ... Putriku yang selalu menemani hidupku dalam suka dan duka. Ikut terlunta-lunta bersamaku terbawa kejamnya arus kehidupan. Wajah-wajah biadab itu sedikit pun tak akan pernah kubiarkan beranjak dari ingatanku. Terlintas kembali peristiwa setahun yang lalu...Tubuhku yang sudah lemah lunglai dengan kepala pusing tak karuan tertindih tubuh penjajah harga diriku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menangis histeris."Diem kamu, Syahdu. Semakin kamu nangis kenceng, aku akan semakin kasar padamu!" ancam laki-laki biadab itu yang terus saja melampiaskan hasrat setannya tak peduli rintihan kesakitanku sambil terus menampar mulutku.Tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Tubuhnya terkulai di atasku. Seseorang telah memukul kepalanya dengan benda keras. Tampak
"Mas Banyumu, Syahdu!""Mas Banyu?!" Aku tersentak, " Ngapain Mas Banyu di sana, Mas Adit?""Kan aku bilang, orang itu jadi pasienku, pasien Dokter Hans, berarti apa?""Berarti Mas Banyu gila?!""Iya, Syahdu. Tadi Mas Adit juga nggak percaya. Keadaannya sangat menyedihkan. Yang keluar dari mulutnya cuma namamu dan Dinda. Syahdu ... Dinda ... Gitu terus. Tatapan matanya kosong. Dan yang lebih menyedihkan dia buta, Syahdu.""Mas Banyu!" Aku pun menangis histeris."Tadi aku sempet tanya saudara yang kebetulan menjenguknya. Kamu tahu ternyata Banyu mendonorkan mata buat putrinya yang sangat ia cintai dulu sebelum dimasukkan ke penjara.""Jadi mata Dinda itu mata Mas Banyu, Mas Adit?" Mas Adit mengangguk dan aku pun menangis sejadi jadinya."Mas Adit! Syahdu mau ketemu Mas Banyu, Mas Adit! Anterin Syahdu ke Mas Banyu!" rengekku."Enggak, Syahdu! Untuk keadaan sekarang belum aman.""Pokoknya Syahdu mau ketemu Mas Banyu! Kalau Mas Adit nggak mau nganterin, Syahdu mau kesana sendiri! minta d
Sampai akhirnya kami harus kembali ke perantauan. Mas Adit sudah sembuh total dan menutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi. Dito sudah berumur 3 bulan jadi sudah aman untuk melakukan perjalanan jauh."Kamu yakin, Dit membawa Syahdu ke Jakarta? Apa bisa dia mengasuh 2 anak sendirian?" tanya Mama khawatir."Syahdu bisa kok, Ma." jawabku"Jangan sepelein Syahdu, Ma. Dia memang punya kekurangan. Tapi dia juga punya naluri seorang ibu. Nih buktinya, Dinda tumbuh dengan baik dan sehat.""Iyo Yo, Dit. Cantik lagi nih Dinda nya."."Maaf ya, Mbak Syahdu, Mbok Nah nggak bisa ikut. Mbok Nah pengin menikmati masa tua di kampung.""Iya, Mbok Nah, nggak pa pa. Sekarang Syahdu udah bisa ngapa ngapain sendiri, udah diajarin masak Mbok Nah juga kan. Yang penting Syahdu ada di samping Mas Adit. Itu sudah cukup.""Iya, Mbak Syahdu, Mbok Nah sudah tenang sekarang, Mbak Syahdu pasti aman dan bahagia sama Mas Adit. Mas Adit nitip Mbak Syahdu, ya.""Iya, Mbok. Tenang saja.""Dit, sudah kamu nurut sama Papa,
"Syahdu nggak pa pa. Syahdu janji nggak selingkuh. Mas Adit juga janji jangan nyari istri lagi, ya?""1 istri saja aku nggak bisa ngasih nafkah batin, gimana mau 2, Syahdu. Kamu ada-ada aja. Kamu tuh yang bisa selingkuh.""Nggak, Syahdu nggak bakal selingkuh. Syahdu sayang Mas Adit.""Lha iya, selingkuhanmu dah di penjara. Mo selingkuh sama siapa.""Mas Adiiiiiit!" Kucubit saja lengannya.***Setelah latihan tiap hari bersamaku, 2 bulan berikutnya, Mas Adit akhirnya bisa berjalan normal kembali walaupun masih pakai tongkat. Semangat Mas Adit yang menggebu gebu telah mempercepat proses penyembuhan.Pagi ini kami berdua jalan pagi menyusuri jalanan pedesaan yang masih sepi. Udaranya segar sekali. Diusia kehamilanku yang sudah mendekati lahiran, disarankan banyak jalan biar persalinan lancar katanya. Makanya tiap hari, Mas Adit yang bersemangat ngajak jalan, sekalian terapi buat Mas Adit juga."Duuuh, yang terkenang dengan seseorang ...," ledek Mas Adit sambil menyikut lenganku ketika k
Hari hariku selanjutnya terasa suram melihat Dinda yang lebih banyak nangisnya daripada diemnya. Selalu rewel, nangis terus nggak pagi, nggak siang, nggak malem. Naluri seorang ibu, bisa merasakan apa yang dirasakan Dinda. Dia kesepian dan ketakutan.Yang bisa menghiburnya hanya suaraku dan suara Mas Adit. Setiap kami diam dia nangis. Penginnya kita ngomong terus, ngajak ngobrol dia. Tidurpun nggak bisa lepas dari kami. Minta kupeluk juga Mas Adit."Tapi, Dit, anak Anggita yang di perut ini juga butuh kamu" rengek Anggita manja ketika Mas Adit ijin mo tidur di kamarku "Tolong dong, Nggit. Ngalah dulu. Kasihan, Dinda. Dia pengin tidur dipeluk papanya. Kamu jangan egois kayak gitu!" Seru Mas Adit.Akhirnya Mas Adit sekarang tidur bersama kami tidak peduli Anggita sewot. Buat Mas Adit kebahagiaan Dinda lebih penting dari segalanya.Satu satunya harapan kami hanya menunggu ada orang yang mau mendonorkan matanya. Papa terus berusaha. Mas Adit yang bersikeras pengin mendonorkan mata akhirn
Setelah seminggu dirawat akhirnya aku boleh pulang. Senangnya ... walaupun ada yang kurang karena Dinda masih dirawat di Rumah sakit di Semarang. "Syahdu, nanti ada kejutan buatmu." ucap Mama ketika perjalanan pulang dari rumah sakit. Hanya Mama dan sopir yang menjemputku karena Papa dan Mas Yoga nungguin Dinda di Semarang. Dan Mas Adit nungguin Anggita yang lagi sakit katanya."Kejutan buat Syahdu? Kejutan apa, Ma?" "Kalau aku ngomong sekarang namanya bukan kejutan dong, Syahdu. Nanti nyampe rumah."Setelah melewati hamparan sawah, kami pun sampai di rumah Mas Adit. Terlihat Mas Adit yang sudah menyambutku di pintu gerbang."Akhirnya, istriku yang lucu menggemaskan ini kembali juga ke rumahku." "Mas Adit!" Kupeluk Mas Adit yang duduk di kursi roda. "Syahdu, lihat ini ada siapa?" panggil Mama, Aku melepaskan pelukan Mas Adit menoleh ke arah Mama.Seorang wanita tua yang pakai kebaya berdiri di samping Mama. Kuusap usap mataku. Rasanya tidak percaya. "Mbok Nah!" Aku berlari ke ar
Bunga ilalangPart 34_Merajut_memori_lama"Dinda kritis di rumah sakit, Dit.""Dinda ... Dinda kenapa, Mas Adit?!" Aku yang mendengar nama Dinda disebut langsung teriak panik tapi Mas Adit tak menjawabku malah menjalankan kursi rodanya menjauh dariku.Tapi lamat-lamat aku bisa mendengar percakapan mereka."Kritis kenapa, Pa?" "Kecelakaan di tol Semarang. Polisi mengejar mobil yang dikendarai Banyu. Perhitungan mereka kalau ditangkap di jalan, mereka tidak sempat merencanakan sesuatu untuk menggunakan Dinda sebagai tameng.""Lalu, Pa?""Tapi ternyata perhitungan polisi meleset. Banyu menabrakkan mobilnya pada besi pembatas jalan dengan kecepatan tinggi, Dit. Menurut pengamatan polisi dia sengaja menabrakkan karena tidak terlihat mobil oleng atau menghindari sesuatu.""Innalilahi. Apa maunya, Banyu itu! Bisa bisanya dia senekat itu! Terus bagaimana keadaan mereka, Pa? Keadaan, Dinda?""Semua kritis, Dit, termasuk Dinda. Mereka di rawat di rumah sakit di Semarang. Ini Papa dan Mas Yog
"Dinda ... Mama kangen. Dinda baik-baik ya, Dinda jangan rewel," aku terisak isak mengingat Dinda, sangat sedih, inilah pertama kalinya aku berpisah dengan Dinda."Mas Yoga, nggak ikut ke sini, Pa?" tanya Mas Adit."Mas Yoga pulang dulu tadi.""Kalau Papa dan Mama mau pulang, pulang aja dulu. Biar Syahdu kujagain.""Yakin kamu bisa jagain Syahdu dalam keadaan begini? Nanti kalau ada orang suruhan Banyu kesini terus nyulik kamu gimana?" "Nggak nggak, Pa. Mana berani di tempat umum begini. Di depan juga banyak suster. Ini ada bel juga. Yakin, Adit bisa. Adit pengin mengenal Syahdu lebih dekat. Nggak tau kenapa, dekat dia itu rasanya lain. Apa karena diperutnya ada anakku, ya?""Cie yang mau jadi Papa ... Dit, Adit, berarti memang perasaanmu ke Syahdu itu dulu benar-benar dalem, ya. Cinta sejati. Dalam keadaan amnesia pun Syahdu tetap istimewa. Yo Wis lah. Kita pulang dulu, ya. Nanti maleman kita kesini lagi," ucap Papa yang tak henti hentinya meledek Mas Adit."Nggak usah kesini, Pa.
"Malam itu ... saya ditelepon Pak Banyu. Beliau membeberkan sebuah rencana yang harus saya laksanakan. Saya disuruh ke stasiun pagi-pagi habis subuh. Saya juga disuruh mencari orang-orang bayaran untuk melaksanakan rencana Pak Banyu. Di Stasiun, saya dan orang-orang bayaran itu menunggu instruksi Pak Banyu. Pak Banyu 1 kereta dengan target yaitu Mas Adit dan Mbak Syahdu ini. Setelah kereta sampai di stasiun, Pak Banyu mengarahkan saya pada target yang baru turun dari kereta. Saya mencari waktu yang tepat untuk menjalankan aksi yang sudah dibeberkan Pak Banyu. Nah, kebetulan sekali Mas Adit ke toilet. Di depan toilet itulah saya berpura pura kecopetan. Orang suruhan saya menjabret tas saya. Saya minta tolong pada Mas Adit. Mas Adit pun berlari mengejar pencopet alias orang suruhan saya itu. Sengaja orang suruhan saya itu berlari ke arah jalan raya kemudian menyebrang jalan. Dan orang suruhan saya yang lain bertugas membawa motor dengan kencang, menabrak Mas Adit. Rencana berjalan d
"Kamu yang ninggalin aku. Kenapa kamu nggak ada di sisiku saat aku di rumah sakit. Kenapa kamu malah nikah dengan laki-laki brengsek itu.""Waktu di Stasiun itu, Mas Adit lama sekali, nggak dateng-dateng. Syahdu takut. Lalu Mas Banyu datang membawa Syahdu ke rumahnya lalu menikahi Syahdu.""Mungkin Allah memisahkan kita di stasiun melalui tangan Banyu untuk menguji kekuatan cinta kita, Syahdu. Nyatanya sejauh apa kita dipisahkan akhirnya bertemu kembali. Memang sudah nasibku, Syahdu, nggak bisa terpisah dari kamu!" Tiba-tiba Mas Adit memencet hidungku yang membuatku kaget."Mas Adit sudah inget sama Syahdu?""Nggak! Aku nggak mau nginget kamu! Apalagi inget kamu selingkuh sama si Banyu itu. Sakit, Syahdu!""Selingkuh itu apa?""Kamu nikah sama orang lain!""Mas Adit juga selingkuh sama perempuan itu! Syahdu nggak suka!""Iyalah, memang kamu doang yang bisa selingkuh. Aku juga bisa. Gini-gini aku punya penggemar. Anggita itu perempuan yang tergila gila padaku. Bukan kamu doang yang pun