Zaman diam, menatap kendaraan lalu lintas di depan lampu merah. Tangannya mengepal keras, mengamati bagaimana orang-orang mementingkan urusan masing-masing. Matanya memerah, wajar, Zaman sedang menangis sejak 30 menit mengendarai mobil. Sisi yang tidak pernah dia tunjukkan pada siapapun. Klakson mobil dari belakang membuat kesadaran Zaman kembali, dia mengaktifkan sen untuk meminta maaf dan segera memijak pedal mobil. Perasaan Zaman sedang campur aduk. Tepatnya 30 menit yang lalu, dia dikabari oleh nomor tidak dikenal. Awalnya dia mengabaikan, namun ternyata dari pihak rumah sakit. Pikiran Zaman langsung kosong saat mendengar kabar dari sang dokter bahwa kakaknya—Sabrina—meninggal dunia. Dia merasa aneh, linglung, dan tidak sadar selama beberapa menit. Bahkan usai Zaman tiba di rumah sakit, dia masih tidak percaya bahwa, sosok yang berada di balik kain putih itu adalah saudaranya. Air matanya menetes lagi. Zaman berjalan mendekat, setiap langkah membuat jantungnya berdebar. Kini d
Parlin menghela nafas, apalagi dengan kelakuan Burhan yang masih tidak kenal efek jera. Dia menatap Mahendra yang dikurung di dalam ruangan kosong, makanan hanya diberikan sekali sehari. Jujur, dia tidak menginginkan hal ini terjadi lagi. Tapi apa ada, dia juga tidak ingin masuk penjara. “Bagaimana jika aku melenyapkan wanita itu saja, paman? Jika dia beres, maka tidak akan ada pihak keluarga korban. Seluruh keluarganya juga akan Sasa hancurkan, itu adalah jalan terbaik. Membunuh semua yang berpotensi membahayakan.” Ide yang sangat buruk. Parlin tidak tahu bagaimana dia membesarkan putrinya. Hingga otak Sasa lebih buruk daripada dia. Bahkan pernikahannya dulu dengan Yuan adalah sebuah keterpaksaan dan juga bisnis. Seharusnya Burhan dulu berdiri di pihak James, dia tidak harus buta harta. Sebab. Harta itu sifatnya sementara. Bahkan tidak ada keluarganya yang ingin tinggal bersamanya. Miris sekali. Burhan merasa arah hidupnya semakin hari semakin tidak ada arah dan juga tujuan. “He
Situasi tidak semakin membaik. Keluarpun dari zona itu Zaman tidak bisa. Rossa dan Hendrix yang tengah sibuk dengan layar di depan mereka mulai membatin. Ada yang salah, beberapa menit lalu koneksi mereka tiba-tiba diputus. Sepertinya ada sesuatu yang mereka lupakan. Rossa menatap Jake yang berdiri tidak jauh dari mereka, lalu menatap sekitarnya. Perasaannya saja atau memang ada seseorang yang mengamati mereka dari tadi? “Ros, apa kau merasakan yang aku rasakan?” “Intimidasi?” Ros mengerutkan kening menatap kembarannya itu. “Benar. Aku merasa ada seseorang yang mengawasi kita dari tadi. Tidak mungkin itu Jake bukan?” bisiknya sangat pelan di akhir kalimat. Jika memang Jake adalah seorang penghianat, maka Tristan sudah terlalu bodoh menjadikan lelaki itu sebagai tangan kanan. Brugh Tubuh Jake terlempar. Rossa dan Hendrix terlompat dari duduk mereka karena terkejut. Kedua menatap Jake dengan seorang lelaki bertopeng. “Sial, siapa dia?” “Sepertinya kalian berdua menyadari kebera
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas