Bab 69) Hal Yang Paling Berharga Patutlah jika banyak orang berkata, tiada hal yang paling berharga, selain keluarga. Seperti mimpi rasanya bisa berhadapan dengan kakek kandungnya sendiri, bisa menggenggam dan mencium tangannya. Selama ini ia hanya tahu papa dan mamanya. Tak pernah sekalipun ia di kenalkan ke keluarga orang tuanya. Isakannya lirih. Bukan sedih, tapi terharu teramat sangat. Albana pun sama. Sesungguhnya bukan cuma Hendra yang menyesal, tapi juga dirinya. Hanya saja, egonya terlalu tinggi. Puluhan tahun ia berpura-pura tak peduli pada Alia dan Aira, sampai akhirnya krisis kepemimpinan di Diamond Group tak bisa terhindarkan. Albana terpaksa memanggil Keano untuk pulang ke negara ini, sekaligus memintanya supaya melacak keberadaan adik perempuannya. Lagi-lagi egonya bermain, padahal tak seharusnya ia meminta Keano untuk hal sepele itu. Albana pun seharusnya melakukan hal itu sejak lama, sehingga Aira tidak perlu diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri setelah
Bab 70) Mengunjungi Alia Resto and CafeAira tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar mengirim seorang pengacara untuk membantu memuluskan rencana perceraian Hendra dengan Kalina. Arnando adalah seorang pengacara handal, bahkan seringkali menangani kasus perceraian para artis. Sepak terjang pengacara yang satu ini cukup membuat siapapun bergetar jika harus berurusan dengannya. Entah berapa uang yang dikeluarkan oleh Aira untuk membayar pengacara sehebat Arnando.Tampaknya putrinya itu menyadari jika Hendra memang lelaki lemah jika berhadapan dengan Kalina. Sejauh ini Hendra lebih banyak mengalah, bahkan nyaris mengorbankan putrinya sendiri. Di dalam berbagai hal, Hendra membiarkan Kalina dan Kiara berbuat sesuka hatinya.Lelaki paruh baya bernama Arnando itu menjelaskan beberapa hal yang bisa dipahami oleh Hendra. Hendra memutuskan untuk menyerahkan semuanya kepada sang pengacara. Dia mau terima beres saja, pokoknya ia dan Kalina segera bercerai. Wanita sampah itu haru
Bab 71) Penawaran Dari AlvinoAira bergegas menuju pintu depan restoran yang masih masih tertutup. Keningnya berkerut saat melihat dari samping, sosok yang sangat dikenalnya berlari mendekat."Kiara," gumamnya spontan.Wanita muda itu menubruk Aira dan memeluknya sangat erat. Aira merasa sangat surprise. Sudah lama sekali Kiara tidak memeluknya seperti ini. Pelukan yang tulus, pelukan seorang saudara. Aira yang merasakan ada yang mengganjal di perutnya lantas merenggangkan pelukannya dan terkaget-kaget melihat penampilan Kiara sekarang."Kiara, kamu hamil?" cecar Aira.Kiara mengangguk dan melambaikan tangan kepada Alvino yang berdiri tegak, tak jauh di belakangnya. Lelaki itu sempat kehilangan fokus saat melihat kehadiran Keano di tempat itu."Kenalkan, ini Alvino, suamiku," ujar Kiara sedikit canggung. Bagaimanapun ia pernah berkonflik dengan Aira akibat memperebutkan Athar.Alvino bergegas mendekat seraya mengangguk lalu mengulurkan tangan kepada Aira."Jadi sejak kapan kalian men
Bab 72) Penolakan Aira"Kamu bilang aku tidak profesional? Kamulah yang nggak profesional," tukas Keano."Apakah profesional namanya, jika menolak sesuatu yang bahkan kita belum mendengar apa yang mereka tawarkan?" bantah Aira. Dia benar-benar heran dengan Keano. Tidak biasanya Keano bersikap sekeras ini sepanjang mereka bergaul. "Aku harap kamu bisa berpikir ulang untuk menerima tawaran dari Kiara dan Alvino. Mereka itu bukan partner kerja yang baik. Kalau kamu memang ingin membuka kembali restoran ini, aku siap buat modalin kamu. Kamu nggak perlu susah payah kerjasama dengan kedua orang itu...."Namun Aira hanya tersenyum dingin. Tentu saja Keano akan bisa, karena di belakangnya ada kakek Albana yang pasti akan dengan sukarela menggelontorkan dana berapapun demi restoran mendiang putrinya."Terima kasih atas tawaran modal dari kamu, tapi aku mau mendengarkan mereka dulu. Siapa tahu mereka punya visi yang bagus atas restoran ini. Ini bukan soal modal, Keano, tetapi konsep dan strate
Bab 73) Surat CeraiKiara berjalan tergesa, menghambur masuk ke dalam ruangan bercat putih ini. Seorang wanita tengah terbaring. Matanya terpejam. Kalina memang belum juga sadar, padahal sudah dua jam berlalu, sejak dia dibawa ke rumah sakit ini.Wanita itu harus mengalami kekerasan fisik saat melayani kliennya yang belakangan diketahui memiliki kelainan seksual. Bukan cuma satu orang, tetapi dua orang sekaligus, hingga penyiksaan yang diterima Kalina menjadi dua kali lipat beratnya."Mama...." Tangannya terulur menggenggam tangan Kalina yang terhubung dengan selang infus. "Kenapa menjadi begini, Ma? Aku sudah memperingatkan Mama, tapi Mama tak pernah mendengar kata-kataku supaya berhenti dari pekerjaan itu," sesal Kiara. Meskipun tidak lagi tinggal bersama dengan ibunya, tapi bagaimanapun juga, Kalina adalah ibunya. Dia tak tega melihat kondisi wanita itu.Kondisi Kalina begitu memprihatinkan. Bukan cuma tidak sadar, tetapi beberapa bagian tubuhnya terluka dan harus diperban, termas
Bab 74) Kembali Ke Titik AwalSatu jam sudah berlalu dan tak ada kemajuan apapun. Kondisi Kalina masih sama seperti sebelumnya. Merasa tak sabar, akhirnya Kiara berdiri dan merapikan penampilannya. Saat ini juga dia harus segera pergi ke rumah Hendra untuk memastikan semuanya."Kamu mau ke mana, Sayang?" Alvino menegur.Kiara menoleh. "Mau ke rumah Papa Hendra, Al. Aku harus mengurus semuanya, karena kita sudah menerima surat cerai itu. Mama Kalina sudah tidak punya hak lagi tinggal di rumah itu," ujarnya getir."Ya, aku mengerti. Aku akan ikut denganmu." Alvino menyusul berdiri dan menggandeng Kiara menuju pintu.Setelah menitipkan pengawasan ibunya pada petugas jaga, Kiara dan Alvino bergegas keluar dari rumah sakit. Namun baru saja mereka sampai di pelataran rumah sakit, seorang lelaki setengah baya berlari kecil menghampiri mereka."Pak Narto?" Kiara segera mengenali lelaki setengah baya itu."Non, ini ada titipan dari Tuhan Hendra untuk Non Kiara," ujar Pak Narto memberikan secar
Bab 75) Telepon Dari Rumah SakitMeski kepalanya masih terasa berat, Kiara tetap berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Di apartemen ini ada dua kamar. Satu ia peruntukkan untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri jika ia harus menginap. Barang-barang yang di bawa oleh Pak Narto semuanya adalah barang-barang pribadi, terdiri dari pakaian aksesoris, tas, sepatu, kosmetik, buku-buku dan lain sebagainya, bukan furniture atau peralatan rumah tangga. Otomatis nanti dia harus membeli sendiri dan itu memerlukan sejumlah uang. Otaknya kembali berputar-putar bagaimana caranya dia bisa mengisi apartemen ini sehingga menjadi layak huni.Kiara tidak punya uang lebih, bahkan uang bulanannya saja tidak diberikan oleh Alvino, karena lelaki itu memang belum sanggup memberinya uang bulanan lagi.Hufft.Akhirnya semuanya selesai. Kiara terduduk di lantai keramik dengan kaki berselonjor. Sepasang kakinya terasa pegal setelah bolak-balik dari ruang tamu ke kamar tidur Kalina dan juga kamar tidur
Bab 76) Mati Hati"Tanpa harus kuinginkan pun, Mama sebenarnya sudah mati, lebih tepatnya mati hatinya. Aku sudah memperingatkan Mama agar tidak bersikap keterlaluan terhadap Papa Hendra, tapi nyatanya Mama tetap ngeyel. Jangan salahkan jika aku angkat tangan." Kiara mengangkat tangannya sebentar, lalu menurunkannya lagi. Dia lantas duduk di kursi dekat pembaringan ibunya."Kurang ajar! Dasar anak durhaka! Berani sekali kamu bilang seperti itu kepada ibumu, wanita yang sudah bertaruh nyawa demi melahirkanmu ke dunia ini?" Kalina mendelik. Hanya tubuhnya yang susah di gerakkan, tapi mata dan mulutnya masih bisa berfungsi lancar. Dia masih bisa memarahi putrinya."Pada kenyataannya memang begitu, Ma," balas Kiara."Bukankah aku hanya numpang tinggal dan lahir dari rahim Mama? Selama ini Mama tidak pernah mengajarkan apapun kepadaku, kecuali menanamkan pemahaman bahwa seorang wanita itu akan bahagia jika mendapatkan suami yang kaya raya. Bukankah begitu, Ma?" ujar Tiara santai. Sementara