*Ambar*
Aku menghirup aroma wangi bercampur bau ketek yang tiga hari ini sangat kurindukan. Asem ... tapi aku suka. Beberapa hari ini rasanya berat sekali. Aku bahkan hampir menyerah. Syukurlah semuanya sudah diluruskan. Aku dan Mas Syafiq sudah saling mengungkapkan isi hati dan sudah saling memaafkan. Aku memilih mendusel ke arah ketek Mas Syafiq.“Wangi ya?”“Asem.”“Kalau asem kenapa malah ndusel?”“Tahu nih, dikasih pelet ya Mas?”“Hooh. Pelet cinta,” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Maaas. Sakit ... ih,” rengekku manja.“Habis hidung kamu gemesin.” Lihatlah dia malah tertawa, aku mengerucutkan bibirku.“Gak usah manyun gitu ah, nanti Mas khilaf.”“Mana khilafnya?”“Nantang mas, nih?”“Coba saja!” tantangku namun pipiku menghangat. Cup. Kecupan panas dan memabukkan mampir di bibirku. MasAku, Ibu dan Umi sedang bersantai di teras belakang rumah sambil bercerita. Umi hampir seminggu sekali juga pulang. Maklumlah, calon cucu pertama makanya beliau sangat antusias.“Coba Umi udah pensiun. Selama kamu hamil umi disini aja nemenin kamu.”“Terus suami kamu gimana Kinan?”“Hahaha. Sejujurnya aku dilema In. Satu sisi suami, satu sisi calon cucu pertama. Aku jadi galau.”“Hahaha.”Kedua sahabat itu masih bercerita. Aku hanya menjadi pendengar dan kadang menyahut. Sesekali aku mengurut punggungku. Pegel.“Sakit , Nduk?”“Bengkek, Bu.”“Lagian, kamu makan terus makin melebar, ‘kan badannya.”“Iya. Mana hidung Ambar jadi makin minimalis ini? Gara-gara pipinya makin chubby.”“Hahaha. Yang penting Akbarnya suka. Eh, Nduk. Kamu kasih pelet apa sama Akbar? Bucin banget dia sama kamu.”Aku tertawa, gak mungkin aku bi
*Syafiq*Flashback 14 tahun yang lalu.Aku dan beberapa sahabatku sedang menunggu bus menuju ke rumah kami masing-masing. Sudah dua tahun ini, aku mondok di Al-Hikam. Biasanya aku pulang sebulan sekali. Tapi sejak kelas tiga, aku ijin kepada Abah Azzam, untuk pulang seminggu sekali. Mengingat kondisi Eyang putriku yang sedang sakit. Dan alhamdulillah, Abah mengizinkan.“Fiq, bus ke tempat kamu tuh!” ucap Zidan salah satu temanku.“Eh, iya. Duluan semua assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumsalam.”Aku segera memasuki bus. Sampai di dalam aku mencari kursi kosong. Wow, tumben penuh. Lalu kulihat ada dua bangku kosong dan segera menuju ke sana. Sengaja aku duduk di dekat jendela. Aku memang paling suka duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar.Aku merasakan kursi di sebelahku ada yang menduduki. Refleks aku menoleh.Deg. Tampak, seorang gadis manis tersenyum ke arahku.“Maaf Mas, ikut
Aku menatap jam tanganku, masih setengah jam lagi. Sambil menunggu kereta datang, aku bermain dengan ponselku. Akhirnya kereta yang kutunggu datang juga. Aku pun naik dan mencari nomer kursiku.“Permisi, maaf kursi saya di dekat jendela,” ucapku pada seorang wanita yang duduk di dekat jendela, padahal itu tempat dudukku.Wanita itu bergeser tanpa menatapku“Terima kasih.” Aku langsung duduk tanpa menoleh ke arahnya.Kereta pun melaju menuju arah Purwokerto. Aku masih bermain dengan ponselku. Ada beberapa chat yang belum sempat kubalas. Antara lain pesan dari sahabat, rekan kerja, para pembeli yang memesan meubel dan terakhir pesan wanita tercintaku, Umi. Beliau harus mendapat prioritas pertama sebelum membalas chat yang lainnya.Aku sibuk membalas pesan dan tanpa aba-aba seseorang di sampingku menyandarkan kepalanya. Refleks aku hendak menyingkirkan kepalanya. Namun tanganku terhenti sebelum menyentuh kepalanya.Deg. Jantungku be
Ambar*Aku hanya mengamati tingkah suamiku dengan geli. Dia sedang merajuk, ya ampun. Gemesin pokoknya.“Ckckck. Ada umi, Akbar. Inayah nanti sore juga ke sini. Kamu gak usah lebay, ih. Lagian ada abi juga nantinya. Abi udah lagi perjalanan ke sini. Kamu tenang aja. Udah sana berangkat,” hibur Umi. Tapi sepertinya sang putra masih belum mau dibujuk.“Tapi Umi, Akbar gak tenang di sana. Lagian kenapa harus Akbar sih! Dosen lain kan banyak? Ada Rafi yang masih single juga.”“Lah, sejak kapan kamu jadi ngambekan kayak gini? Mana Akbar yang biasanya penuh dedikasi.”“Sejak nikah, Umi,” celetuk Rafi. Rafi pun terlihat jengah melihat aksi masnya yang ngambek gak mau mendampingi mahasiswanya ikutan lomba di Jogja.“Jogja deket Mas, lagian cuma sehari doang.”“Ck. Kamu tuh ya, kamu itu belum nikah Fi. Belum ngerasain jadi suami dan calon bapak. Makanya kamu gak tahu rasanya khawatir.&rdquo
Aku sedang menikmati segelas es dawet dengan nikmat. Sesekali mengelus perutku yang sudah memasuki usia delapan bulan.“Mau makan apa lagi?”Aku tersenyum ke arah Mas Syafiq, “ Enggak Mas, udah cukup ini.”“Beneran? Ntar dedek bayinya ileran loh?”“Ileran gak papa. Nanti kalau udah gede biar bisa bikin peta di baju cowok ganteng.”Aku dan Mas Syafiq tertawa.“Ya udah, mas mau nyambut tamu dulu ya? Kamu duduk di sini aja. Jangan capek-capek.”“Siap, Mas.”Tak lama setelah kepergian Mas Syafiq, Tuti datang.“Minggir. Minggir. Minggir. Aku mau duduk.” Tuti langsung mendudukkan diri pada kursi di sebelahku. Dia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Tampaklah perut buncitnya yang sama besar dengan ukuran perutku.“Huft, capek Mbar.”“Emangnya kamu habis ngapain?”“Ghibah.”“Ck. Ghibahin siapa
Linda*Lagi, aku harus menahan diri mendengarkan omelan ibuku. Selama dua puluh lima tahun usiaku selalu saja ibu membanding-bandingkan aku dengan orang lain seperti Ambar dan Tuti terutama dengan Ambar.Mendengar nama kedua wanita itu aku merasa sebal. Seperti hari ini, hampir satu jam aku mendengar omelan ibu yang lagi-lagi membandingkan aku dengan Ambar.“Ambar itu bisa ngasih uang tiap bulan, bisa nyekolahin adiknya, bisa beli sawah, bisa rehab rumah. Kamu? Bensin aja masih minta sama ibu.” Begitulah kira-kira perkataan ibuku. Dia sedang panas gara-gara Ambar baru saja membeli sebidang sawah. Lagi, aku yang menjadi pelampiasan kemarahannya. Kadang aku berpikir, ada masalah apa sebenarnya antara ibuku dan ibunya Ambar. Kenapa ibu selalu kebakaran jenggot kalau keluarga Ambar selangkah lebih maju daripada keluarga kami.Menjadi anak tunggal katanya suatu berkah tapi bukanlah berkah yang kurasakan tapi sakit hati setiap hari. Ibuku bukanlah sosok ibu
"Kamu mau sampai kapan di sini?” “Gak tahu, aku malas pulang.”Aku menginap di rumah Fani selama tiga hari. Tak kupedulikan pesan atau telepon dari bapak. Aku marah pada ibu dan bapak juga.Suara salam terdengar, aku hanya duduk sambil menonton TV bersama Dafi anak Fani dan Dani yang kini berusia empat tahun. Sedangkan Fani keluar hendak membukakan pintu.“Lin, bapakmu datang.”Aku mencebik tapi mau tak mau menemui bapak juga. Bapak terlihat lelah, matanya juga sembab dan ada lingkaran hitam di bawahnya.“Lin ...,” lirih bapak.Aku hanya diam dan justru terkesan cuek.“Bapak minta maaf, kamu pulang ya? Nanti bapak bakalan minta sama ibu supaya lebih memahami kamu, menyayangi kamu.”“Telat, Pak. Kenapa gak dari dulu?”Terlihat muka bapak memancarkan kesedihan luar biasa.“Kenapa Pak? Linda ngomong bener, ‘kan?”“Iya. Maaf,” lirih bapak.“Kenapa bapak selalu ngalah sama ibu? Bapak tahu gak, Linda capek dibanding-bandingkan terus. Capek Pak.
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya
Berita lamaran antara Joko dan Tuti sudah menyebar seantero kampung. Banyak pemuda, jejaka tua dan duda yang menyukai Tuti jadi patah hati. Sama halnya dengan para perawan dan janda muda yang menyukai Joko juga kini merasa patah hati. "Kalah telak dah, kalau sama Joko." "Lah, duda sugih, ya aku kalah." "Wah, janda sama duda ini?" "Haduh, ada perawan kenapa aku kalah sama janda sih?" "Wah, janda selalu di depan." "Janda kaya sama duda kaya, makin kaya dah." Begitulah kira-kira omongan-omongan yang selalu terdengar selama tiga hari ini. Hampir semua warga Gumilang banyak menggosipkan lamaran Joko dan Tuti. Karena saking banyaknya yang menggosip, berita ini pun sampai ke para mantan. Rini hanya bisa menangis semalaman begitu mengetahui kalau mantan suaminya bakal menikah lagi. Keesokan harinya, setalah tadi malam mendengar berita lamaran Joko dan Tuti, dia langsung memburu ke rumah Joko. Rini tanpa salam langsung masuk ke dalam rumah, dimana Joko saat itu sedang mengi
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik."Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria."Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?""Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum."Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?""Iya, Om.""Bagus, nanti sekolah dimana?""Pengennya sih yang kota tapi ....""Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan.""Hehehe. Ok!""Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han
*Susilo alias Ilo* “Harus, kamu begini terus tiap tahun? Ck. Move on dong kalau gak bisa move on harusnya dulu kamu jangan gantung dia. Udah dibilangin ngeyel. Nyesel, ‘kan? Sekarang kamu mau apa ngintipin dia terus tiap tahun. Helow, lihat suaminya, lihat kerjanya, lihat rumahnya, lihat wajah mantan kamu itu, emang kelihatan seperti istri teraniaya gitu? Mana ada istri teraniaya terawat banget, suka senyum, tiap tahun hamil lagi. Orang pun bakalan paham kalau dia itu sangat sangat bahagia.” Saiful temanku masih saja ngomong.Aku tak begitu peduli dengan omongannya yang sama. Karena bisa melihatnya saja sudah membuatku bahagia. Iya, aku punya kebiasaan setiap tahun mengamati kehidupan Ambar dengan suaminya. Ini adalah tahun ketiga aku mengawasinya selama seharian penuh, di tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami beberapa tahun yang lalu.Bukan tanpa alasan aku melakukan hal memalukan yakni mengawasi istri orang. Aku hanya ingin memastikan Ambar hidup bahagia dan t
*Syam*Aku mengulas senyum, tepatnya senyum miris. Melihat bagaimana Syafiq sedang memangku anak berusia dua tahun yang wajahnya sama persis dengan Syafiq. Padahal pas lahir, anak itu mirip Ambar tetapi malah kian besar kian mirip bapaknya.Ya Tuhan, lagi-lagi aku hanya bisa menatap kebahagiaan sebuah keluarga yang kuidam-idamkan.Menyesal? Jelas. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Padahal Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mencecap kebahagiaan bersama Ambar. Tapi apa yang kulakukan? Yang kulakukan adalah melepas Ambar hanya karena tergoda dengan mantan. Ah, padahal sudah banyak cerita tak mengenakkan tentang mantan. Tapi kenapa aku malah ikut-ikutan terjebak nostalgia bersama mantan?“Hai, ponakan gantengnya Om Rafi. Ikutan ngajar ya? Mbak Ambar mana Mas?” Rafi sepertinya baru selesai mengajar dan langsung duduk di dekat Syafiq.“Lagi ngurusi Amira. Amira sakit. Kasihan Ambar kalau ngurusi dua-duanya, jadi Mas bawa aja Amm
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya