Sebenarnya Banyu memiliki pertanyaan besar di dalam hati. Mengapa Airin harus mencampuri urusan Banyu dengan Damay hingga seperti ini. Ternyata, mobil yang datang bersama Adam adalah milik Seno, yang pagi ini juga ikut pergi ke rumah Banyu. Ayah Bumi itu, pasti sudah terkontaminasi oleh perkataan Airin. “Damay di sini?” tanya Adam begitu melihat Banyu duduk di depannya. Sementara Airin dan Seno, duduk pada sofa panjang yang berada di sisi kanan Adam. “Lagi ganti baju.” Banyu menatap Seno dan Airin secara bergantian, lalu mengangguk kecil untuk menyapa dan menghormati keduanya. “Jadi, kenapa Pak Seno sampai harus repot-repot datang ke sini juga? Dan satu pertanyaan buat Bu Airin, apa hubungan Damay dengan keluarga Ibu sebenarnya?” Banyu yakin, Airin tidak akan mungkin mengatakan pada Adam, jika Bumi dan Damay pernah menikah di Kalimantan. Airin menatap kesal, tapi ia sudah mempersiapkan jawaban tersebut sejak semalam. Karena tidak mungkin, jika Airin mengatakan bahwa Damay pernah m
“Banyu! Kita harus bicara empat mata lebih dulu!”Setelah Seno dan Airin pergi dengan membawa beberapa kesepakatan, Adam memilih tetap tinggal di rumah putranya. Ada banyak hal yang harus dibicarakan Adam dengan Banyu, terkait pernikahan yang akan diadakan sore ini.Ya, sang penghulu yang pernah menikahkan Bumi dan Tari, ternyata memiliki waktu luang sore hari ini. Untuk itu, Banyu langsung membuat kesepakatan dengan Seno, agar pernikahannya dengan Damay dilangsungkan hari ini juga.“Masuk,” titah Banyu akhirnya melepas tangan Damay setelah menggenggamnya selama Seno dan Airin ada bersama mereka.“Nggak mau,” tolak Damay beranjak dari samping Banyu untuk berpindah sofa. Damay menatap Adam, kemudian berkata, “Saya nggak mau nikah sama pak Banyu.”Adam tersenyum miring menatap putranya. Ternyata, semuanya ini hanyalah keinginan Banyu semata. Adam semakin yakin, jika Banyu hanya ingin membalas dendam dengan menikahi Damay. “Banyu, jangan dibutakan sama dendam. Ibu Damay sudah dapat balas
“Damay! Ayo ganti baju.” Airin masuk ke dalam kamar gadis itu, dan cukup terkejut karena Damay belum memakai kebaya putihnya sama sekali. Bahkan wajah gadis itu masih terlihat polos, tanpa sapuan make up apapun. “Mbaknya nggak mau, Bu,” lapor MUA yang sudah disiapkan oleh Airin untuk merias gadis itu. “Dari tadi cuma diam di situ.” Sejak Adam meninggalkan rumah pagi tadi, Damay sama sekali tidak mendapati Banyu berada di rumah. Ketika Damay bertanya pada Umar, pria itu mengatakan Banyu sudah pergi tidak lama setelah kepergian Adam. Bahkan, sampai detik ini pun, Damay masih belum bertemu dengan pria yang bersikeras untuk menikah dengannya itu. Airin menghela pendek sambil menghampiri Damay, lalu duduk di sebelah gadis itu. “Kenapa? Ada masalah yang mengganjal?"“Bu Airin, saya nggak mau nikah sama pak Banyu.” Damay ingin menangis saja rasanya, tapi entah mengapa air matanya tidak kunjung keluar. “Saya masih 19 tahun, Bu. Masih mau kuliah, mau kerja, senang-senang sama teman di luar
Damay menatap pantulan dirinya pada cermin meja rias. Jika ingin membandingkan, tentu saja pernikahannya dengan Banyu kali ini lebih terlihat sungguhan. Saat dengan Bumi tempo hari, semua terkesan dipaksakan dan tanpa kebaya juga riasan sempurna seperti kali ini.Bahkan, kali ini Damay merasakan gugup hingga membuat kedua telapak tangannya terasa beku. Jantungnya tidak berhenti berdegup laju, dan membuat Damay sibuk bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan dirinya saat ini?Saat pintu kamarnya terbuka, Damay segera menoleh dan mendapati Airin kembali masuk ke dalam. Kali ini, wajah wanita paruh baya itu terlihat seringah dan ramah.“Pak penghulunya sudah datang, dan lagi siap-siap,” ujar Airin sungguh mengagumi kecantikan Damay saat ini. Ia pun berdiri di belakang gadis itu, lalu menjatuhkan kedua tangan pada bahu Damay.Damay membuang napas panjang, lalu mengangguk gugup. Ia menurut saja, karena sudah tidak punya pilihan lain dan tidak bisa mundur lagi.“Kata Banyu, bu Selly nggak aka
Damay menurunkan lambaian tangannya ketika Airin sudah masuk ke dalam mobil. Senyum palsu yang disematkan sedari tadi, langsung luntur seketika saat Seno membawa mobilnya menuju ke pintu gerbang. Prosesi pernikahan yang begitu singkat, tapi benar-benar sakral itu, akhirnya selesai juga. Menyisakan, Damay dan Banyu yang kini sudah sah menyandang status suami istri.“Mau ke mana?” Banyu dengan sigap meraih tangan Damay yang baru saja berbalik dan hendak pergi darinya.“Mau ke mana lagi memangnya,” rungut Damay memasang wajah cemberut pada Banyu. “Masuk lagi ke dalam sangkar! Meratapi nasib!”Damay menarik cepat tangannya agar terlepas dari genggaman Banyu. Sedikit menunduk lalu mengangkat rok kebayanya sebatas lutut, kemudian melangkah dengan bebas memasuki rumah. Sepanjang jalan, Damay sibuk mengomel di dalam hati karena kembali menikah dengan situasi yang tidak terduga. Tidak bisakah Damay mengenal pria secara normal, menjalin kasih atau berpacaran terlebih dahulu, baru merencanakan p
“Mau alasan apa lagi?” Banyu menatap Damay, dari bibir pintu kamar yang gadis itu tempati selama ini. Damay tengah bertelungkup di ranjang melihatnya, dengan sebuah buku yang terselip di kedua tangan. “Jangan malam ini, ya, Pak,” mohon Damay kemudian bangkit dan duduk bersila. Sedari tadi, Banyu sudah bolak balik memaksanya untuk pindah ke kamar atas, tapi Damay selalu mengulur waktu dan mencari-cari alasan. “Lagi dapet, perut saya suka kram sama sakit.” “Nggak ada hubungannya.” Banyu menghampiri Damay lalu berhenti di sisi ranjang. Ia mengulurkan tangan, tapi tidak kunjung disambut oleh istrinya itu. Damay bergeming dengan wajah cemberut, dan hanya menatap uluran tangan Banyu tersebut. Dari wajahnya saja, Banyu sudah bisa mengerti jika Damay tidak punya niat untuk pindah satu kamar dengannya. “Ada!” Sejak kejadian sore tadi di kamar Banyu, hubungan mereka sedikit melunak. “Kalau di bawah, kan, dekat dengan dapur, jadiii … Pak Banyu ngapain!” Damay menggeser bokongnya karena Banyu
Pagi harinya, Banyu terbangun tanpa ada gadis itu di sampingnya. Banyu mengusap wajahnya sebentar, kemudian bangkit tapi tidak langsung beranjak ke mana pun. Jarum jam yang tergantung pada dinding di depannya baru menunjukkan pukul 4.30, tapi Damay sudah pergi entah ke mana. Ketika Banyu menurunkan kedua kakinya dari tempat tidur, ia mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Sejurus kemudian, Damay keluar dan gadis itu berjalan santai, tapi wajahnya langsung cemberut ketika melihat Banyu. “Pak Banyu!” Dengan kedua kaki yang menghentak kesal, Damay berjalan menghampiri Banyu dan duduk di samping pria itu. Damay mengangkat tinggi wajahnya untuk menunjukkan leher jenjangnya di depan Banyu. “Merahnya banyak banget ini!” seru Damay sembari menunjukkan bagian-bagian yang sudah ia lihat di cermin wastafel kamar mandi. “Kenapa? Mau lagi?” Pagi-pagi disuguhi leher jenjang dengan wangi sabun yang merasuk ke indra penciumannya, Banyu tentunya ingin mengulang kegiatan tadi malam bersama i
Sebelum pergi ke kantor, ada dua tempat yang harus dikunjungi Banyu terlebih dahulu. Untuk itu, ia pun berangkat lebih pagi agar tidak terlalu siang ketika sampai di kantor. Persinggahan pertama Banyu adalah kediaman utama Wiratama. Ada yang harus Banyu bicarakan dengan Selly terkait pernikahannya dengan Damay.Di halaman rumah, Banyu sudah melihat mobil Tari yang terparkir di sana. Baguslah! Jika seperti itu, Banyu hanya perlu menjelaskan dalam sekali pertemuan, dan selesai tanpa membuang waktu.“Pagi,” sapa Banyu pada kedua orang wanita yang tengah duduk santai di taman belakang, tapi wajah mereka terlihat tegang. Sebelumnya, Banyu meminta Adam untuk tidak terlibat dalam pembicaraannya dengan sang mama, karena topik obrolan mereka nanti akan melibatkan Kyla.“Mas!” Tari sudah berseru lebih dulu dan berdiri dari kursi rotan sintetis yang didudukinya. “Kamu nikah sama anaknya tante Kyla? Gila! Bisa-bisanya—”“Damay Savita,” sela Banyu untuk membungkam Tari. “Pernah dengar dan ketemu,
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi