Leana mematung mendengar pernyataan dari Elvano, apakah dirinya sebegitu tak layak untuk dicintai?
“Saya paham,” lirih perempuan itu menunduk, membuat Elvano mengeluarkan smirknya. Dia pun menegakkan kembali tubuhnya seraya melangkah ke arah pintu utama. Tanpa repot-repot berpamitan kepada sang istri.Sedangkan Leana hanya terdiam, menatap punggung Elvano yang sudah menjauh. Katakanlah jika Leana terlalu percaya diri mengatakan hal seperti itu kepada Elvano, tetapi tidak ada yang salah, bukan? Takdir tidak ada yang tahu, bisa jadi orang yang kamu anggap tak berarti saat ini, akan menjadi pusat duniamu suatu hari nanti.Leana mengalihkan atensinya pada jam dinding yang terdapat di sudut ruangan, yang menunjukkan pukul satu dini hari. Leana tak tahu jam kerja seorang dokter, tetapi apakah semua dokter harus berangkat kerja dini hari seperti ini? Perempuan itu menghembuskan nafas pelan, dia yakin hari-hari kedepannya akan lebih berat lagi."Bu Leana."Leana terlonjak kaget saat mendengar suara dari belakang punggungnya. "Mohon maaf jika saya mengagetkan, Ibu," kata wanita paruh baya itu dengan nada tak enak sembari membungkuk rendah."Tidak apa-apa, Mbok. Saya saja yang kurang fokus." Leana tersenyum lembut. "Mbok Sumi, 'kan, ya? Mas Elvano sempat memberi tahu saya tadi, dan baru saja dia berangkat kerja.""Benar Bu, Pak Elvano memang sering ada panggilan darurat dari rumah sakit. Beliau juga selalu melupakan jam makan, alhasil pak Elvano makan tengah malam.” Mbok Sumi memejamkan mata ketika merasa terlalu banyak berbicara. Padahal Leana belum bertanya tentang hal itu.Leana menyimak semua penjelasan dari wanita paruh baya di hadapannya ini, bukankah Elvano seorang dokter? Lantas bagaimana bisa pria itu mempunyai jadwal makan yang brantakan?"Duduk dulu Mbok, temani saya makan. Sayang sekali jika makanan ini tidak habis."Wanita paruh baya itu tertegun ketika mendapatkan sifat ramah dari majikannya ini, berbeda jauh dengan kekasih Elvano yang dulu."Tidak apa-apa, Mbok. Duduk saja temani saya, ya?" Leana mengulangi kembali kalimatnya kala melihat keraguan di mata mbok Sumi."Terima kasih, Bu," balas mbok Sumi pada akhirnya.Leana tersenyum lembut. "Mbok, sudah berapa lama kerja di sini?""Dari Pak Elvano umur lima tahun, kebetulan saya dulu merangkap bantu-bantu jagain juga."Leana mengangguk mengerti. "Berarti Mbok sudah lama sekali."
Mbok sumi hanya tersenyum tipis sebagai respon. "Tapi sifat mas Elvano memang dingin, ya? Terkadang saya merasa segan sama dia." Leana meringis saat mengatakannya, dia tak tahu lagi ingin bertanya kepada siapa tentang Elvano, bahkan tidak ada yang Leana kenal di keluarga pria itu."Pak Elvano sangat baik, bahkan kebaikannya sering dimanfaatkan oleh orang-orang terdekatnya." Mbok Sumi menunduk setelah mengucapkan kalimat itu, terlihat jelas jika dia merasa bersalah. "Maaf, sepertinya saya terlalu banyak berbicara. Apakah ada yang Bu Leana butuhkan lagi?"Leana gelagapan. "Ah, tidak, Mbok. Ini sudah selesai, kok. Tolong sisanya dihangatkan saja." Leana tersenyum canggung, karena sepertinya mbok Sumi terlihat tidak nyaman berbicara dengannya. "Saya ke atas dulu kalau begitu, atau mau saya bantu bawa ke dapur, Mbok?" tanya Leana sebelum beranjak dari kursinya."Tidak usah Bu, biar saya saja." Mbok Sumi tersenyum sopan, yang dibalas senyuman manis oleh Leana."Baik, saya ke atas dulu, Mbok. Selamat malam."Leana bergegas menuju kamarnya. Meninggalkan mbok Sumi yang mentapnya sendu. “Semoga Bu Leana bisa menjadi penawar untuk Pak Elvano.”"Selamat pagi, Dokter Elvano." Elvano yang mendapat sapaan itu hanya mengangguk kecil seraya terus melangkah menuju ruangannya. Elvano tampak sekali sedang menahan kantuk, mengingat dia baru selesai mengoprasi pasien gagal jantung hingga pukul enam pagi. "Dokter Elvano memang tiada duanya ya, beruntung sekali perempuan yang akan mendampinginya nanti," celetuk salah satu perawat setelah melihat Elvano menjauh."Bukannya dia sudah mempunyai tunangan? Kalau tidak salah namnya Sasmita Alera, itu lho ... desainer muda yang cantikanya tiada tara itu," timpal perawat yang ber−name tag, Sita. "Hus! Gosip saja kalian pagi-pagi. Nanti kalau didengar sama Dokter Elvano bisa gawat. Ayo kembali bekerja!" Di sisi lain, Elvano sudah sampai di ruangannya. Pria itu hanya melirik singkat ke arah perempuan yang sedang duduk di kursi kerjanya. "Van, aku sudah nunggu kamu dari tadi. Ternyata baru balik, ya? Gimana oprasinya, lancar?""Lancar, kamu bisa menunggu di ruang tamu. Jangan langsung masuk ke r
"Ma−mas Elvano ...."Elvano tersentak, dan langsung melepaskan perempuan yang ada di pelukannya, pria itu melangkah mundur dan menatap datar Leana. "Aduh ... maaf, ya. Aku tadi kesandung, untung ada Vano yang langsung nolongin." Perempuan cantik itu tersenyum canggung. "Oh, iya. Kamu Leana, 'kan? Kenalin, aku Zelina sahabat Vano yang paling cantik!" Leana tersenyum kikuk seraya menerima uluran tangan perempuan di hadapannya. "Leana," balasnya singkat. "Kemarin pas nikahan kalian aku tidak bisa datang. Maaf, ya. Soalnya masih ada kerjaan di Spanyol." Leana mengangguk, lalu melirik singkat ke arah Elvano yang sedari tadi bungkam. "Mas Elvano, saya mau minta izin ke—" "Ke mana?" potong pria itu cepat. Leana seketika dilanda rasa gugup saat melihat respon Elvano. "Ke rumah Ibu, soalnya ponsel saya disimpan sama beliau." "Kenapa harus malam-malam seperti ini? Besok 'kan bisa." Leana gelagapan, apalagi netra hazel nan tajam itu menyorotnya begitu dalam. "Tidak bisa, Mas. Karena saya
“Bu, stop. Tidak seharusnya Ibu berbicara seperti itu!” Bagus, selaku ayah dari Leana dengan segera merangkul bahu sang putri. “Kamu sudah makan, Lea?” Leana terisak, lalu menggeleng pelan. “Maafin Leana, kalau begitu Leana pulang saja, Ayah.” “Tidak, jangan dengarkan Ibu kamu. Ini sudah malam Lea, kamu istirahat di sini saja, ya?” Leana terdiam, lalu melirik takut-takut pada sang Ibu. “Inilah akibatanya jika kamu selalu memanjakan dia, Mas!” “Rosita, tolong untuk kali ini jangan memancing keributan.” Wanita paruh baya itu langsung bungkam, mana mungkin dia berani membantah ketika sang suami sudah memanggil namanya. “Kamu ke meja makan dulu, ya, Sayang. Nanti Ayah susul.” Leana mengangguk patuh. Setelah melihat sang putri menjauh, Bagus langsung menatap tajam istrinya. “Bisa kamu kendalikan emosimu? Apakah Kamu tidak sadar, sebesar apa pengorbanan Leana untuk keluarga ini?” Rosita menunduk, sama sekali tak berani membantah. “Tolong, aku mohon dengan sangat. Jangan terlalu keras
Leana termenung dengan air mata yang sudah mengering. Perempuan itu memejamkan mata ketika merasakan kepalanya berdenyut sakit, setelah ibunya mengutarakan tujuannya. Leana hanya sanggup mengiyakan. Padahal tabungannya sudah habis untuk membayar hutang ibunya dan biaya sekolah Arsen. "Di mana aku bisa dapat uang sebanyak itu?" bisiknya pelan. Leana mengambil ponselnya di atas nakas. Setelah dua hari lamanya, akhirnya benda pipih itu kembali ke tangannya. "Ya Tuhan!" Leana menutup mulutnya kala melihat puluhan pesan dari rekan kerjanya, dan yang paling mencolok adalah pesan dari, Sagara──kepala divisinya──dikirim lima jam yang lalu. [ Leana, saya tunggu feedback dari kamu. Jika kamu tidak kunjung masuk kerja, dan menjelaskan semuanya. Maka saya tidak bisa membantu lagi.][ Kemungkinan besar kamu akan dipecat.] Ke esokan harinya, Leana bergegas menuju kantor tempat dia bekerja. Perempuan itu sangat ketakutan sekarang, dia ceroboh dan bodoh. Jika sampai dipecat, mungkin ibunya akan mur
Setelah jam kerjanya selesai, Leana dengan cepat bergegas pulang ke kediaman Elvano. Leana memesan ojek online, karena tidak mungkin dia menggunakan taxi—yang pastinya akan sangat boros. Leana terengah karena berlari dari pagar rumah menuju pintu utama. "Apa memang rumah orang kaya rata-rata luas seperti ini?" gumamnya dengan nafas memburu."Bu Leana, kenapa berlari sampai keringatan? Apakah ada yang berbuat jahat kepada, Ibu?" Mbok Sumi langsung menghampiri Leana dengan tergesa-gesa. Takut jika sang majikan kenapa-napa."Tidak, Mbok." Leana berujar kikuk, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Apakah Mama mertua saya sudah datang, Mbok?" Mbok Sumi menggeleng singkat. "Kata Pak Elvano sehabis magrib, sekalian ikut makan malam bersama." Leana seakan ingin menjatuhkan rahangnya, apakah Elvano mengerjainya? "Kalau Mas Elvano sudah pulang tidak?" "Pak Elvano baru saja pulang, mungkin lagi di ruang tengah bersama Mbak Zelina." Leana tertegun, tapi dia dengan cepat mengenyahkan pikira
"Bagaimana ini! Kalau sampai dia nelpon lagi, habislah aku!" Rosita terus mondar-mandir dengan gelisah, wanita itu menggeram dalam hati. Dia akui bahwa dirinya ceroboh meminjam uang pada tiga rentenir sekaligus. Sedangkan suaminya hanya tahu jika dia berhutang pada bu Mega saja, Rosita sangat ketakutan sekarang. Membayangkan kemurkaan sang suami, membuat tubuhnya menggigil seketika."Leana! Ya, anak itu pasti bisa diandalkan dalam sistuasi seperti ini!" Rosita bergegas mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan singkat kepda Leana.[ Leana, sebenarnya hutang Ibu bukan seratus juta, tetapi lima ratus juta. ][ Kalau bisa bantu secepatnya, kamu tidak mau, 'kan jika Ibu sama Ayah dituntut gara-gara tidak bisa melunasi hutang. ]Di sisi lain, Leana mematut kembali penampilannya. Dia terlihat gugup sekarang, pasalanya orang tua Elvano bukanlah orang sembarangan. Walaupun yang berkunjung kali ini hanya mama mertuanya, tetapi Leana terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjad
Leana makan dalam keheningan, dia begitu kasihan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, Elvano yang cuek dan dingin terlihat acuh tak acuh. Sementara Zelina serta mama mertuanya terus saja bercanda ria. "Vano, mau nambah ikan tidak? Kamu 'kan suka sekali ikan kuah kuning." Zelina bertanya pelan, sedangkan Elvano menggeleng singkat. "Sayangnya Tante ini memang perhatian sekali, andai kamu yang jadi menantu Tante, pasti—" "Ma, bisa kita makan dengan tenang?" sela Elvano lembut, dia menatap mamanya dalam.Leana yang mendengar itu hanya mengerjap pelan, prasaannya semakin tak menentu kala mama mertunya mendelik sinis ke arahnya. "Tentu," balas wanita paruh baya itu, lain halnya dengan Zelina yang langsung memasang raut sedih. "Maaf, Vano. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?" "Tentu tidak, Sayang. Vano memang seperti itu, kamu tahu sendiri dia tidak bisa dengan suasana bising. Santai saja oke, kamu sahabatan dari kecil sama Vano. Mana mungkin dia terganggu oleh kehadiranmu, kecuali
"Sabar! Saya juga sedang mengusahakannya!""Wanita ini! Brani-braninya kamu menaikkan Volume bicaramu pada saya!" Rosita diam tak berkutik, dia lepas kendali karena rentenir itu mengancam akan ke rumahnya. "Maaf, tetapi saya mohon. Jangan datang ke rumah. Di sana ada suami dan anak saya." Wanita itu mendengkus sinis. "Bukankah kamu punya anak yang terkenal? Siapa namanya ... Sasmita, ya? Bagaimana jika dia saja sebagai penebus hutang kamu? Atau adiknya yang manis itu juga bisa, pasti dia bisa menjadi aset yang berharga untuk saya." "Jangan! Tolong jangan! Saya berjanji akan melunasinya secepatnya. Sugguh! Saya tidak berbohong kali ini." Rosita memohon, tubuhnya bergetar ketakutan. Bisa mati dia jika anak-anaknya terlibat, tak terbayangkan kemurkaan yang didapat dari sang suami. "Ya sudah, saya kasih waktu satu minggu, lebih dari itu—anak gadismu yang akan jadi jaminannya." Sedangkan di tempat lain, Leana duduk termenung dengan pandangan kosong ke depan. Setelah mama mertuanya sert
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan