Dengan perasaan gugup Aira keluar dari kamar mandi. Perlahan ia mendongakkan kepalanya mencari sosok Xabiru, laki-laki dingin yang baru saja masuk ke dalam kamar tidur. Perlahan tapi pasti dilepaskannya kimono luaran yang membungkus lingerie merah menyala yang dikenakannya. Lalu berjalan menghampiri laki-laki yang terpaku menatapnya tanpa berkedip. Kedua pasang manik mata berbeda warna itu saling terpaut pandang dalam hitungan detik. Hingga akhirnya sang laki-laki memalingkan muka lebih dulu. Dadanya berdegup kencang karena penampilan tak biasa yang baru saja ditunjukkan Aira padanya. Xabiru beranjak dari duduknya dan mengabaikan Aira yang berdiri di hadapannya. Hati wanita yang bersusah payah menahan malu mengenakan pakaian kurang bahan itu mencelos seketika. Kecewa. Ternyata penampilan yang menurutnya sudah sangat sempurna itu tetap diabaikan oleh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. "Pakailah! Aku belum siap untuk menjamahmu," ucap Xabiru sambil memasangkan kembali kim
"Mau kemana?" tanya Bu Laila dengan mata awas mencuri celah ke dalam kamar dari pintu yang baru saja dibuka Xabiru."Ke dapur, haus," jawab Xabiru dengan cepat menutup rapat pintu kamarnya. "Memang habis makan apa?"Kening Xabiru berkerut mendengar pertanyaan ibunya. "Makan?" Kepala Xabiru refleks menggeleng setelahnya. "Tidak ada.""Terus ngapain haus? Tuh kenapa keringatan? AC di kamarmu mati?" Bu Laila bertanya menyelidik. Ia penasaran apakah sepasang suami-istri tersebut telah melakukan ritual malam pertama mereka. "Ehm, ini ee … I–iya, ada masalah sama AC-nya. Nanti besok Xabiru panggil orang buat benerin. AC di kamar Ibu, aman kan? Ada masalah? Biar sekalian nanti barengan minta dibenerin." Xabiru mencoba mengelak seraya menyapu tengkuk lehernya yang ternyata memang basah karena keringat. Ia baru sadar ucapan ibunya benar. Ia berkeringat di dalam kamar yang sebenarnya AC-nya baik-baik saja. "Aman, dingin kok. Aira mana? Apa dia kepanasan di sana? Kalau bisa dicek sekarang s
"Ru, besok Ibu balik. Ada pekerjaan yang harus Ibu urus. Danar nggak bisa tangani, katanya harus Ibu." Bu Laila membuka percakapan kembali setelah suasana sempat dilanda hening sesaat. Ia baru saja menyesap kopi hitamnya di ruang makan. Sisi hati Xabiru lega mendengarnya. Artinya ia tidak harus berlama-lama dalam satu kamar apalagi berbagi tempat tidur bersama Aira. "Oh, iya Bu. Nggak papa. Ibu bisa berkunjung dan mampir menginap saja sudah senang.""Masa? Ibu tahu kok kamu kurang suka kalau Ibu mampir apalagi nginap. Iya kan? Ibu juga tahu rahasiamu." Sudut bibir Bu Laila tertarik ke atas. "Hah? Rahasia? Memangnya Biru ada rahasia apa?" pancing Xabiru mencari tahu. Xabiru juga bingung rahasia mana yang telah diketahui ibunya? Tentang hubungannya yang belum berakhir dengan Jasmin? Tentang perjanjian kontrak nikah bersama Aira atau tentang …."Nah, bengong! Iya kan? Pasti mikirin rahasia tersebut. Sudah, Ru, aku ini ibumu pasti tahu kapan anaknya berbohong dan kapan jujur." Bu Lail
"Ada apa dengan mereka, seperti ada sesuatu yang disembunyikan?" Bu Laila menelisik kedua anak dan menantunya yang sedang makan dalam diam. Sikap keduanya tampak berbeda. Biasanya suasana makan memang diam, tapi tak sesunyi ini. Apalagi sikap Aira yang sangat jauh berbeda. Lebih diam bahkan tak banyak gerak. Pertanyaanku juga dijawab singkat tak banyak kata. Aneh, pikir Bu Laila. "Bunda hari ini cantik sekali. Bunda temani Jingga kan ke sekolah seperti biasa?" Tatapan berharap dilemparkan Jingga pada Aira. Gadis kecil itu memastikan ibu sambungnya tetap mengantarkannya ke sekolah seperti biasanya. Ia takut Aira pergi ke tempat lain karena perubahan penampilan yang ditunjukkan Aira. Bu Laila ikutan tersenyum membenarkan pujian cucunya. Pagi ini menantunya memang berpenampilan lebih cantik. "Iya." Senyum dipaksakan Aira kala menjawab singkat. Kepalanya ikutan mengangguk. "Kamu cantik, Ai. Nah gini dong tiap hari. Biar Biru betah dan pengen cepat-cepat pulang." Bu Laila mencoba menc
"Sepertinya Jasmin marah. Raut wajahnya cemberut sedari tadi," pikir Xabiru saat beberapa kali mencuri pandang ke arah belakang dimana Jasmin duduk, lewat kaca spion di depannya. Xabiru sendiri bingung kenapa dia lebih menurut pada Jingga dan Aira daripada mementingkan perasaan Jasmin. Padahal bisa saja dari awal menolak perkataan Aira dan memilih pergi bersama Jasmin ke kantor. Namun entah kenapa tak dilakukannya. "Aunty, suka make lipstik warna merah ya?" Jingga memulai obrolan untuk mengalihkan perhatian Jasmin. Ia tahu sedari tadi wanita yang merupakan adik ibu kandungnya tersebut memperhatikan ayahnya dan mengabaikannya yang duduk bersebelahan. Ia tak suka melihat tatapan mesra yang ditunjukkan Jasmin pada ayahnya. Meski masih kecil dan kurang mengerti kehidupan orang dewasa, tapi ia tahu kalau dulu ayahnya menjalin hubungan spesial dengan aunty-nya tersebut. Ia tidak menyukainya tapi sulit untuk mengungkapkan hal tersebut pada Xabiru. Apalagi saat Jasmin mengatakan kalau k
Mobil yang membawa kami berempat akhirnya tiba di depan gerbang sekolah Jingga. Aira terpaksa turun karena biasanya memang menemani Jingga berjalan kaki sampai depan pintu masuk gedung sekolahnya. Terpaksa harus meninggalkan suami bersama wanita yang masih berstatus pacarnya itu berduaan di dalam mobil. "Ayo, Sayang. Bunda antar." Aira menyambut Jingga yang keluar dari mobil ayahnya. Gadis kecil dengan rambut dikepang dua tersebut tersenyum semringah sembari menyambut uluran tangan Aira. "Bun, kok ikut turun. Kenapa nggak diam saja temani Ayah di mobil." Jingga bertanya pada Aira disela mereka berjalan bergandengan tangan layaknya anak dan ibu. "Memangnya kenapa? Kan biasanya Bunda antar Jingga sampai depan pintu masuk," jawab Aira dengan raut bingung mendengar Jingga bertanya seperti itu. Namun meskipun begitu, senyumnya tak pudar pada gadis kecil tersebut. "Bunda nggak takut ninggalin Ayah sama Aunty J?" Aunty J adalah nama panggilan yang Jingga sematkan untuk Jasmin, tantenya
Aira mengulum bibir menahan senyum karena telah berhasil menyingkirkan Jasmin duduk di kursi depan bersama Xabiru. Syukurlah ia mempunyai ide dadakan saat melihat Jasmin berada di sana. Ia tahu Xabiru pasti meminta Jasmin pindah setelah mendengar kata ibu, mengira istrinya itu sedang berteleponan dengan ibunya. Mungkin takut diadukan. "Tadi Ibu yang telepon?" Xabiru bertanya setelah menyalakan starter mobil. Dugaan Aira benar, pasti suaminya akan menanyakan hal tersebut. "Iya," sahut Aira. Namun dalam hati ia memohon ampun karena terpaksa berbohong menggunakan nama ibu mertuanya. "Apa kata Ibu?" Xabiru penasaran, takut Aira menyampaikan hal yang tidak-tidak atau menceritakan tentang keberadaan Jasmin saat ini. Pertanyaan Xabiru memaksa Aira mendongak ke arahnya. Ada kemajuan suaminya bertanya lebih dari sekali. Biasanya setelah bertanya, itu adalah pertanyaan pertama dan terakhirnya. Lalu setelahnya diam atau pergi berlalu. "Hm, cuma nanya saja lagi apa, lagi dimana. Ya cuma it
"Jasmin hentikan, sakit!" Xabiru menepis pukulan bertubi-tubi yang dihantam Jasmin padanya. Apalagi dia sedang menyetir. Terlalu bahaya kalau sampai ia tidak konsentrasi karena ulah wanita yang duduk di sampingnya ini. Awalnya dia masih tahan, tapi setelah didiamkan Jasmin malah makin bringas. "Aku kesal! Aku marah! Aku benci!!!" teriak Jasmin masih dengan aktivitas memukul bahu Xabiru. Laki-laki itu sampai menghentikan mobilnya dan menepi ke pinggir jalan takut terjadi yang tidak-tidak. "Kamu apa-apaan sih?! Tidak lihat kalau aku sedang menyetir? Kalau kecelakaan bagaimana? Bahaya tahu!" timpal Xabiru penuh kemarahan. Matanya melotot tajam dengan urat leher yang menegang. Kesal melihat tindakan Jasmin barusan. Baginya terlalu kekanak-kanakan. Ia tahu, pasti akar masalahnya dikarenakan cium kening tadi, tapi kenapa tidak dibicarakan secara baik-baik? Ia akan jelaskan untuk menutupi kesalahan pahaman diantara mereka. Tidak dengan tindakan kekerasan. Kenapa juga harus menyerangnya di
"Mas, kopinya." Aira masuk ke kamar membawakan secangkir kopi untuk Xabiru. "Terima kasih ya, maaf merepotkan." Segera meraih cangkir tersebut dari tangan Aira. "Masih sibuk, Mas?" Aira mengamati suaminya yang masih fokus ke layar laptop. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hubungan keduanya makin baik pasca kecelakaan yang menimpa Xabiru. Sesuai dengan janji yang disepakati, Xabiru ingin memulai hubungan layaknya suami-istri pada umumnya. Surat perjanjiannya bersama Aira sudah dimusnahkannya. "Iya, banyak yang harus diselesaikan, besok ada meeting." Xabiru menjawab tanpa menoleh ke Aira. Ia terlalu fokus ke layar laptop. "Oh, tapi besok sidang 'kan, Mas? Mas nggak datang?" Aira mencoba mengingatkan. Xabiru menoleh sebentar. "Datang, kok. Masih bisa. Meetingnya sore. Kalau pun sidangnya lama, biar Pak Burhan saja yang urus."Aira manggut-manggut mendengarkan."Menurut Mas, gimana? Apa Mbak Jasmin bakal di penjara atau?" Aira membuka obrolan tentang sidang Jasmin yang a
Semalaman Aira dan Bu Laila di rumah sakit menjaga keadaan Xabiru. Sebenarnya Bu Laila tak tega pada Aira karena menantunya itu dalam keadaan hamil muda. Kesehatannya juga tak baik. Bu Laila sempat meminta Aira untuk pulang saja, tapi Aira menolak. Ia ingin menemani suaminya sampai sadar. Pulang tak kan membuat perasaannya tenang. Justru membuatnya tak bisa tidur dan kepikiran terus. ***"Ra, Aira," lirih Xabiru memanggil istrinya. Ingin mengusap kepala Aira, tapi tak bisa. Tenaganya tak kuat. Ia merasa sangat lemah. Saat matanya mengerjap, orang yang pertama dilihatnya adalah Aira yang duduk tertidur sambil merebahkan kepalanya di ranjang yang ditempatinya. Ia merasa bersalah. "Ra.""Mas! Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Tunggu! Biar Aira panggilkan dokter dulu." Aira terkesiap melihat Xabiru yang telah sadarkan diri. Aira bangkit dari duduknya dan tampak kebingungan. Namun ia akhirnya ingat harus memanggil dokter segera. Xabiru tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Meno
Pantas saja perasaan Aira tak enak sejak kepergian suaminya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi tak tahu apa itu, ternyata Mas Xabiru. Suaminya itu mengalami kecelakaan. Bergegas Aira menyiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berganti pakaian dulu, baru setelah itu mengambil beberapa baju buat suaminya. Ia tak tahu seberapa parah keadaan Xabiru, tapi pasti akan membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti untuk berada di sana. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Hanya luka ringan saja. Aira masuk ke dalam kamar putrinya, Jingga. Memeriksa keadaan putrinya itu sebelum ditinggal pergi. Nanti ada Bi Siti yang akan menemani Jingga sementara ia pergi ke rumah sakit. Jingga tertidur pulas. Rasanya enggan kalau membangunkan anaknya itu apalagi memberitahukan keadaan ayahnya. Memang lebih baik, Jingga tak perlu tahu dulu dan tetap berada di rumah. Hampir setengah jam Aira menunggu, baru Mang Diman dan Bi Siti tiba di rumahnya. Bergegas Aira menghampiri dengan setengah ber
"Nikahi aku, Mas. Jadi kedua pun tak masalah asal bisa bersamamu." Jasmin tampak pasrah. Apa pun akan dilakukannya meskipun harus tersakiti. Xabiru menghela napasnya. Terasa berat memenuhi keinginan wanita di sampingnya ini. "Aku tak bisa, Jas. Aku sudah membuat keputusan untuk menjalankan pernikahanku bersama Aira. Apalagi sekarang dia sedang mengandung anakku."Brug! Xabiru tersentak kaget mendapati serangan tak terduga. Jasmin memukulkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu kesal karena Xabiru tak bisa menepati janjinya. Katanya dulu tidak akan tergoda atau meniduri istrinya, tapi sekarang, wanita itu malah hamil juga. "Dasar lelaki! Omongannya tidak bisa dipercaya!""Ya, memang laki-laki itu egois. Seperti yang dulu kulakukan padamu. Aku tahu kamu menyukaiku, Jas. Namun sayangnya aku lebih menyukai kakakmu."Jasmin mendelik tak suka. Kembali bantal di tangannya, dihantamkan ke tubuh Xabiru. "Sudah, Jas. Hentikan!" Xabiru meminta Jasmin berhenti, karena rasanya tak enak dipuku
Xabiru akhirnya pergi. Terpaksa karena ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu Jasmin. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin juga mengakhiri dengan benar hubungan mereka yang sempat terjalin meskipun ia telah menikah. Ia ingin membatalkan janjinya untuk menikahi wanita tersebut. meski terdengar egois, tapi itu adalah jalan terbaik. Daripada tetap bersama dengan perasaan yang telah berubah. Bagaimanapun juga Xabiru sadar ia telah mencintai Aira, bukan Jasmin. Bahkan nama wanita tersebut sulit untuk ia masukkan ke dalam hatinya. ***Xabiru sekarang sudah berada di depan pintu unit apartemen Jasmin. Ia menunggu dibukakan pintu oleh wanita tersebut. "Masuk, Mas." Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa terlihat sosok Jasmin di depan pintu. Hanya suaranya yang terdengar mempersilakan masuk. Xabiru sedikit heran tapi dia tetap masuk ke dalam. Baru berjalan beberapa langkah, Tiba-tiba dia tersentak kaget mendengar pintu apartemen tertutup. Ia berbalik dan melihat Jasmi
Xabiru tertegun membaca pesan yang baru saja dikirim Jasmin. Dia baru tahu kalau Jasmin ingin pergi keluar negeri, tapi dalam rangka apa? Setahu Xabiru, tidak ada kunjungan ke luar negeri dari kantor dan kalaupun urusan pribadi, kenapa terkesan mendadak? "Mas.""Mas Xabiru." "Mas ....""Ya, a--apa?" jawab Xabiru tergagap baru tersadar karena panggilan Aira. Ia sedang memikirkan Jasmin. "Mas kenapa? Dari tadi kupanggil nggak jawab. Mas kayak mikirin sesuatu." Aira heran dan mulai berpikir negatif kalau suaminya tersebut tidak begitu senang dengan kehamilannya ini. Xabiru seperti banyak pikiran. Banyak termenung sedari tadi diperhatikannya. Wanita itu ingat kalau Xabiru berharap pernikahan mereka hanya berumur setahun dan akan segera berpisah secepatnya. apa itu pemicunya? apa suaminya kebingungan untuk mengakhiri semuanya setelah tahu ia hamil? "Tidak. Tidak apa," jawab Xabiru datar. Menambah kepiluan hati Aira. "Kalau begitu, habiskan makanan Mas, biar secepatnya kubereskan." Ai
Yusi menggeleng lemah. "Maaf, Bu, saya tidak tahu.""Hm … apa Ibu perlu sesuatu? Apa Ibu mau minum? Biar saya ambilkan." Dengan takut-takut Yusi menawarkannya. Ia merasa tak enak pada majikannya tersebut karena perintah untuk menahan Jasmin tak mampu dilakukannya. Jangankan untuk menahan, bertanya Jasmin mau kemana saja tak mampu keluar dari mulutnya. Ia sudah gemetaran saat melihat raut wajah tak bersahabat yang ditunjukkan Jasmin padanya saat keluar dari kamarnya. Bu Mita menggeleng. "Saya mau ke kamar saja." Wanita tersebut mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu kemudian beranjak bangun ingin menuju ke kamar. Bu Mita merasa perlu istirahat sebentar karena kepalanya sungguh terasa pusing. Entah tensinya naik mendengar kelakuan Jasmin atau kondisi badannya yang memang sejak kemarin sudah tidak sehat. "Baik, Bu."***"Tunggu, Bu! Jangan masuk!" Lola–sekretaris Xabiru melonjak terkejut dari tempat duduknya melihat Jasmin tiba-tiba berjalan menuju ruangan atasannya–Xabiru dengan
"Aaargh!" Jasmin mengamuk kembali. Kamarnya seperti kapal pecah hingga kalau ada yang masuk ke dalamnya, harus hati-hati melangkah karena banyak serpihan kaca pecah berserakan di lantai. Yusi dan Anggi saling tatap kala mendengar suara keributan dari lantai atas rumah Bu Mita. "Non Jasmin kenapa lagi, Mbak Yus? Aku takut ke atas," ujar Anggi seraya menatap ke atas tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Dadanya berdegup kencang seiring terdengar suara benda-benda berbunyi tak enak di telinganya. Apalagi saat ini Bu Mita–majikannya lagi di luar, tidak ada di rumah. "Huuussst! Kalau nggak penting, nggak usah ke atas. Kamu nyari mati kalau pergi ke sana terus masuk ke kamarnya Non Jasmin. Itu sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Seram," balas Yusi sambil bergidik ngeri membayangkannya. "Mbak enak sudah terbiasa karena sudah lama tinggal di sini. Lah, saya baru hitungan bulan sudah spot jantung saja tiap dengar suara prang-prang kedubrak dari kamar Non Jasmin." Anggi y
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"