Harusnya ini adalah waktu dimana aku sudah berada di tempat tidurku yang nyaman. Mengobati kesedihan karena perpisahan dengan Keanu. Entah kesalahan apa yang membuatku pantas menerima hukuman seperti ini. Telepon genggamku hancur, dituding sebagai pelakor, di tampar oleh istri mantan. Lalu sekarang aku harus mencari toko selular yang masih buka di tengah malam, untuk mendapatkan pengganti telepon genggamku yang rusak.
Bisa dikatakan ini adalah hari terburukku dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kesialan seolah bertubi-tubi kuterima.
Kembali terbayang tatapan yang penuh amarah seakan ingin membunuh, dari sorot mata Nisya–istri Dendra, membuatku bergidik. Terkadang memang cinta yang tak berbalas membuat orang bisa melakukan apa saja diluar batas kewajaran.
"So, where have you been?" (Jadi kemana saja kamu?) Kuulangi pertanyaanku, setelah tangis mereda. Tumpukan rindu dan emosi yang kupendam selama beberapa minggu ini seolah disapu oleh suara beratnya. Membersihkan rasa sakit yang kutahan."I'm sorry Mei. I did something stupid ... karena kepikiran kenapa nomormu tidak aktif, aku sampai lupa meninggalkan handphone-ku dimana. Aku baru sadar ketika di pesawat pada saat hendak mematikanya, handphone-ku sudah tidak ada di kantong." Aku menyimak keterangan pria itu. Mengisi ruang rindu yang telah kosong dengan suaranya."Ternyata kita melakukan kebodohan yang sama setelah berpisah, ya?" aku terkekeh mendengar penjelasannya. Aku pikir perpisahan di bandara adalah kali terakhirku melihat senyumnya. Ternyata Tuhan masih mengizinkanku mendengar suar
Pagi hari aku bisa bangun dengan perasaan tenang. Pikiran yang mengganjal telah hilang. Ada beban yang terasa telah terangkat, begitu ringan. Suara Keanu masih saja terngiang-ngiang bagai nyanyian merdu yang terus saja diputar ulang."Sudah enakan, ya?" tanya Disti yang baru saja keluar kamar mandi ketika mendengarku bersenandung kecil saat berhias."Sudah. Semalam aku bisa tidur nyenyak," sahutku menoleh padanya."Kamu hari ini enggak balik ke Surabaya lagi, ya?" Disti ikut duduk di depan cermin besar tempatku tengah mempersiapkan diri. Mengambil pengering rambut yang ada di laci, dan menyalakannya."Enggak, kamu masih balik ya?" tanyaku setengah berteriak untuk mengimbangi kebisingan suara
Segala kepenatan hilang setelah mandi, membuat mood menjadi lebih baik. Perut pun minta jatah untuk diisi. Mashed potato dan scramble egg kupilih untuk menu malam ini, mungkin nanti ditambah sedikit nasi, biar kenyangnya lebih afdol. Kukeluarkan beberapa bahan baku yang ada di kulkas, bersiap untuk mengolahnya.Setengah jam persiapan, berkutat dengan alat masak dan bahan mentah, hidangan makan malam selesai. Baru saja hendak menyantapnya, ponselku berdering. Nomor yang tak kukenal tertera di layarnya yang mungil dan berwarna abu-abu."Halo.""Eh, Mei ... are you okay?" Ternyata Adrian yang menelpon. Nomornya memang belum aku simpan di ponsel baru ku."Hai,
Beberapa saat setelah meninggalkan gedung apartemen, Adrian sudah mulai menguasai keadaan, tak lagi tampak canggung seperti pada saat awal bertemu. Candaan ringan khasnya mulai lagi terdengar diiringi derai tawa renyah bagai musik yang menggetarkan hati. Andai saja aku tak ingat Keanu, mungkin saja aku terpikat oleh pesonanya yang penuh kharisma.Lampu lalu lintas yang menyala merah membuat mobil harus berhenti. Seorang pengamen kecil dengan alat musik dari tutup minuman ringan yang dipaku pada sepotong kayu kecil, menghampiri kami. Aku memperhatikan gadis kecil itu bernyanyi dengan penuh penghayatan, wajahnya legam terbakar matahari."Permisi, Om," ucapnya sambil mengetuk kaca mobil di bagian sisi Adrian, ketika lagu yang ia nyanyikan telah selesai ia lantunkan.
Lebih dari setengah hari sudah aku menghabiskan waktu bersama Adrian. Rasa lelah dan timbunan emosi selama beberapa minggu terakhir, kembali mencair. Sudah terlalu lama aku mengurung dan membatasi diri dengan dunia di luar pekerjaan. Bahkan untuk hubungan pertemanan sekalipun, aku seolah enggan. Peluang kali ini seolah menyegarkan rasa suntuk yang mulai menumpuk.Untuk pertama kali, dalam satu bulan terakhir ini, aku merasa terlahir kembali. Membuka hati untuk hubunganku dengan Keanu, dan menerima Adrian sebagai sahabat. Kendati rasa was-was akan hubungan dengan Keanu masih saja mengganjal. Namun, kehadiran Adrian mampu melenyapkan rasa itu.Jakarta telah diselimuti malam, ketika aku dan Adrian meninggalkan mall tempat kami menghabiskan waktu seharian sesudah makan siang. Lampu-lampu seakan berlomba mengenyahkan g
Aku reflek menarik tangan yang di cengkeram Nisya. Kali ini penampilannya telah kembali seperti pada saat awal kami bertemu dulu. Anggun, dibalut gamis berwarna zamrud dengan kerudung berwarna zaitun menutup kepala. Riasan make up natural makin mempercantik wajah ayunya. Berbeda 180 derajat dengan terakhir kali kulihat saat dia menyerangku."Maaf!" Dia melepaskan cengkeramannya. "Aku ke sini untuk minta maaf," imbuhnya.Seolah tak percaya dengan apa yang kudengar, kutelisik gelagatnya. Dia tidak berbohong, ada sesal yang kutangkap di matanya."Sebentar, aku tadi ke bawah mau bertemu seseorang." Mataku kembali menyapu area luar lobi yang terlihat jelas dari dalam."Itu orang suruhank
Bayangan raut wajah Nisya yang berurai air mata masih saja tak mau enyah dari pikiranku. Dia tidak hanya sedang memperjuangkan cinta untuk dirinya, tapi juga untuk anak-anaknya. Dia tengah mempertahankan biduk yang saat ini hpir karam. Wajar jika tempo hari dia mengamuk seperti singa yang hendak menerkam dan mencabik-cabikku. Keutuhan keluarganya tengah di ujung tanduk.Kembali terngiang percakapan dengan Dendra ketika berada di kafe pada saat sarapan pagi beberapa waktu lalu, betapa dengan santainya dia mengatakan bahwa dia tak mencintai istrinya lagi. Seolah perasaan wanita yang ia nikahi satu dekade silam hanya sebuah mainan yang bisa ia buang begitu saja ketika sudah bosan.Kali ini perasaan benci yang lebih mendominasi kurasakan terhadap Dendra, menusuk hingga ke tulang. Entah apa masih bisa dia disebut laki-lak
Aku merasa terombang ambing di laut yang dalam. Paru-paruku seakan hendak pecah setiap kali menarik napas. Terasa begitu menyesakkan. Mataku pun terasa berat, setiap kali hendak kubuka. Bibirku kelu. Dalam kegamangan, samar-samar aku mendengar seseorang memanggil. Begitu jauh. Aku masih terus berusaha mencari darimana asal suara dengan mata yang seakan buta. Hingga tanganku dapat merasakan seseorang menggenggamnya erat, begitu hangat."Mei?"Suara itu terdengar makin jelas dan dekat. Aku kembali berusaha membuka mata. Perlahan-lahan, mataku menangkap cahaya. Samar, kemudian terang. Mengenyahkan gelap yang memerangkap. Punggung tanganku kembali diusap. Begitu menenangkan.Kemudian, aku mulai mencium bau menyengat disinfektan dan obat-obatan. Ruangan yang tad
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya
Ternyata masa-masa kehamilan pada trimester pertama tidak semulus bayanganku. Hampir setiap waktu aku merasa ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Di saat perut sudah tak berisi apapun, rasa mual itu malah semakin menjadi. Serba salah, diisi salah, tak diisi pun makin parah. Adrian yang merasa khawatir dengan kondisiku, memilih untuk menemaniku di apartemen. Segala pekerjaan ia kerjakan di apartemen. Hanya sesekali ia keluar, itu pun tak lama. Bahkan Adrian berkali-kali menelpon dokter kandungan, menanyakan apakah kondisiku seperti itu normal. Adrian yang kukenal tenang selama ini, berubah penuh kecemasan. Wajahnya hampir sepanjang waktu terlihat tegang. "Mei, mau aku buatkan sesuatu?" Adrian kembali melongokkan kepala di ambang pintu kamar.Aku hanya menggeleng lemah. Entah pertanyaan yang keberapa kali ia ajukan semenjak tadi pagi. Aku menyuruhnya keluar, karena entah kenapa belakangan ini aroma tubuhnya selalu saja membuatku mual. Meski terlihat sedih, tetapi Adrian menuruti keing
Senyum tak berhenti nengulas di bibir Adrian semenjak kami keluar dari ruang praktek dokter kandungan tadi. Janin yang kini tumbuh di rahimku masih berumur enam minggu, masih sebesar kacang. Aku harus memperhatikan asupan makanan yang bergizi agar janin ini tumbuh sempurna. Mengenai masalah mual yang belakangan mulai terasa, menurut dokter selagi aku tidak sampai lemas, seharusnya tak masalah. Karena itu hal wajar terjadi pada trimester pertama kehamilan. Kebahagiaan jelas terpancar pada raut wajah Adrian saat mengetahui janin di rahimku tumbuh sesuai usianya. Bahkan setiap kali berhenti di lampu merah, Adrian memandang takjub foto hasil USG calon bayi kami di layar ponselnya. "Sepertinya aku akan terlupakan setelah ini," godaku pura-pura merajuk, tatkala Adrian kembali menatap layar ponselnya. Adrian terkesiap, menoleh ke arahku dengan cepat. "Ah! Maaf!" Adrian meletakkan ponsel, tertawa gugup sembari menggaruk tengkuk, seakan menyadari kelakuannya yang membuatku merasa tersingkir
Harusnya hari ini aku menghadiri acara sidang putusan kasusku dengan Dendra, tetapi dari semenjak selesai salat subuh, tubuhku seakan tak mampu berkompromi. Rasa mual yang tak tertahankan berkali-kali membuatku harus berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Adrian dari semalam tidak kembali ke apartemen karena tengah sibuk mempersiapkan acara grand opening kafe barunya yang tinggal beberapa hari lagi. Rasa pusing dan mual yang kurasa sedari pagi, membuat tubuhku seakan kehilangan tenaga. Setelah menelpon pengacara dan mengatakan bahwa tak sanggup mengikuti acara persidangan hari ini, aku kembali merebahkan tubuh. Setelah kepala kembali menyentuh bantal, rasanya tubuhku mulai membaik. Entah berapa lama tertidur, ketika aku merasakan kecupan lembut dan sedikit geli menusuk kulit pipi. Saat membuka mata, kulihat Adrian mengulas senyum, wajahnya terlihat letih dengan rambut halus yang belum dicukur menghiasi dagu, dan sisi rahangnya. "Kamu baru pulang?" tanyaku dengan suara sedikit serak