"Ini belutnya, bu." Udin menyodorkan kantong berisi belut yang sudah berhasil ditangkap dengan berbagai upaya.
Sayangnya, wanita itu hingga kini masih melamun memperhatikan Nathan yang masih menjulurkan tangan belike memberi makan ayam.Udin yang memperhatikan adegan tersebut malah cekikikan dan sempat-sempatnya mengeluarkan ponsel untuk memotret momen langka tersebut."Aish. Apa yang kau lakukan, Din?" Nathan menepis benda pipih yang sedang Udin pegang hingga mencelat ke lantai dan pecah."Aduh! Ponselku." Udin memegang kepalanya padahal tidak sedang sakit."Lagian kamu ada-ada aja. Bukannya bantuin malah foto-foto enggak jelas." Nathan sudah paham isi kepala Udin."Tapi kan, mas.""Tidak ada tapi-tapian. Nanti biar kuganti.""Oh, ya sudah." Udin tersenyum senang. Lanjut menyadarkan wanita berdaster hijau lumut itu yang masih terduduk manja di lantai. "Bu? Sadar, bu. Kalau mau pingsan jangan di sini." Udin men"Tapi aku tidak bisa masak pepes belut, sayang?" Nathan beralasan. Seumur hidupnya, jangankan memasak pepes, masak telor ceplok saja hampir membuat dapur di rumahnya terbakar. Pria itu jadi senyum-senyum mengingat momen itu yang sudah berlalu lima tahun silam saat Ijah dan Udin pulang kampung untuk merayakan idul fitri. Sementara Bu Diana saat itu sedang ke luar kota. Alhasil, hanya Nathan seorang diri yang tinggal di rumah itu."Minta ajarin sama Bi Ijah, mas.""Emang boleh sememaksa ini?""Ya. Kalau bukan kamu yang masak. Aku tidak mau makan." Leona cemberut manja sambil memalingkan wajah dari pandangan sang suami."Ya Tuhan, kalau enggak makan nanti kamu bisa sakit. Kasihan adik bayi di dalam pasti lapar, sayang?""Bodo. Aku tidak peduli.""Hadehh," Nathan geleng-geleng kepala. "Ya sudah. Kamu tunggu di sini. Aku akan buatkan pepes buat kamu." Pria itu bangkit dari duduknya."Sungguh?""Apa aku terlihat berchandyaaa?" Ekspresi Nathan memperagakan suara viral di tiktok hingga membu
"Ada apa ini, bi?" Leona berlari kecil karena mendengar teriakan Ijah yang cetar membahana."Sayang? Jangan lari-lari.""Eung. Anu mbak ....""Aku lupa masukin air ke dalam panci, sayang?""Ya ampun, mas. Bisa-bisanya kamu ini.""Tadi bibi minta aku manasin panci, sayang. Bukan ngrebus air."Ijah dan Leona kompak menepuk jidat karena herman. "Maksud bibi manasin panci yang diisi air, mas? Kalau enggak ada airnya sementara kompor dinyalain pasti gosong.""Maaf, mbak. Ini salah saya. Saya tidak bilang sama Mas Nathan kalau pancinya harus diisi air dulu." Ijah menunduk meratapi panci dengan harga selangit itu sudah berwarna blacky."Tidak apa-apa, Bi. Memang Mas Nathan yang kebangetan.""Kamu kok nyalahin aku, sayang?""Ya memang itu salah kamu, mas. Kalau bukan karena kamu lupa masukin air ke panci pasti enggak akan gosong. Untung saja bibi cepet tanggap dan langsung mematikan kompor. Kalau tidak, mungkin bukan hanya dapurmu saja yang kebakaran. Huft!" Leona geleng-geleng melihat tingka
Brakk!Joshua melempar ponselnya hingga mencelat entah ke mana. Pria yang masih mengenakan seragam kantoran itu terlihat emosi mendengar semua percakapan Nathan dengan seorang wanita yang cukup familiar.'Apa dia benar-benar Leona? Kenapa suaranya sangat mirip? Tapi kenapa bisa bersama Nathan?' Joshua mondar-mandir belike setrikaan jadul sambil meremas tangannya kesal."Jangan-jangan selama ini Nathan menyembunyikan sesuatu?" Pikiran Joshua jadi ke mana-mana. Dia jadi tak sabar ingin mendengar langsung penjelasan Nathan tentang semua ini.Argh! Rutuknya frustrasi, lantas berniat pergi meninggalkan kantor untuk menenangkan diri. Namun ketika baru membuka pintu, pria berkumis tipis itu berpapasan dengan Dea."Joshua." Dea sudah terbiasa dengan panggilan tanpa sebutan 'pak' di depannya. "Mau ke mana? Kok buru-buru. Ada dokumen yang harus kamu tanda tangani.""Apa tidak bisa nanti saja. Aku sedang sibuk." Joshua akan pergi. Tetapi langkahnya dicegah oleh Dea yang dengan gesit mencekal len
Dea tersenyum miris. Hatinya terasa nyeri mendengar pernyataan Joshua yang masih mengharapkan Leona padahal jelas-jelas sahabatnya sudah menikah. Dunia Dea seakan hancur mendapati kenyataan pahit yang menyayat hati.'Mengapa kamu terus dicintai Joshua, Leona. Bahkan setelah kamu menikah sekalipun.' Batinnya berkata sembari menyeka air asin yang terus membanjiri wajah.*** Malam menjelang, Leona dan Nathan duduk di balkon usai menyantap hidangan makan malam bersama dengan menu pepes belut."Makasih ya, mas? Kamu sudah mau menuruti ngidamku untuk makan pepes belut.""Tidak, sayang. Kamu buat sendiri pepesnya. Aku sudah gagal membuatkannya untukmu.""Tapi kamu sudah berusaha, mas. Dan aku sangat menghargai usahamu meskipun belum membuahkan hasil." Leona tertawa mengingat kejadian panci gosong hanya gara-gara tak diisi air."Tangan kamu masih sakitkah?" Nathan mendekati istrinya. Lanjut meraih lengan Leona yang melepuh karena menyenggol ujung panci lumayan panas."Sedikit. Tapi nanti pas
Leona terkejut setengah mati usai mendengar pertanyaan sang suami yang diluar dugaan. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga keringat dingin mulai membasahi pelipis wanita itu."Iya, sayang. Aku ingin merasakan rasamu kembali dengan penuh cinta." Nathan menatap Leona seperti harimau lapar yang ingin memangsa lawannya."Merasakan rasaku? Apa maksudmu, mas?" Leona pura-pura polos. Padahal sebenarnya dia sudah tau ke mana arah dan tujuan suaminya.Sesuatu yang sudah tegak dan berdiri itu dapat Leona rasakan dengan jelas di bawah sana. Dia sungguh takut mengingat momen saat Nathan meruda paksanya tanpa ampun sekalipun dia sudah minta berhenti.Bahkan karena ulah Nathan, Leona jadi tak bisa berangkat kerja karena kesusahan berjalan. Bekasnya tak mereda sampai hari ke tiga. Mau berobat, tapi Leona malu hingga akhirnya memilih untuk mendekam diri di kamar."Aku ingin mengulang kembali momen saat kita bersama di restoran ibuku sebulan yang lalu. Apa kamu mengingatnya."Sudah Leona duga. "
"Mas?" Leona memanggil suaminya ketika samar-samar mendengar percakapan Nathan dengan Ijah. Sayup-sayup ia pun membuka mata dan melihat seorang pria sedang berdiri di ambang pintu."Apa bibi tidak bisa beralasan kalau aku tidak di rumah?" "Bisa sih, mas. Tapi mobil mas Nathan kan ada di luar. Udin juga secara enggak sengaja keceplosan bilang kalau mas ada di rumah."Pria itu mengacak rambut karena kesal. Ketika baru saja dia akan turun untuk menemui Joshua. Wanita yang masih polos tanpa sutera pun memanggil Nathan dan membuat si tampan urung akan niatnya."Mas?" Panggil Leona dengan nada yang dinaikkan satu oktaf. Tubuhnya masih lelah karena efek dari semalam belum hilang. Pun dengan bagian inti milik wanita itu yang masih terasa nyeri meski sudah kedua kali keduanya berhubungan.Nathan menoleh, lanjut menghampiri istrinya setelah menutup pintu dan menguncinya."Ya, sayang. Kamu sudah bangun?""Hm.""Apa yang k
Leona tengah mondar-mandir belike setrikaan jadul di dalam kamarnya. Wanita hamil yang sudah berusia dua bulan itu terpaksa masuk ke dalam kamar setelah mendapat perintah langsung dari suaminya.Ya. Nathan tidak ingin Leona melihat perdebatan dirinya dengan Joshua karena tengah hamil. Dia tidak mau Leona jadi berpikir yang macam-macam dan akan berpengaruh dengan kandungannya."Kenapa mas Nathan harus melarangku, sih? Aku yakin kandunganku akan baik-baik saja," Leona berbicara sendiri.Di ruang tamu."Kenapa kau selalu merebut apa yang seharusnya menjadi milikku, Nath." Joshua berkaca-kaca. "Aku tidak merebut Leona darimu, Jo. Dia masih milik orang tuanya sebelum menikah.""Ya, aku tau itu. Tapi kenapa kamu harus menerima perjodohan itu kalau kamu sudah tau aku juga mencintainya? Ini tidak adil untukku, Nath. Kamu mendapat dukungan penuh lewat Ibumu. Sementara aku? Aku harus berjuang sendirian untuk mendapatkan cintanya Leona.""Saat ibu menjodohkanku, aku juga sudah mencintainya, Jo.
Ceklek!"Kamu kenapa, mas?" Leona terkejut melihat penampakkan suaminya yang tak seperti manusia normal. Wajahnya memar, bibirnya jontor dengan salah satu sudutnya yang masih meneteskan darah.Hening.Nathan tak menjawab dan memilih untuk duduk di sofa diikuti Leona yang ikut duduk di sampingnya.Wanita itu memindai wajah suaminya lalu mengapitnya dengan telapak tangan. "Apa ini semua gara-gara aku?" Leona merasa bersalah. Dia lalu beranjak dari duduknya untuk mengambil kotak P3K yang ada di dalam laci.Jika sebelumnya dia ingin marah pada Nathan karena sudah mengurungnya. Tapi sekarang dia justru kasihan melihat suaminya babak belur. Dia tau Nathan pasti akan ribut dengan Joshua."Bukan gara-gara kamu, sayang?" Nathan tetap tersenyum meski masih terasa nyeri."Kalau bukan karena aku lalu siapa lagi?" Leona membuka kotak berwarna putih bergambar simbol plus, lalu mengambil kapas dan revanol untuk membersihkan luka.
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m