Tubuh Haikal tersentak, dengan darah yang keluar dari bibirnya, membasahi bibir tebal yang kini berwarna merah segar. “Haikal,” ucapku lirih. Hanya doa yang mampu kupanjatkan untuk lelaki di pangkuanku ini. Lelaki yang selama ini selalu keberikan penderitaan, meskipun aku tahu dia selalu berusaha membahagiakanku. Kedua pelupuk mata itu membuka. Kosong. Lalu kembali terpejam. “Rey, bisa dipercepat tidak laju kendaraannya?” Protesku. Untuk sesaat aku menatap jalanan, dan kembali fokus menatap wajah pucat di depanku. Kuhapus darah segar yang membasahi bibirnya, berharap laki-laki ini bisa kembali sehat sepeti semula.‘Haikal, kamu bodoh. Kenapa harus berbuat seperti ini? Harusnya aku yang terbaring seperti ini, bukan kamu,' batinku kesal dengan diri sendiri. Laju kendaraan mulai terhenti, dan kutatap lewat jendela mobil. Kami sudah masuk dalam lingkungan rumah sakit, tepatnya berada di depan ruangan IGD. Pintu mobil dibuka dari luar. Lalu Haikal dijemput oleh perawat dan di ba
Dengan tumpuan Reynan, aku kembali menatap jendela ruangan. Di sisi sana, seorang lelaki yang tak berdaya tengah di tutup kain putih. Hatiku terhenyak, ulu hatiku berdenyut. Kurasakan lara yang semakin ketara. Tak kupungkiri, aku merasa kehilangan tatkala melihat tubuh yang terbujur itu akan masuk ke dalam keabadian. Pintu ruangan terbuka, dan beberapa detik kemudian lelaki berseragam putih yang menangani Haikal menghampiri. Ia meminta maaf, karena tak mampu menghadirkan Haikal di sisi kami. Meskipun aku tahu. Beliau juga berusaha keras untuk membantu. Dengan tangan yang masih di genggam erat oleh Reynan, aku melangkah masuk meskipun berat. Kutatap tubuh yang terbujur dan tertutup itu, air mataku terus luruh dengan bayang-bayang Haikal yang selalu menyapa pikiranku. Ia merelakan nyawanya demi wanita tak tahu balas Budi ini. “Haikal ...,” ucapku lirih sambil membuka sedikit kain yang menutupi wajahnya. Wajah pucat itu seperti tersenyum, seakan bahagia berada di alam yang lain. “H
“Bu Vivian, apa jenazah pak haikal mau diantar ke rumah duka sekarang?”Aku bergegas menutup ponselku, takut jika pertanyaan perawat rumah sakit terdengar olehnya.“IYa.”Aku kembali menempatan benda yang kupegang ke dekat telinga, seusai perawat itu berlalu.“kak Vivian, apa yang lesta dengar tidak salah?” tanyanya dengan intonasi yang berbeda. Suara ceria itu mulai lenyap.“I-iya, Les,” ucapku berhati-hati. Aku tak ingin kalimat yang terucap dari bibirku menyakiti hati, apalagi mentalnya. Meskipun aku tahu, kabar ini pasti akan membuatnya terpukul.“Kak Vivian lagi bercanda kan?” tanyanya yang kini mulai terisak. Akupun sama, air mata yang tadinya tertahan kini kembali lolos.Hingga panggilan itu berakhir dengan saling menyemangati satu sama lain.**Mobil ambulance berhenti di depan rumah, dan beberapa petugas membawa tubuh yang sudah tak bernyawa itu untuk masuk. Lesta tengah menunggu, mengenakan pakaian serba hitam dengan jilbab pashmina yang ujungnya dililitkan ke belakang.Lest
“kak Vivian, sebenarnya apa yang terjadi, kak haikal meninggal karena apa?” tanya Lesta yang membuat langkahku terhenti.Aku terdiam, bingung sendiri harus berbicara apa.“Kak, kak Vivian dengar kan?” tanyanya lagi memastikan pertanyaannya.“Dengar, Les. Kakak ceritakan di mobil ya,” ucapku sambil menggenggam tangannya.Kami berjalan bersama, menuju mobil yang kita tumpangi terparkir.Alisa duduk di depan, bersebelahan dengan reynan yang menyetir, sedangkan lesta duduk di jok belakang bersamaku. Ia terus dalam pelukanku, dengan rambut panjang yang terus kubelai.“Sebelumnya, kakak minta maaf ya, Les, karena kepergian kak haikal karena aku.”“Karena kak Vivian? Apa maksudnya?” tanyanya lirih, yang sepertinya enggan menjawab.“Karena haikal menolong kakak, ada yang ingin berbuat jahat kepada kakak, hingga haikal terus membantu, dan merelakan dirinya.”Sesaat gadis kecil it tersenyum tipis, “Kak haikal beneran cinta mati sama kak Vivian,” jelasnya yang membuat hatiku teriris. Aku merasa
Tubuhku terperangkap, bersamaan dengan mulut yang kini tertutup sebuah telapak tangan. Dipaksanya aku sedikit menjauh dari lelaki yang kuincar, masih dengan posisi ia yang memelukku dari belakang.'Jika hari ini adalah takdir ku untuk meninggalkan dunia ini, aku harap kedua adikku bahagia, begitupun dengan Reynan, dan semoga saja semua masalah telah usai dan kembali damai.'Cengkraman tangan yang tadinya kuat kini mulai melemah, aku sedikit menoleh ke belakang, dan mendapati laki-laki berpakaian mirip dengan laki misterius tadi. Berpakaian serba hitam dengan topi yang sedikit ditundukkan, kacamata hitam beserta masker gelap pun turut menjadi asecoris yang dikenakannya. Dari parfum yang dipakai, aku sangat mengenal jika dia adalah ...."Diamlah, Viv," ucapnya sedikit berbisik. Ia mengangkat sedikit topinya dan menggeser kaca mata itu sedikit ke bawah. Tatapan mata tajam dengan ekspresi penuh rasa khawatir itu begitu tampak, lalu ia kembali memakai kacamata hitam itu di posisi yang sam
Lelaki yang tadinya terlempar dengan tembakan kini bangkit, begitupun beberapa orang yang tiba-tiba keluar dari posisi kanan, kiri, dan depan rumah, di semua sakunya tampak sebuah senjata api yang tersemat. "Sial, tembakan kita tidak mengenai lawan," ucap salah satu diantara mereka. Lelaki yang tadinya tertembak, sepeti menatap ke pakaian yang di kenakannya. Aku baru sadar pakaian serba hitam yang dikenakan, bersamaan dengan para lelaki lain dan termasuk Reynan adalah pakaian yang sama dan sudah dilengkapi anti peluru. "Rey, Indra pasti akan datang lagi," ucapku menatap lelaki di dekatku. "Sabarlah, Viv. Aku akan selalu menjagamu," ucapnya sambil memeluk tubuhku. Wangi aroma parfum Reynan, menguar di indraku. Apakah aku salah sedekat ini dengan lelaki lain? Sedangkan saat ini statusku adalah janda ditinggal mati. Pelukan erat, bersamaan dengan belaian tangan yang menyisir rambut panjangku, sedikit menenangkanku saat ini. Meskipun aku tahu Indra pasti akan kembali menyerang kami.
Aku tersenyum tipis, pujian dari reynan benar-benar mampu membuatku terbang, bak kapas putih yang diterpa angin, meskipun tak tahu akan kemana semua akan berlabuh.“Viv, segera tidur ya! Jaga kesehatanmu.”“terima kasih.”Aku kembali merebahkan diriku, menatap langit-langit kamar rumah ini. hal yang biasa kulakukan sebelum tidur dengan irama dengkuran dari lelaki di sebelahku. Aku menoleh, dan kosong. Ada rindu yang tak akan mampu untuk diobati, rindu yang hanya mampu mengenang, dan benar-benar tak akan lagi mampu menyapa. Rindu yang terasa berat, dan hanya mampu direngkuh untuk doa, rindu berbeda dunia.“Haikal, surga untukmu,” ucapku lirih.Kucoba memjamkan mata, namun pelupuk mata ini seperti enggan untuk menyatu. Bayangan reynan datang bersamaan aroma tubuh yang terkesiap dari balik pakaian yang dikenakan. Masih jelas kuingat, Ketika aku menoleh ke arahnya, dan menatap wajahnya dengan dekat, pipi dengan pori yang sedikit membuka, dan beberpa komedo di ujung hidungnya. Aku yakin se
Aku menatap adik kecilku yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya telihat menggigil dan kejang. Dokter sedang melakukan tindakan dan aku hanya mampu berdoa untuk kesembuhannya, menatap ia dari balik jendela yang sama seperti saat aku menatap haikal.Pikiranku terus melaju dengan hal yang terburuk, aku tak akan bisa jika lesta benar-benar pergi dari dunia ini. Aku berhutang banyak kepada ia dan haikal, dan aku adalah penyebab dengan semua yang terjadi.Reynan berdiri di sebelahku, dengan sesekali menatap ke arah lesta, lalu kembali mengarahkan pandangan ke sekitar. Begitupun dengan dua lelaki berbaju serba hitam yang terus berada tak jauh dariku, mereka bertugas menjaga keamananku dan alisa. Reynan begitu over dalam hal ini, sehingga membuatku sedikit risih.“Kak, aku takut terjadi apa-apa dengan lesta.”Alisa meragkul tubuhku, dengan pelupuk mata yang menahan air bening agar tak terjatuh.“kita berdoa saja ya, Sa. Semoga lesta baik-baik saja.”Tak lama kemudian, lelaki b
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak
“Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk
Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda
Kedua lelaki itu mendekat, dimana tiap langkah lebar yang mengarah menuju kami, menambah rasa ketakutan dalam hatiku. Suara sepatu dinas yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit, seperti membawa alunan genderang kematian. Tubuhku gemetar, bahkan aku harus menarik nafas panjang untuk sedikit melegakan rasa panik ini. Rey melirik ke arahku, menggenggam tangan yang mulai bergerak tak jelas karena Tremor, “Semua akan baik-baik saja,” Tak ada ucapan itu, tapi dari sorot mata teduh Rey, seperti mengutarakan hal untuk aku bisa tenang. “Ma-maaf, ada perlu apa, Pak?” tanyaku yang memulai pembicaraan terlebih dulu. “Selamat sore, Bu Vivian, Pak Reynan. Saya hanya ingin meminta bapak reynan untuk datang ke kantor polisi. Ini surat panggilannya,” ucap salah satu petugas tersebut sambil memberikan sebuah lampiran. Rey mengambil kertas tersebut, sekilas membacanya dengan fokus mata yang menyusuri jejeran huruf di dalamnya. “Saya akan datang, Pak.”“Baik, terima kasih atas kerja samanya.”Ked
Baik Rey dan aku dibuat kikuk kala menatapnya. "Indra sudah ditemukan. Ayo ikut aku," ucap Om Gunawan menatap lelaki di sebelahku. "Kamu mau pergi, Rey?" tanyaku ragu. Masih tersimpan dalam ingatan bagaimana om Gunawan mengarahkan senjata ke arah Reynan, lalu berbalik arah menembakkan timah panas ke arahku, dna berakhir dengan Haikal yang menerima tembakan itu. Masih terekam begitu jelas bagaimana darah Haikal mengalir bersamaan ia yng menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng, seperti tak ikhlas jika lelaki yang pernah menjadi bos ku itu pergi. "Maafkan aku. Aku janji pasti akan kembali," ucapnya sambil melepas genggaman tangannya perlahan. "Rey," ucapku lirih. Aku begitu takut terjadi sesuatu hal kepada Reynan. Apalagi ia akan pergi bersama om Gunawan, dan hendak bertemu Indra. Mereka berdua adalah musuh, ya g ingin sekali menghabisi Reynan. Reynan masih berjalan mengekori om Gunawan. Hingga punggung keduanya mulai lenyap dari pandangan, ketik melewati
"Viv, apa tadi ada yang masuk ke kamar kalian?" tanyanya panik. Aku semakin bingung tatkala mengingat perawat tadi masuk dan menyuntikkan cairan obat ke tubuh Lesta. "Iya. Seorang perawat masuk dan memberikan obat. Apa ada yang salah, Rey?"Aku tak tahu lagi, harus bertanggung jawab seperti apa jika keadaan Lesta semakin memburuk karena kecerobohan ku. "Tidak apa, Viv. Aku kira Indra kabur dan masuk kesana.""Maksudmu Indra belum ketemu juga? Bagaimana keadaan di luar? Apa semua baik-baik saja.""Iya, Indra kabur setelah tembakan mengenai lengannya, dan sekarang aku bersama Gunawan.""Om Gunawan?""Aku akan segera datang kesana." Benar saja dalam hitungan menit, Dua lelaki masuk ke dalam kamar, satu lelaki yang paling kucintai dan paling kunanti kedatangannya, dan satunya lagi lelaki yang paling kutakuti. Aku memindai tubuh lelaki itu dari bawah ke atas, takut jika ada senjata bertimah panas melekat di antara pakaiannya. Namun, dari sorot mata kedua lelaki itu seperti tak memil