“Aku mau ke Kalingga Tower besok pagi,” kata Wahyu saat berada di teras samping, sambil menggendong Putra di depan dada. Ia berhenti di sisi papan catur, di antara Anggun dan Budiman yang sedang asyik bermain sejak tadi.“Mau ngajak April ke Bali sekalian?” tanya Anggun tanpa menoleh dan menjalankan kudanya.Budiman menahan napas saat melihat Wahyu. Pria itu menatap datar pada Anggun, dengan menahan perasaan kesal. Langkah Wahyu mendekati Anggun memang tidak tampak agresif, tetapi sikap menantunya pada pria itu selalu datar-datar saja.Anggun tidak bisa ditebak. Apakah gayung akan bersambut atau hubungan keduanya tetap akan menjadi ipar seperti sekarang.“Sini sama Opa.” Budiman mengulurkan tangan tetapi Putra hanya diam menatapnya. Tidak seperti biasa, Putra akan cepat berpindah ke tangan Budiman jika ia mengulurkan tangan seperti sekarang.“Dia nggak mau, Om,” ucap Wahyu.“Biar aja, Pa,” ujar Anggun lalu mendongak dan tersenyum melihat putranya yang semakin hari semakin terlihat men
“Aku nggak boleh cuti, Nggun.” Kimmy merengek. Mengeluh karena gagal merayu atasannya untuk memberi cuti. Selain karena mendadak, tim redaksi dan produksi akan berencana menggelar acara dalam hitungan hari. Karena itulah, Kimmy tidak mendapatkan izin cuti untuk liburan ke Bali bersama Anggun. “Mana besok sudah berangkat.”Pupus sudah kesempatan untuk mengenal Kendrick lebih dekat. Pria itu terhitung bukan orang penting, sehingga Kimmy tidak memiliki alasan untuk mewawancarai Kendrick.“Minum dulu.” Anggun menunjuk gelas yang berisi es kopyor di hadapan Kimmy. “Padahal, ini kesempatan langka bisa liburan sama Ken.”Kimmy mengangguk. Hanya menatap gelas yang ada di depannya tanpa selera sama sekali.“Aku itu, kalau nggak punya alasan, nggak bisa deketin orang.” Kimmy merengut sambil menggaruk kepala. “Waktu kamu masih di rumah sakit, aku masih ada alasan nelpon Ken, tapi habis itu anyep. Dia aku chat cuma di read doang.”“Kalau gitu, lupain aja,” ujar Anggun lalu menikmati es kelapanya
“Putra biar sama aku, Tan,” ujar Wahyu begitu mereka keluar dari garbarata. Ia segera mengambil alih Putra, yang baru saja akan dilimpahkan pada Syifa karena Anggun ingin pergi ke kamar kecil. “Jagoan, Om, bangun juga akhirnya.”“Titip bentar,” ucap Anggun ketika menyerahkan Putra pada Wahyu.“Hm.” Wahyu hanya menggumam dan langsung mencium gemas pipi tembem Putra.“Jangan dicium terus, nanti lecet,” pesan Anggun seraya pergi dengan segera menuju kamar kecil.Syifa terkekeh pelan, tetapi tidak dengan Desty yang segera meraih wajah putranya. Ia berdecak, karena Wahyu belum juga mencukur rambut halus yang menghiasi wajahnya.“Kamu ini, kapan mau dengerin orang, sih, Yu!”Wahyu menggeleng sambil membenarkan posisi Putra di bahunya. “Eyang dilarang marah-marah. Ada Putra.”“Ayo-ayo!” ajak Darwin tidak sabar ingin segera sampai di vila. “Kita tunggu di depan.”“Ayo,” ucap Wahyu sambil mengusap-usap punggung Putra dan kembali berjalan. “Tunggu di depan, aku nunggu Anggun sama Ken yang lagi
“Ke mana yang lain?” Wahyu bertanya pada Anggun, ketika ia baru menjejakkan kaki di ruang utama. Di sana, hanya ada wanita itu serta putranya yang sedang tertidur di sofa. “Nggak mungkin belum bangun, kan?”“Kata Ken sudah jalan-jalan dari pagi.” Anggun menatap Wahyu yang duduk perlahan di sofa yang sama. Tepat di atas kepala Putra yang sedang tertidur lelap.“Kamu nggak ikut?”Anggun menghela panjang. Ada perasaan canggung yang menyelimuti, karena pembicaraan serius yang telah mereka lakukan tadi malam. Rasa-rasanya, ia ingin pulang saja ke Jakarta agar tidak lagi bertemu dengan Wahyu.“Aku capek,” keluhnya malas. “Lagian Putra tadi belum bangun, jadi, ya sudah.”“Terus, ini kenapa dia tidur di sini?”“Dia sudah bangun, tapi habis nyusu tidur lagi,” ucap Anggun mulai kesal karena pertanyaan Wahyu. “Ini aja belum mandi. Entar aja siangan dikit.”“Spa sudah direservasi jam 10 nanti buat tiga orang,” ucap Wahyu sambil mengusap kepala Putra dengan perlahan. Semakin dipandang, wajah mungi
Anggun membuka pintu kamar dan terpaku sesaat. Ia melihat Wahyu dan Putra tidur di ranjangnya dengan begitu nyenyak. Dua buah botol susu kosong sudah tergeletak sembarangan. Satu di lantai dan satu lagi berada di atas kepala Putra.“Ohh, ternyata mereka tidur,” ucap Syifa dengan sangat pelan di sebelah Anggun, yang masih berdiri di bibir pintu. “Pantas ditelpon nggak diangkat, mungkin hapenya di-silent biar Putra nggak kebangun.”“Udah biarin aja,” timpal Desty yang juga melihat putranya tertidur dengan lelap bersama Putra. Sungguh sebuah pemandangan langka, tetapi hal tersebut benar-benar terlihat manis dan indah. “Mumpung Wahyu bisa tidur. Jangan diganggu.”“Memangnya ...” Anggun kembali menarik handle pintu kamarnya dan menutup dengan sangat perlahan. Menghindari timbulnya suara, agar Wahyu tidak terbangun setelah mendengar informasi dari Desty barusan. “Mas Wahyu jarang bisa tidur?”“Sering insomnia.” Desty pergi ke pantry dan membuka lemari pendingin. “Dia itu, tidur malam paling
Pagi itu, menjadi momen pertama dan terakhir kalinya Anggun melihat matahari terbit bersama Wahyu. Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, ia menyadari betapa dekatnya mereka di saat-saat seperti ini, dan itu membuatnya ingin menjaga jarak.Anggun sadar, perasaannya pada Wahyu sudah mulai mengusik batas-batas yang ingin ia pertahankan. Karena ia tahu, semakin sering ia berada berdua dengan pria itu, semakin sulit pula menjaga hatinya tetap di tempatnya.Untuk itulah, Anggun lebih memilih menjaga jarak di hari-hari berikutnya. Bersikap seperti biasa dan sebisa mungkin menghindari kesempatan di mana mereka hanya berdua. Setiap kali Wahyu mengajaknya berbincang, Anggun hanya membalas seperlunya dan tidak berusaha melempar obrolan agar ikatan emosional itu tidak semakin terasa erat.“Sudah siap semua, Nggun?” tanya Syifa sambil melihat koper Anggun, yang kini bertambah menjadi dua karena barang-barang Putra hasil pemberian Wahyu.Yang membuat Syifa heran ialah, Anggun tidak lagi mengome
Setelah liburan di Bali, hari-hari yang dijalani Anggun kembali seperti biasa. Rutinitas utamanya hanyalah mengasuh Putra dan sesekali melihat perkembangan perusahaan keluarga melalui laporan dari surat elektronik.Yang Anggun lihat, April cukup mumpuni dalam mengelola perusahaan sehingga ia tidak menyesal telah memberikan suara untuk wanita itu. Memang ada penurunan jika dibandingkan dengan kepemimpinan Regan. Namun, usaha April untuk tetap mempertahankan dan memajukan perusahaan juga tidak bisa dianggap enteng.Untuk satu hal itu, Anggun angkat topi dengan tulus atas dedikasi April pada perusahaan keluarga. Karena pada akhirnya, semua hal memang harus diserahkan kepada ahlinya dan orang itu bukanlah Anggun, tetapi April. Untuk satu hal itu, Anggun tidak akan membantah karena tahu kapasitas dirinya.“Pagi.” Desty berjalan cepat menghampiri Putra yang baru saja didudukkan di kursi makan bayi.“Pagi, Eyang Putri,” sapa Anggun segera memberi senyum pada Desty yang sudah datang sepagi in
“Mama tahu, melupakan itu bukan sesuatu yang mudah.” Syifa menghampiri Anggun yang duduk di teras belakang seorang diri. Melihat Putra yang sedang bersama Wahyu dan bermain catur di taman belakang bersama Budiman. “Memaafkan dengan tulus juga sebenarnya nggak gampang. Tapi, kalau sudah berurusan dengan nyawa, mungkin perlu kamu pertimbangkan lagi.”Anggun menoleh pada Syifa berada di sebelahnya. Wanita itu berkata demikian pasti karena Regan yang semalam masuk ICU. Pagi ini, Desty berencana pergi ke rumah sakit untuk memberi dukungan moril pada Elsa serta April. Sementara Anggun, sama sekali belum mengambil keputusan.“Mama nggak maksa kamu ke rumah sakit, karena Mama sendiri juga sudah nggak mau berurusan dengan keluarga pak Regan,” sambung Syifa memberi penjelasan. “Tapi, Mama nggak mau suatu saat nanti kamu kembali menyesal, karena mau bagaimanapun juga pak Regan masih keluargamu walaupun sikapnya nggak bisa dibenarkan.”“Tapi aku malas ketemu dengan mereka semua,” ungkap Anggun ju
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk