"Mas," ucap Lia. "Lia lebih baik kita tidur," suruh Dika.
"Hm, Mas jangan marah lagi sama aku," ujar perempuan itu. "Iya, aku tidak akan marah," sahut Dika. 'Cepatlah tidur!' batin Dika kesal.Keduanya sedang berpelukan di atas ranjang. Mereka juga mengenakan pakaian couple bak pasangan suami istri.Dika sedari tadi sibuk mengusap-usap kepala Lia. Wanita itu menyandarkan kepalanya pada dada bidang Dika."Mas, kapan kau akan menikahiku? Kau janji kan akan menikah denganku?" ucap Lia sembari sibuk memainkan pakaian Dika."Aku sedang memikirkannya," sahut Dika. "Serius? Aku tidak ingin menunggu lebih lama. Aku ingin perempuan itu segera pergi. Kamu tidak pantas tinggal bersamanya, Mas," oceh Lia. "Lalu, siapa yang pantas denganku?" tanya Dika. "Aku!" sahut perempuan itu penuh kepercayaan diri."Tak ada yang boleh memiliki kamu selain aku," kata Lia. "Iya, iya, sekarang tidur. Sudah larut malam," ucap Dika.Perempuan itu mHari demi hari berlalu. Meski tinggal dalam satu rumah, mereka lagi-lagi seperti orang asing. Meski ini bukan keinginan Sera, tapi dia sekarang benar-benar tidak ingin bohong dengan keadaannya yang tidak baik-baik saja. Di meja makan, di seberangnya ada Dika yang sibuk dengan makanannya. Begitupun dengan dirinya. Di satu sisi dia ingin berbicara, di sisi lain itu tertahan. Sera menunggu Dika berkata, namun ia tak melihat adanya pergerakan. Sera memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana saat dia sudah bangun larut malam. Dan Bi Niken cerita tentang Dika. Namun, meski Dika sudah melakukan hal baik untuknya, entah kenapa Sera sulit sekali menerima perlakuan suaminya di belakang?Bi Niken menceritakan apa yang dia lihat. Di mana saat itu Dika pulang dan masuk ke kamar dalam wajah yang menyesal. Wanita itu juga menyiapkan makanan kesukaan Sera atas perintah Dika. Flashback on*"Alhamdulillah, Nyonya sudah bangun," kata Bi Niken. Sera
"Halo, kau punya rekomendasi restoran yang paling bagus di Jakarta?" ucap Dika to the point."Assalamualaikum, jangan lupa salam dulu, Bro," peringat Fendi. "Kenapa kau menelepon di jam kerja seperti ini? Aku sedsng memeriksa keuangan bulanan," ungkap Fendi. "Hm, waalaikumsalam. Baiklah," Dika mendesah pelan. Ia mematikan sambungan telepon. Dika lantas duduk di kursi. Dia segera membuka internet. Mencari restoran yang dia mau. Kenapa dia mencari-cari hal seperti itu? Satu hal yang pasti, ini adalah bentuk permintaan maaf Dika. Hingga muncul begitu banyak dalam percariannya. Dika menggeser informasi itu sampai bawah. Namun, tiba-tiba ide terlintas. Dia mengabaikan semua yang dia cari di internet. Dia adalah CEO Hotel CQ. Jadi, dia akan pergunakan tempat tersebut. Ponselnya menyala, notifikasi masuk untuknya. Dika pikir itu Fendi. Tetapi, itu adalah Lia. "Lia?" gumam Dika. Tetapi, ponsel itu ia letakkan lagi. Dan Dika tak membalas pesan ters
"Sial, kenapa Mas Dika tak meresponku?" ucap perempuan itu sebal. Dia menatap ponselnya yang sepi. Padahal belum lama Dika mengajaknya menginap di hotel. Sekarang, hingga malam hari lelaki itu tak juga ada kabar. "Sayang," panggil seseorang pria. Pintu terbuka, menampilkan seorang pria berperawakan tinggi, tampan serta wajah blasteran barat."Leon," sahutnya terkejut. "Apa yang kau bawa?" ucap Lia terkejut. "Buka saja," Leon memberikan beberapa gudie bag putih berukuran besar. "Wah! Tas ini keluaran limited loh," ucap Lia senang serta terkejut. "Leon, terima kasih banyak!" wanita itu langsung memeluk tubuh kekar sang pria. "Hm, ini semua tidak gratis, Lia," tutur Leon. Lia menatap pria itu. "I know," sahut Lia terkekeh. "Aku rapikan ini sebentar," ucap Lia. Perempuan itu mengedipkan matanya, Leon tersenyum miring. Senang melihat perempuan itu bahagia mendapatkan hadiah yang diberikannya. Leon lantas duduk di tepian ranjang. Mempe
Karina menelepon!Cukup lama ponsel itu berdering.Sera terbangun dari tidur. Dilihatnya Dika di samping masih tertidur pulas. Cahaya matahari menerobos maduk menyinari kamar hotel megah tersebut. Sera meraih ponsel milik suaminya. Menoleh sejenak ke arah Dika. Apa dia harus membangunkan pria yang tengah tertidur pulas itu atau menjawab saja panggilan dari Karina?"Mas, bangunlah," titah Sera. "Mas Dika," panggil Sera. "Mamamu menelepon," katanya lagi. "Mas," Sera mendekatkan dirinya ke srah telinga Dika. Barulah lelaki itu mulai terusik. Matanya perlahan-lahan terbuka. Dari yang menyipit sampai terbuka lebar. "Mamamu menelepon," ucap Sera lagi. Perempuan itu memberikan ponsel milik Dika. Dika menggeser tombol hijau. Dengan suara serak khas bangun tidur lelaki itu berkata, "assalamualaikum, Ma," ucap Dika. Rupanya lelaki itu tak lupa mengucapkan salam. Apa itu karena wanita di sampingnya?Di saat Dika tengah berteleponan dengan
Seminggu berlalu. Hari ini adalah hari spesial karena Deri mantan CEO hotel CQ itu tengah berulang tahun yang ke 56. Pria yang sudah berambut putih cukup banyak itu tengah menyapa para tamu undangan. Dia cukup terkejut dengan pesta yang persiapannya sama sekali tak diketahui. Padahal dia juga sering mengunjungi hotel. Dekorasi hotel sangat terlihat megah. Jelas itu membutuhkan dana yang banyak. Namun, hotel CQ sendiri memiliki banyak sponsor. Usai menyapa beberapa tamu, pria dengan setelan jas hitam, lengkap mengenakan pita kupu-kupu itu mencari keberadaan sang istri. Karina, ternyata dia sedang menghubungi seseorang. "Karina," panggilnya. "Oh, Mas?" ucap Karina sadar akan kehadiran lelakinya. "Sebentar," tahan Karina mengucapkan kata itu pada seseorajg yang tengah berulang tahun."Iya, aku tunggu kamu, ya," kata Karina pada seseorang di telepon. "Ya, aku segera berangkat ke acara. Sampai bertemu di sana, Bun," ucap teman Ka
"Tinggalkan perempuan itu, Mas!" teriak Lia."Kamu sudah lupa dengan janjimu?" ucap Lia dengan tatapan menajam. "Kau sendiri bilang mau menikahiku!" lanjut Lia. Napasnya tak beraturan. Dadanya kembung-kempis. "Sekarang...," ucap Lia menggantung. Bola matanya mengerling tajam. "Kamu dan dia tampak mesra di depanku! Harusnya aku yang kamu perlakukan seperti itu, Mas!" tunjuk Lia. Lelaki itu mengepalkan tangan di samping badan. "Dan aku yang mendampingimu, bukan perempuan sok suci itu!" marah Lia."Kau tak lihat banyak tamu yang hadir? Aku ini CEO di hotel ini. Dan aku sudah menikah. Papaku sedang ulang tahun, kau harus mengerti posisiku, Lia. Kita bisa bicara nanti," terang Dika. Pria itu berbicara dengan suara tenang. Tidak membentak seperti perempuan lawan bicaranya."Aku benci kamu," Lia mendorong bahu Dika saat dia melewati pria itu. Lia tak ingin mendengar celotehan Dika. Dia cukup muak menyaksikan Dika bermesraan di muka
“Sera?!” Dika baru saja keluar dari kamar mandi, lelaki itu terkejut saat melihat Sera melamun, sementara tangan kanannya bergetar memegang ponsel. “Ma-Mas,” ucap Sera gemetar. Dika buru-buru mendekat, duduk di samping Sera. Sera menatap ke arah suaminya. “Apa yang terjadi? Kamu kenapa?” ucap Dika, lelaki itu terlihat khawatir. “Hm, kenapa? Cerita sama aku pelan-pelan,” suruh Dika. CEO itu benar-benar menunjukkan perubahan yang drastis. Dia menjadi begitu lembut kepada Sera. Sera menggeleng pelan, dia duduk sedikit menggeser menjauh dari sang suami. “Aku mau tidur dulu, selamat malam,” putus Sera. Dia lebih baik merahasiakan dari Dika. Karena, tak ingin menambah beban untuk pria itu.“Sera,” kata Dika. “Kamu baik-baik saja. Kau tak menyembunyikan sesuatu dariku kan?” tanyanya merasa ada yang aneh. Sera menggeleng, senyum kaku itu muncul di bibir perempuan tersebut. “Tidak, Mas. Jangan begadang terlalu larut,” pesan Sera. Menaruh ponsel, Sera me
Sera berjalan sempoyongan. Dia baru saja tiba di butik. "Nyonya!" kejut Bi Niken. Wanita itu segera membantu Sera berjalan. "Terima kasih, Bi," ucap Sera. Dia hampir saja terjatuh jika Bi Niken tak buru-buru datang menangkapnya. Sera dibantu duduk sampai sofa. "Apa Nyonya baik-baik saja? Apa yang Nyonya rasakan?" Bi Niken bertanya seperti dia seorang dokter. Sera menggeleng, "aku baik-baik saja. Hanya pusing sedikit," jujur Sera. "Biar saya ambilkan obat pereda nyeri kepala," ucap Bi Niken segera menuju laci obat. Sera mengaduh, merintih sembari memegangi kepalanya. Perlahan dia merebahkan diri di sofa. Menatap jam di pergelangan tangan, Sera belum melihat Dika di rumah. Apa Dika masih di kantor? Saat Bi Niken datang sembari membawa obat, Sera pun bertanya, "apa Mas Dika belum pulang, Bi?" tanya Sera. Bi Niken menggeleng singkat sebagai jawaban."Sebaiknya Nyonya minum obat dulu. Ini obat dan airnya, Nya," Bi Niken membantu majik
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita